2. Isi Hati

717 98 4
                                    

"Gue denger lo ikutan olimpiade Matematika lagi." Samael menyeringai lebar sembari menaruh piring ke atas meja makan. "Widihh, apa lo nggak mau ngasih kesempatan ke yang lain buat menang? Lo terus menang tiap tahun sampai penyelenggaranya aja bosen liat lo."

Kale hanya mendengus, menarik kursi dan duduk di sana. "Berisik." Dia menatap menu makan di atas meja makan, selalu kagum setiap kali melihat hasil masakan kakaknya yang sudah seperti chef terkenal. "Kenapa lo balik? Bukannya lagi sibuk magang."

Samael tersenyum kecil. "Udah selesai magangnya sekarang gue jadi pekerja tetap."

Kale menganga hampir saja berteriak heboh andaikan dia tidak keburu ingat kalau Samael akan berubah menyebalkan jika dia memujinya. Maka dari itu, meski dia kagum karena Samael berhasil diterima di perusahaan ternama itu, dia tetap bersikap tenang.

"Bagus."

Sebelah alis Samael terangkat. "Cuma bagus?" tanyanya. "Diterima kerja di sana susah banget, loh."

Kale memutar bola mata. "Lo hebat. Puas."

"Kalau lo tambahin ganteng sih gue puas."

"In your dream!"

Kale menatap Samael karena cowok itu diam saja bukannya segera mengambil nasi. "Kenapa belum makan?"

"Nunggu Papa." Samael menjawab santai.

Sebelah alis Kale terangkat lalu tersenyum kecil. "Papa pulang? Tumben banget." Matanya menyipit curiga. "Jangan-jangan lo pulang karena disuruh Papa?"

Samael mengangguk. "Tadi Papa telepon, katanya ada yang mau dibicarain." Dia terus menatap Kale karena adiknya itu hanya diam saja. "Lo tau tau apa yang mau dibicarain Papa?"

Pandangan Kale menunduk, tanpa dikasih tahu pun dia tahu apa yang akan dibicarakan Papa malam ini. Dia menghela napas panjang, enggan menjawab pertanyaan Samael. Meski kakaknya itu terlihat biasa saja dengan perlakuan Papa yang dingin. Namun, sama seperti dirinya, jauh dalam hatinya Samael pasti merasa sedih.

"Pa." Panggilan Samael pada Papa menyadarkan Kale dari lamunan.

Dengan pandangan datar Kale menatap Papa yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Kalau bukan karena sibuk, pasti alasannya harus pergi keluar kota hingga Kale merasa seperti tidak punya Papa.
Suasana yang semula hangat berubah menjadi dingin semenjak kedatangan Papa. Mereka makan malam dalam keadaan hening, yang terdengar hanya suara dentung sendok dan garpu.

"Kenapa? Nggak enak makanannya?" tanya Samael saat melihat Kale diam saja bukannya makan.

Kale mengabaikan pertanyaan Samael dan terus menatap Papa. "Apa yang mau Papa bicarain?" tanyanya dengan nada dingin. "Bukannya Papa pulang karena ada yang mau dibicarain ke kita berdua."

Mata Papa menyipit.

Samael langsung menarik ujung baju Kale, berusaha menghentikan adiknya bicara sembarangan. Bagaimana pun juga mereka tahu seseram apa Papa jika ketenangannya diusik.

"Saya dengar tahun ini kamu ikut olimpiade Matematika lagi." Papa balas menatap Kale sama datarnya.

"Hm." Dengan susah payah Kale menjawab, entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak. Ini pertama kalinya Papa bertanya hal seperti itu padanya.

"Tahun ini Kenan juga mengikuti olimpiade Matematika. Dia mendapatkannya dengan susah payah, sebaiknya kamu mengalah, toh setiap tahun kamu selalu menang." Suara Papa terdengar santai. "Sesekali mengalah pada saudaramu sendiri."

Tangan Samael yang sedang menahan baju Kale perlahan terlepas. Kedua matanya menatap Papa tidak percaya kemudian pada Kale yang bersikap biasa saja seolah dia sudah mengetahui kalau hal ini akan terjadi.

I WAS FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang