"Ngomong-ngomong, gue udah incer satu univ yang mau gue masukin setelah lulus." Daffa tiba-tiba bicara setelah selesai menghabiskan mie ayamnya. "Gimana kalau kita masuk MIT? Kalau kelakuan gue baik dan terus belajar pasti bakalan masuk, kalau lo sih nggak perlu tambah belajar pasti bakalan langsung diterima."
Kale melirik cowok yang duduk di sampingnya lalu tersenyum kecil. "Njir, emangnya siapa yang mau masuk MIT? Bisa-bisa kepala gue botak kalau masuk ke sana." Dia menghela napas panjang, setelah sepulang dari rumah sakit waktu itu, dia hampir tidak pernah memikirkan masa depan.
"Cara lo merendah itu nggak banget tau!" Daffa meledek seraya menendang kaki Kale.
Kale meringis pelan tetapi tidak membalas hanya terkekeh pelan. "Cara lo melarikan diri ternyata elegan juga."
Tiba-tiba Daffa terdiam.
Kale memandang ke arah lain. "Lo pikir gue nggak tau, Daf?" Dia menarik napas panjang, tidak ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Daffa sehingga cowok itu memilih pergi sejauh mungkin dari rumah. "Lo bilang ke gue buat bangkit barang-barang, giliran gue yang udah mulai mikir buat ngejalani hidup lonya malah pengen kabur."
Daffa memandang ke arah lain.
Kale teringat cewek-cewek yang dipacari Daffa, cara Daffa meninggalkan mereka tanpa merasa kasihan saat mereka menangis tersedu-sedu. Terkadang dia selalu bertanya-tanya, apa Daffa tidak merasa kasihan pada mereka? Mempermainkan hati seseorang—terlepas dari orang itu baik atau tidak—tetap saja adalah hal yang salah.
"Apa Erika juga bakalan jadi korban lo selanjutnya?" Dia tidak bisa menahan pertanyaan yang sudah lama ingin dia tanyakan. "Yang salah itu Nyokap lo, tapi lo malah ngelampiasinnya ke cewek yang nggak punya salah. Erika dan mantan-mantan lo yang lain juga punya hati. Entar giliran lo yang dimainin tau rasa nanti."
"Ya nggak bakalan lah." Daffa menundukkan pandangan. "Gue nggak akan jadi cowok bego yang bucin sama cewek."
Kale tidak menyangkal. Mengerti trauma yang dirasakan Daffa. "Nggak semua cewek sama kayak Nyokap lo, Daf. Lagian, pasti ada alasan kenapa Nyokap lo nggak bisa lepas dari mantannya."
"Lo nggak tau!"
"Lo yang nggak mau buka mata!" Kale balas menatap Daffa lalu memandang ke arah lain. "Gue nggak ada rencana buat kuliah di luar negeri. Kalau pun hidup gue hancur, gue nggak akan melarikan diri sejauh itu, kesannya kayak buang diri sendiri."
Daffa tidak mengatakan apa pun, hanya terus menundukkan kepala.
"Cari alasan lain yang lebih masuk akal." Kale berusaha mencairkan suasana, dia menepuk-nepuk bahu Daffa. "Kalau mau pergi jauh, apalagi ke Amerika, beresin dulu masalah lo di sini biar pas pergi nanti hati lo ngerasa tenang."
Daffa menyipitkan mata, menatap curiga Kale. "Njir, makan apa lo sampai bisa setenang ini? Tumben banget."
Kale melengos. "Gini-gini masalah yang gue hadapi sedikit lebih berat dari lo."
Kening Daffa berkerut saat teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong lo nggak ada masalah apa pun lagi, kan?"
"Hah?" Kale tidak mengerti. "Lo mau gue punya banyak masalah?"
"Ya bukan gitu!" Daffa langsung menyangkal. Melihat respon Kale, sepertinya Samael belum bicara apa pun pada cowok itu. "Kali aja ada yang lo sembunyiin dari gue." Dia menyengir, dalam hati bersyukur karena saat ini keadaannya masih selamat dari amukan Kale.
Tidak seperti Daffa yang tersenyum tanpa merasa bersalah, Kale malah terdiam. Merasa tersindir karena dia menyembunyikan hal yang tidak bisa dia beritahu pada siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WAS FINE
Teen Fiction(Tiga tahun sebelum I Was Here) Kale pikir dia akan baik-baik saja, meski dunianya mulai hancur, meski dia harus kehilangan ayahnya, meski dia ditolak berulang kali oleh Mamanya, meski dokter mendiagnosanya dengan penyakit mematikan, dia akan tetap...