Kale baru saja mengambil obat ketika dia tidak sengaja bertemu dengan Tasha. Awalnya dia berniat menghindar, bagaimana pun juga sikap sinis Tasha lebih parah dari Samael. Saat ini dia sedang tidak ingin cari masalah dengan siapa pun.
"Kale?" Panggilan itu berhasil membuat Kale berhenti berjalan sambil mengumpat kesal karena tidak bisa menghindar.
"Eh, Kak." Kale berbalik sambil tersenyum lebar. "Kakak sakit juga?"
Tasha berjalan menghampiri Kale. "Kebetulan kita ketemu di sini. Tadinya saya mau menemui kamu dan ngasih kontrak dari Neptune." Dia menunjukkan tasnya. "Kamu nggak sibuk, kan? Bisa pinjam waktunya sebentar?"
Kale menganggukkan kepala. "Tentu aja, saya udah selesai kok." Dia melihat ke sekitar, takut ada orang lain yang mengenalnya lagi. "Di depan ada kafe. Mau di sana aja?"
Tasha berjalan mendului Kale tanpa menjawab pertanyaan cowok itu.
"Kamu suka Thai tea seperti Daffa, kan?" Kemudian Tasha langsung memesan minuman.
Kale diam saja, tidak bisa mengalahkan aura mendominasi Tasha. Meski hanya beberapa kali bertemu, tetapi dia masih belum terbiasa dengan sikap Tasha yang terlampau dingin. Pantas saja Daffa tidak pernah akur dengan kakaknya sendiri, sikap mereka terlalu berbeda.
"Nggak perlu khawatir, saya sudah memeriksa kontraknya. Tapi kamu bisa membacanya lebih dulu jika ragu." Tasha meminum kopinya dengan anggun. "Apa kamu nggak mau apply ke Yale? Pihak mereka tidak sengaja melihat gambar yang kamu buat, katanya jika kamu mengajukan beasiswa, mereka akan langsung mempertimbangkanmu."
Kale menatap Tasha setelah selesai menandatangani kontraknya. "Liat nanti aja. Mungkin tahun depan. Untuk tahun ini saya belum ada rencana buat pergi jauh." Bagaimana pun juga saat ini dia masih harus menyelidiki latar belakang ayah tiri Kenan untuk mendapat informasi yang jelas.
"Apa Daffa menghubungimu?"
Sebelah alis Kale terangkat, dia jadi curiga. Jangan-jangan Tasha sengaja mengajaknya minum karena ingin menanyakan kabar adiknya yang akhir-akhir ini sering kabur-kaburan tidak jelas.
"Semalam dia menelepon saya. Katanya sebelum pergi ke Amerika, dia mau ke sini dulu buat pamitan."
Tasha hanya menganggukkan kepala. "Tolong bilang padanya supaya menjaga sikap. Pergaulan di sana kurang baik, salah langkah sedikit saja bisa merubah hidupnya."
Kale terdiam, Daffa sering mengeluh padanya kalau kakaknya sangat dingin dan tidak pernah peduli. Tetapi sepertinya cowok itu salah paham, atau mungkin memang karena sikap Tasha yang enggan memperlihatkan kepeduliannya sehingga membuat salah paham.
"Kenapa nggak Kak Tasha aja yang bilang..."
"Daffa nggak akan mau dengerin saya." Tasha tersenyum kecil. "Dia pun nggak mau dengerin saya waktu saya bilang nggak usah kuliah jauh-jauh ke Amerika." Dia menghela napas panjang. "Mungkin karena keadaan keluarga kami yang kacau." Dia mengakui tanpa malu-malu.
Kale menganggukkan kepala, teringat bagaimana keadaan keluarga Daffa yang seperti bukan keluarga.
"Daffa nggak akan berubah." Kale meyakinkan, mulai mengerti mengapa Tasha mengajaknya bicara. "Saya mengenalnya dengan baik, dia nggak akan berubah."
Tasha tersenyum kecil seolah kalimat yang diucapkan Kale dapat menenangkannya. "Terima kasih."
Kale tersenyum.
Tasha melirik ke arah paper bag kecil yang disimpan di sisi tempat duduk Kale. "Apa Samael tau kamu sakit?" Dia segera menambahkan saat melihat reaksi cowok di hadapannya. "Nggak perlu berlebihan, saya nggak akan bilang ke siapa pun. Termasuk Daffa dan Samael."
KAMU SEDANG MEMBACA
I WAS FINE
Teen Fiction(Tiga tahun sebelum I Was Here) Kale pikir dia akan baik-baik saja, meski dunianya mulai hancur, meski dia harus kehilangan ayahnya, meski dia ditolak berulang kali oleh Mamanya, meski dokter mendiagnosanya dengan penyakit mematikan, dia akan tetap...