9. Dia Bukan Kale

404 60 2
                                    

"Ngapain ke sini?" tanya Kale saat melihat Daffa sedang berdiri menyandar ke sisi motornya.

Daffa menunjukan keresek yang dipegangnya. "Gorengan. Sarapan buat lo, beli pas datang ke sini."

Kale hanya tersenyum kecil lalu mengunci pintu rumah kontrakannya. "Nggak perlu repot-repot lain kali." Dia mengambil satu gorengan dan memakannya dengan lahap. "Langsung pergi aja ke sekolah, kalau ke sini dulu entar absenan lo makin bolong."

Daffa menghidupkan mesin motor setelah Kale naik. "Sekalian lewat, lagian kontrakan lo sama sekolah deket banget. Jadi sekalian aja."  Sekilas dia melihat ke arah kontrakan kecil yang ditempati Kale beberapa Minggu ini. Tempat itu kecil tetapi paling bersih diantara rumah yang lain.

"Lo beneran nggak mau pindah dari sana? Gue tanya-tanya ke anak-anak, katanya mereka ada apartemen studio yang mau disewain murah." Daffa bicara dengan suara keras agar terdengar oleh Kale. "Kalau mau gue bisa bilang ke orangnya." Sejujurnya melihat Kale tinggal di kontrakan kecil itu membuatnya sedih, tidak tega karena harus tinggal di tempat kecil dan panas.

"Nggak perlu." Kale menyahut santai. "Di sana juga cukup."

Daffa tidak bicara, tetapi dia akan mencobanya sampai Kale mau nanti.

Begitu sampai di sekolah, alih-alih langsung pergi ke kelas, Kale malah pergi menghampiri Adrian yang sepertinya sudah menunggunya dari tadi.

"Le, nggak masuk dulu?" tanya Daffa.

"Masuk." Sekilas Kale melirik ke arah cewek yang kini jadi gebetan Daffa setelah putus dari Mikaila. "Lo duluan aja. Pawang lo udah dateng tuh." Nada yang diucapkannya terdengar seperti ejekan.

Daffa mengabaikan panggilan cewek iti lalu segera mengikuti Kale menemui Adrian dan teman-temannya. Entah mengapa dia tidak bisa membiarkan Kale terus berteman dengan anak-anak nakal itu. Semakin hari sikap Kale berubah menjadi seseorang yang hampir tidak dia kenal.

Biasanya sepulang sekolah Kale akan kerja sampingan atau menggambar, tapi kali ini selain bolos sekolah, cowok itu juga sering ikut tawuran bersama Adrian, terkadang pergi ke bar lalu balapan motor liar. Setiap pulang ke kontrakan pasti badannya lebam karena terkena pukulan.

Daffa tidak ingin diri Kale semakin hancur, namun tidak peduli berapa kali dia bicara, tidak peduli seberapa sering dia mengingatkan, Kale tidak kembali seperti dulu.

Seperti sekarang, bukannya masuk ke kelas setelah jam istirahat kedua selesai, Kale malah nongkrong bersama Adrian dan teman-teman lainnya sambil merokok dan merencanakan tawuran yang akan mereka lakukan tiga hari lagi.

Sejak tadi telinga Daffa sudah sangat gatal mendengar omongan sampah mereka, tetapi dia menguatkan diri karena tidak bisa membiarkan Adrian terus menerus memanfaatkan Kale.

"Anjir, masih demen Miyabi lo?" Kekehan dengan suara keras itu menarik perhatian Daffa yang sedari tadi hanya merokok sambil memerhatikan sekitar. "Parah selera lo, Babi. Cari cewek yang lebih bohay, kek, yang masih enak dipegangnya."

Daffa yang mendengarnya langsung melengos.

"Halah, untung si Faisal demennya sama Miyabi. Lah si Farhan demennya malah sama Tom Holland. Kan anjing."

Semua orang langsung tertawa.

"Le, siapa idaman lo? Jangan bilang kalau lo juga demen cowok lagi." Tiba-tiba Adrian bertanya setelah teringat kalau dia tidak pernah mendengar Kale pacaran.

"Bener! BTW, lo masih suka cewek, kan?"

"Anjir, kenapa lo nanya begitu?!" Malah Daffa yang sewot, bisa-bisanya menuduh Kale yang tidak-tidak. Dia yang paling tahu sifat Kale terhadap cewek. Saat ini cowok itu sedang tidak menyukai siapa pun sehingga sikapnya dingin pada semua cewek.

I WAS FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang