"Lo nggak perlu nganterin gue." Daffa menatap Kale yang berdiri tepat di hadapannya. Dia sedikit tekejut melihat penampilan temannya yang sekarang, sangat jauh berbeda ketika dirinya pergi ke Malang.
Kale menepuk bahu Daffa. "Baik-baik di sana. Jangan kebawa pergaulan."
"Terus gimana sama lo? Bukannya Lo dapet undangan dari Yale? Kenapa nggak lo ambil?"
"Gue nggak tertarik kuliah di luar negeri." Kale tersenyum kecil.
Daffa ikut tersenyum, dia melihat ke sekitar seolah mengharapkan seseorang datang menemuinya. "Soal Gia... dia nggak mau menemui gue." Dia menundukkan kepala sehingga tidak melihat perubahan raut wajah Kale yang langsung redup. "Wajar aja sih kalau dia marah. Gue nggak ada waktu dia ada masalah besar." Tangannya yang menggantung mengepal karena marah. "Makasih lo udah mewakili gue buat ngehabisin orang-orang yang udah nyakitin Gia."
Kale langsung terdiam, sampai saat ini Daffa hanya mengetahui bahwa Gia masih hidup dan tidak pernah tahu kejadian yang sebenarnya. Ada rasa bersalah karena menyembunyikan hal sebesar ini dari sahabatnya. Dia hanya takut, jika dia mengatakan yang sebenarnya, semua rencana yang Daffa susun akan berantakan.
"Dan maaf karena gue nggak bisa bantuin lo..." Tatapan Daffa penuh rasa penyesalan yang teramat. "Maafin gue juga karena malah mengabaikan panggilan lo waktu itu. Kalau aja ..."
"Yang penting mereka udah dapat pelajarannya." Kale memaksakan diri tersenyum. "Lagian, masa depan Lo masih bersih dan panjang. Soal beginian serahin aja sama gue."
Daffa mengerutkan kening, tidak langsung mengerti maksud Kale. Dia hendak berbicara saat mendengar bahwa waktu penerbangannya tinggal sebentar lagi. Sekali lagi dia melihat ke sekitar, masih menanti kedatangan orang lain.
"Pergi sana, nanti telat." Kale mengalihkan perhatian Daffa, tahu kalau cowok itu sedang menanti keluarganya.
Daffa tersenyum. "Iya. Tolong jagain Gia ya. Gue pasti bakalan sering balik."
Kale hanya menganggukkan kepala lalu memerhatikan kepergian Daffa. Ekspresi tegar yang dipasangnya langsung hilang, dia menundukkan kepala dalam-dalam. Kini hatinya benar-benar terasa sakit dan hampa. Dia sudah kehilangan Gia, kini dia pun harus ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang menjadi teman terdekatnya.
Perlahan dia berjalan gontai keluar dari bandara dan berdiri seraya menatap pada kendaraan yang berlalu-lalang. Ditempat seramai ini, kenapa dia merasa sangat kesepian?
Kale menghela napas panjang lalu segera pergi menghentikan taksi yang lewat.
"Le, Abang Lo teler nih. Bawa pulang, gue masih ada urusan." Bayu langsung bicara saat teleponnya diangkat oleh Kale. "Gue share lokasi barnya." Kemudian telepon ditutup tanpa menunggu jawaban dari Kale.
Kale mengerutkan kening, melihat foto yang dikirimkan oleh Bayu sebelumnya lalu menyuruh supir taksi untuk pergi ke tempat yang sudah diberitahu Bayu.
Begitu sampai di bar, Kale langsung mencari keberadaan Samael diantara kerumunan orang-orang yang sedang menari. Untungnya bar tersebut cukup kecil sehingga dia bisa menemukan Samael dalam waktu cepat.
"Kenapa Bang Sam bisa mabok gini?" tanya Kale seraya melihat Samael yang sudah terkapar tak sadarkan diri. Ini pertama kalinya dia melihat Samael teler begini.
Bayu melirik Samael yang terkapar di sampingnya. "Kagak tau, diajak teler sama klien kali. Dia dateng sama mereka tadi, tapi nggak tau yang lain ke mana." Dia melihat jam tangannya. "Gue ada keperluan lain jadi nggak bisa anterin Sam balik."
"Oh oke. Thanks udah jagain." Kale menarik lengan Samael dan melingkarkannya di bahunya.
Bayu menepuk bahu Kale. "Sorry ya. Kalau gue nggak ada urusan lain, pasti gue yang anterin balik."
KAMU SEDANG MEMBACA
I WAS FINE
Novela Juvenil(Tiga tahun sebelum I Was Here) Kale pikir dia akan baik-baik saja, meski dunianya mulai hancur, meski dia harus kehilangan ayahnya, meski dia ditolak berulang kali oleh Mamanya, meski dokter mendiagnosanya dengan penyakit mematikan, dia akan tetap...