Daffa mengerutkan kening saat melihat Kale melempar belati ke sisi tubuh ketiga cowok yang sudah memukuli Kenan. "Lo punya pisau anggota BAP dari mana?"
Kedua mata Kale menyorot datar saat menatap ketiga cowok yang sudah babak belur karena dipukuli oleh Daffa. "Darren." Dia berbalik menatap Daffa setelah memastikan bahwa rencananya akan berjalan dengan baik. "Bentar lagi biasanya anggota geng mereka lewat sini, kalau liat belati itu mereka bakalan ngira kalau tiga bangsat itu dipukuli sama BAP."
Daffa menganga. "Tujuan lo adalah ngadu domba BAP sama Andromeda? Tapi buat apa?"
Kepala Kale meneleng sedikit. "Biar si Darren ada kesibukan dan nggak ngikutin Gia terus." Kale menepuk tangannya yang kotor. "Dengan begitu gue juga bisa lolos kalau tiga bangsat ini lapor polisi soal pengeroyokan."
Setelah mengerti jalan pikiran Kale yang menurutnya kejam, Daffa tidak bisa berkata apa-apa selain pergi meninggalkan tempat sepi itu dan masuk ke dalam mobil bersama Kale. Sesekali dia melihat ke belakang, pada ketiga cowok yang terkapar tidak berdaya karena Kale pukuli habis-habisan.
"Gimana kondisi Kenan? Nggak ada yang parah?"
Kale memandang keluar kaca mobil masih dengan tatapan datar. "Kepalanya dijahit. Parah buat orang yang jarang berantem kayak Kenan."
Daffa melirik Kale sebentar, pantas saja cowok itu bersikap sebegitu kejamnya pada ketiga cowok yang memukuli Kenan. "Lo udah kasih tau Nyokap lo soal Kenan?"
Kale terdiam, teringat saat melihat ponsel Kenan yang terus menerus bergetar karena ditelepon oleh Rima. Tangannya gatal ingin menjawab telepon tersebut tetapi sayangnya rasa takut mengalahkan keinginannya. Yang dia lakukan hanya terus membiarkan Rima menelepon Kenan sampai merasa bosan sendiri.
"Nggak. Gue nggak mau bikin Ibu tambah benci sama gue." Kale menarik napas panjang. "Ibu pasti marah kalau tau anaknya dikeroyok gara-gara gue."
Daffa mengetuk-ngetuk jarinya ke atas setir mobil. "Sebelum lo datang, salah satu dari mereka bilang ke gue." Dia bicara dengan nada ragu-ragu sambil sesekali melirik Kale. "Mereka bilang Kenan kayak sengaja cari ulah di depan mereka."
Kale menatap Daffa, belum mengerti.
"Sebenernya mereka nggak ada niatan buat ngeroyok Kenan, mereka bilang udah takut sama ancaman lo waktu itu." Daffa menarik napas panjang. Hal ini jugalah yang membuatnya prihatin dan langsung berhenti memukuli ketiga cowok itu. "Tapi Kenan seolah cari gara-gara sama mereka sampai batas sabar mereka habis."
Kale masih terdiam.
"Dan saat mereka ngeroyok Kenan, mereka nggak sengaja denger pas Kenan bilang dengan begini dia pasti bakalan ketemu sama lo."
Saat itu Kale merasa otaknya kosong, dia tidak bisa berpikir apa pun.
"Mungkin selama ini Kenan tau kalau lo diam-diam selalu ngawasi dia."
Kale tersenyum ironi, benar-benar tidak bisa mengerti situasi yang dihadapinya sekarang. Mulai dari perkataan Kenan tentang ibunya, lalu sekarang alasan Kenan dipukuli, semua ini benar-benar membuatnya bingung. Sebenarnya apa yang mereka ingin darinya? Bukankah Rima membencinya dan tidak ingin bertemu dengannya, lalu mengapa Kenan bilang bahwa Rima selalu menunggu dirinya datang.
"Siapa tau lo nggak akan pernah ketemu sama sodara lo lagi." Daffa bicara tanpa menatap Kale. Dia mematikan mesin mobil lalu segera keluar. "Ini mungkin bakalan jadi kesempatan terakhir lo. Ayo buruan, entar Nyokap lo keburu dateng jemput Kenan."
Kale pergi mengikuti Daffa tanpa banyak bicara.
"Gue nunggu di sini aja." Daffa menepuk bahu Kale. "Nggak usah buru-buru. Kalau ada yang mau lo omongin, lakuin sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
I WAS FINE
Teen Fiction(Tiga tahun sebelum I Was Here) Kale pikir dia akan baik-baik saja, meski dunianya mulai hancur, meski dia harus kehilangan ayahnya, meski dia ditolak berulang kali oleh Mamanya, meski dokter mendiagnosanya dengan penyakit mematikan, dia akan tetap...