4

40.6K 3.2K 961
                                    

Hari senin pagi, Yuda sudah siap untuk bekerja. Ia langsung keluar kamar dan berjalan ke arah kamar Nathan yang berada di sebelah kamarnya.

Tok... Tok... Tok...

"Nana, sudah bangun?"tanya Yuda sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban dari Nathan yang membuatnya sedikit panik. Ia langsung membuka pintu bercat putih itu dan mendapati anak semata wayangnya masih bergelung di atas kasur dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya sampai sebatas leher.

"Nana kok bel-astaga! Badan kamu panas banget!"pekik Yuda terkejut saat merasakan panas ketika telapak tangannya menyentuh dahi Nathan.

"Dingin, Pa. Kepala Nana pusing, sesak~"lirih Nathan.

"Tenang, sayang. Papa disini, kita ke rumah sakit, ya."ucap Yuda sambil membuka Nakas mencari oksigen portabel dan memakainya pada Nathan sebelum ia menggendongnya keluar.

"Bi Murti ikut saya ke rumah sakit, sekarang!"tegas Yuda pada pembantunya yang tengah menata makanan di meja makan.

"Baik, pak!"

Yuda memasukkan Nathan ke dalam mobil dengan hati-hati. Ia panik, khawatir, tapi ia berusaha untuk tetap tenang dan berdoa semoga anaknya baik-baik saja.

"Pak Asep, tolong jaga rumah ya."ucap Yuda pada satpam rumahnya.

"Baik pak, hati-hati di jalan."

Setelah itu Yuda melanjukan mobil ke rumah sakit tempatnya bekerja. Hanya butuh waktu 20 menit, mobilnya sampai di depan lobby rumah sakit. Ia membuka pintu mobil dan menggendong Nathan masuk ke dalam rumah sakit.

"Suster, siapkan ruang rawat biasa untuk anak saya dan panggil dokter Dimas ke UGD."perintah Yuda pada seorang suster sambil mendorong blankar yang ditempati Nathan ke ruang UGD untuk diperiksa lebih lanjut.

"Sesak, Pa~"lirih Nathan.

Yuda langsung memasang oksigen dan infus pada Nathan dengan tangan yang sedikit gemetar.

"Papa disini Nana, Papa disini."

Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Yuda. Tangannya semakin gemetar saat Nathan menutup matanya dengan nafas tidak beraturan.

"Yuda! Nana kenapa?"tanya dokter Dimas, sahabat Yuda sejak kuliah.

"Kambuh, badannya juga demam,"jawab Yuda lirih. Air matanya mulai menetes, ia takut Nathan kenapa-kenapa.

"Lo tenang dulu, Nana bakal baik-baik aja, gue yakin."ucap Dimas menenangkan Yuda sambil mengatur kadar oksigen yang mengalir ke sistem pernapasan Nathan dan menyuntikkan obat ke cairan infusnya.

"Setelah detak jantung dan nafasnya stabil, Nana bisa langsung dipindahkan ke ruang perawatan. Udah, lo gak usah sedih."

"Gue cuma punya Nana, Dim. Hidup gue gak pernah tenang setelah gue tau kalo penyakit Winata menurun ke anak kami, setiap hari gue selalu ketakutan dan saat-saat kayak gini itu seperti neraka buat gue."

Yuda terduduk di kursi yang berada di samping ranjang Nathan dan menggenggam erat tangan anaknya itu sambil menunduk menyembunyikan air matanya.

Setetes air mata meluncur dari pelupuk mata Dimas, ia sangat tahu perjuangan Yuda merawat dan membesarkan Nathan seorang diri tanpa Winata. Ia tahu bagaimana tangisan Yuda saat menyambut kelahiran Nathan serta kepergian Winata pada waktu yang bersamaan. Ia sangat tahu bagaimana hancurnya dunia Yuda pada saat itu. Untuk pertama kalinya, sahabatnya yang tangguh dan sekuat baja tiba-tiba menangis meraung keras di ruang operasi karena tidak bisa menyelamatkan belahan jiwanya. Separuh hidup Yuda pergi bersama dengan Winata dan kini ia hanya memiliki separuh lagi pada Nathan. Sejak hari itu, Dimas berjanji akan membantu Yuda menjaga Nathan dengan seluruh tenaga yang ia punya.

Entire || Nomin 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang