15. Cendala

335 50 2
                                    

"Habis berantem sama siapa?" Kale mengerutkan kening saat melihat Hendri yang baru datang dengan wajah babak belur. "Bareng si Daffa? Dari pagi dia nggak masuk kelas."

Hendri mengedikkan bahu lalu menganggukkan kepala. "Masih di belakang dia. Diambil sama pacarnya. Kayaknya mau putus, deh. Wajah mereka keliatan serem."

Kale memutar bola matanya, diam-diam mengkritik Daffa yang masih terus berkelahi padahal ingin kuliah di MIT. Jika terus begitu, dia ragu Daffa bisa kuliah di universitas paling bergengsi itu.

"Darren jancok! Dia sengaja ngasih tau strategi kita, hah?! Anjing!" Satu lagi orang datang lalu duduk tepat di samping Kale. "Gara-gara si brengsek itu, kita jadi kalah."

"Siapa yang ngajak dia gabung, bego?" balas Hendri. "Lo yang ngajak dia, Ujang!"

Sebelah alis Kale terangkat. "Darren ketua geng motor itu? Tumben akrab sama dia."

Hendri berdecak. "Sok akrab itu anak. Kalau tau dia penghianat, ogah banget ngajak dia." Wajahnya berubah serius. "Anak itu harus dihajar entar pas balik sekolah."

"Nggak bisa gitu juga, anjir! Orang dibelakangnya pada hebat. Lo pikir gimana dia bisa baik-baik aja padahal kelakuannya kayak gitu."

Kale merenung, teringat saat dia tidak sengaja melihat Darren bersama seseorang yang dibenci oleh Adrian. "Abaikan aja. Lain kali kalau tawuran jangan ajak dia lagi."

"Harusnya lo yang ikut bukannya nyantai nggak jelas di sini."

Kale mendelik, jika dia ikut tawuran maka mungkin Samael akan mengomelinya habis-habisan, lagipula dia harus belajar untuk lebih dewasa, ada beberapa hal yang harus ditinggalkan untuk kedamaian hidupnya sendiri.

"Gue balik dulu, deh. Mending kalian kompres tuh muka biar nggak bengkak. Entar diputusin sama cewek kalian kalau liat."

"Anjing lo. Pergi sana."

Kale tertawa lalu segera pergi meninggalkan mereka berdua. Namun, langkahnya harus terhenti saat kedua matanya tidak sengaja melihat Daffa sedang duduk sambil diobati oleh Gia.

"Jangan cemen, kemana pas berantem tadi? Gini aja ngeringis."

Daffa cemberut. "Nekennya jangan keras-keras, dong."

Gia mencibir, meski begitu bibirnya tetap tersenyum, kedua matanya pun tampak lebih cerah dari biasanya.

Untuk sesaat Kale terdiam, ini pertama kalinya dia melihat mata Gia secerah itu saat menatap seseorang. Tanpa sadar dia menghela napas panjang, sejak dulu dia tahu kalau Gia menyukai Daffa, dan seharusnya Daffa pun sadar pada perasaannya sendiri, hanya saja entah mengapa ketika dia melihat hal ini secara langsung, hatinya tiba-tiba terasa gelisah dan takut.

Beberapa hari ini juga, semenjak Daffa putus lagi dengan pacar barunya, mereka kian dekat sampai-sampai Kale tidak punya kesempatan untuk mendekati Gia seperti biasanya.

Kale menarik napas, tangannya yang menggantung di sisi tubuhnya terkepal erat. Dalam hati berpikir bahwa mungkin saja kali ini dia harus mulai melepaskan Gia dan tidak berharap apa pun lagi.

Tanpa sadar Kale melangkah mendekat lalu merebut kapas dari tangan Gia, tanpa ampun dia menekan-nekan luka lebam di wajah Daffa dengan ekspresi datar.

"Belagu lo, udah ada rencana kuliah di Amerika bukannya tobat malah makin ngejadi."

"Anjir, apaan, sih. Pelan-pelan, dong. Sakit anjrit!"

"Bodo." Kale melirik Gia. "Kamu juga. Ngapain ngemanja dia?! Orang kayak gini harus dikasih pelajaran biar kapok."

"Halahh, kayak lo nggak pernah ngalamin aja." Daffa mencebik. "Emangnya gue nggak tau kalau kelakuan lo dulu lebih parah dari gue?"

"Udah tau kelakuan gue ini buruk, kenapa malah lo contoh?!" Dengan gerakkan kasar, Kale menarik tangan Daffa untuk berdiri lalu menatap Gia yang memerhatikan tingkah dirinya. "Mending kamu masuk kelas, deh. Biar Daffa aku yang urus."

I WAS FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang