18. Bingung

2.9K 106 2
                                    

Oh iya, aku hampir lupa. Seratus hari Mas Indra kan jatuh di hari senin nanti. Tiga hari lagi.

Minimal aku harus membuat persiapan seperti membuat buku yasin, menyewa tenda, menyiapkan makanan, buah, air mineral, tikar dan sebagainya.

Aku segera membalas pertanyaan Bu Sinta tadi.

"Tiga hari lagi Bu, Ibu datang ya?" pintaku, yang setahuku rumahnya terletak tiga rumah disebelah kananku.

"Oh oke Bu, saya pasti datang." ujarnya.
Untuk tikar aku tidak memilikinya, aku harus meminjam ke siapa ya? Apa ke Bu Sinta saja ya? Tapi masa aku yang tidak terlalu mengenalnya malah justru meminjam tikar sih?

"Oh iya, denger-denger pacarnya Mas Rian itu keponakannya Bu Ratmi ya?" tanya Bu Sinta seraya mengambil sayur mayur dan tahu, memisahkannya.
Aku tersentak. Bu Sinta tahu sampai sedetail itu?! Jangan bilang Bu Ratmi yang menyebar tentang berita itu?

Heuh.. Padahal aku tidak pernah mengumbar cerita tentang Mas Rian pada siapapun.

Aku segera membalas. "Iya Bu, benar. Tapi ngomong-ngomong kok Ibu bisa tahu ya tentang berita itu?" tanyaku.

"Oh itu, saya dengar dari anaknya bu Ratmi Bu. Kebetulan anaknya suka main sama anak saya." ucap Bu Sinta.

"Oh gitu ya hehe." ucapku. Benar kan? Anaknya juga pasti tahu dari dia. Ah sudahlah.

"Menurut saya sih enggak masalah mau menikah sama siapa juga. Yang penting kan saling mencintai dan menghargai satu sama lain ya Bu? Supaya langgeng rumah tangganya." ucapnya.

Aku mengangguk. "Iya Bu. Benar." ucapku. "Bu Lisa juga suka kan sama Mas Rian? Makanya kalian berdua menikah?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk. Ia kembali berkata.

"Iya lah kenapa musti dipermasalahin? Fika juga ngerelain aja kan ya Mas Rian nikah sama Mbak?" tanyanya.

Aku tersenyum mengangguk. "Iya. Fika bahkan menyarankan saya untuk menikahi Mas Rian."

"Iyalah, Mas Rian juga keliatannya suka banget sama Mbak. Udah jangan dengerin kata orang." ucap Bu Sinta. Aku mengangguk.

Setidaknya, aku merasa dibela.

"Oh iya saya duluan ya Bu, anak saya sendirian dirumah soalnya." ujar Bu Sinta seraya mengambil belanjaan dari tukang sayur dan kembaliannya. Aku mengangguk.

"Iya Bu." ucapku seraya tersenyum.

Aku memisahkan beberapa sayuran, bawang serta cabai dan tomat lalu membayarnya.

Aku bawa seplastik belanjaan dan segera pergi dari sana. Pulang.

Tiba-tiba tanganku dicolek oleh seseorang. Aku langsung bergidik kaget.

"Astagfirullah." Terlebih saat melihat orang yang mencolekku adalah seorang preman pasar, bercelana jins robek dan baju kaus hitam.

Tepatnya ada dua preman pasar yang berdiri disana. Menghalangi jalanku. Banyak orang tampak tidak berani berurusan dengan mereka, bahkan semua orang yang berada disana tampak acuh, membiarkanku digoda oleh sang preman.

Tidak ada satupun yang menolongku!

"Hai Mbak, mau kemana? Boleh minta sisihan uangnya gak? Laper nih belum makan." pintanya tersenyum lebar.

Aku berniat menghindari mereka, akan tetapi mereka masih saling menghalangiku.

Aku ingin pergi pun tidak bisa karena mereka terus mencegatku. Aku bingung. Kemana aku harus pergi, mereka terus mengikutiku!

Apa aku kasih saja ya uang ke mereka? Supaya mereka bisa melepasku.

Aku pun segera memberikan salah satu dari mereka selembar uang dua ribuan. Preman yang menerima uang tersebut pun meremehkan mentah-mentah.

Kuserahkan Istriku Pada Adik Lelakiku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang