22. Siapapun memiliki kesempatan

1.8K 81 2
                                    

"Enggak tahu Bu, saya bingung gimana cara nemuin solusinya." ujar Rian.

"Jangan khawatir, pokoknya ibu juga akan bantu kamu menyelesaikan masalah ini. Oh iya ibu punya pesan buat kamu.. Jadilah diri kamu sendiri Rian. Dengan tetap menjadi orang baik dan tidak memperdulikan penilaian orang lain. Ibu yakin, kamu adalah anak yang baik." ujar Lisa tersenyum.

Rian tersentak. Ia luluh seketika dengan perkataannya itu. Saat itu adalah awal dari dimulainya sebuah... Perasaan yang tumbuh.

Esok harinya Lisa kembali mendapati Rian tidak masuk sekolah. Sedangkan ia lihat di kelasnya seakan acuh dengan hal tersebut.

Membiarkan saja Rian tidak ada di jam kelas saat itu, bahkan teman-teman yang awalnya dekat dengan dirinya kini ikut merasa ilfeel dengannya, itu semua berkat dorongan kuat dari pengaruh Saptoyang terus mengatakan hal buruk tentangnya.

Lisa merasa ini tidak beres, ia pun segera memukul mejanya berkali-kali, membuat seluruh perhatian kelas yang tadinya ribut jadi berubah kondusif.

"Apa kalian tidak sadar kalau ada anak murid disini yang sedang kesusahan bahkan rela berjualan koran keliling?!" tandas Lisa. Semua tersentak mendengarnya dan terdiam seketika, masih memusatkan perhatian padanya.

"Maksud Ibu apa ya Bu?" tanya Hana penasaran.

"Kalau bukan karena janji itu, Ibu akan langsung membeberkan siapa anak muridnya sejak awal." ucap Lisa.

Mereka saling melihat ke temannya dengan wajah bertanya-tanya.

"Maksudnya apa ya? Gue gak ngerti?"

"Iya gue juga."

"Maksudnya apa ya Bu?" tanya mereka beberapa saat setelahnya.

"Rian, telah berjuang lebih awal dibanding kalian. Dalam usahanya untuk meraih cita-citanya. Tapi kenapa kalian malah justru menganggapnya anak yang buruk? Yang tidak pantas untuk menjadi baik? Siapapun memiliki kesempatan, untuk menjadi baik. Siapapun memiliki hak untuk itu." ucap Lisa.

Semua saling terdiam, menunduk. Menyadari kesalahan masing-masing.

Di luar sana menampak seorang siswa sedang berdiri menyandar pada dinding kelas, lalu mendongakkan kepalanya ke atas langit dengan mata berkaca-kaca.

Air mata itu lantas menetes karena tidak lagi dapat ia tahan. Ini memalukan. Kenapa gurunya itu terlalu ikut campur dalam masalah ini. Dia bahkan telah... Melanggar janjinya sendiri.

Rian segera pergi dari sana, menjauh dari kelasnya, pergi entah kemana.
Esok paginya Lisa sedang mengangkat buku-buku paket yang harus dipindahkan ke perpustakaan.

Setelah memindahkan tumpukan buku paket tersebut ke dalam kardus, lalu ia membawanya pergi. Seorang guru mendekatinya dan menegurnya.

"Enggak minta bantuan muridmu Lis?" tanya Bu Sani.

"Enggak, masih bisa sendiri kok. Yuk Bu, duluan." ucapnya meninggalkan ruang guru tersebut.

Lisa terus berjalan menjauh dari sana menuju perpustakaan yang terletak di lantai 2, melewati berbagai kelas di kanan kiri. Akan tetapi baru akan naik ke tangga.

Ia ubah posisi memegang kardusnya agak ke atas. Ia naik melewati tangga, baru beberapa langkah menaiki tangga. Tiba-tiba seseorang bantu memegang kardus itu dari belakang.

Lisa menoleh ke belakang, ia tersentak melihat Rian tersenyum. Ia alihkan kardus itu ke tangannya dari tangan Lisa. "Rian?" tanya Lisa heran.

"Gak usah pura-pura kuat Bu, kalau enggak kuat mah." ucapnya seraya cengengesan.

Lisa balas tertawaannya dengan makian. "Ibu masih kuat kok. Nih liat, kurus-kurus gini Ibu punya otot tahu." ucapnya, Rian tertawa geli saat itu. "Jadi ibu ngaku sendiri nih kalau ibu kurus?" tanya Rian.

"Bawel kamu." ucap Lisa sebal, ia ambil kembali kardus itu dari tangan Rian dan berniat pergi, akan tetapi kardus itu diambil kembali oleh Rian. Jadilah mereka rebut-rebutan saat itu.

"Biar saya aja, Bu."

"Biar saya aja, Rian."

"Enggak, biar saya aja."

"Saya aja."

"Saya aja."

"Saya aja."

Di kala mereka saling rebut-rebutan, kardus itu pun jadi berbalik menyerang mereka dan membuat mereka jatuh pada akhirnya. Mereka saling terduduk di lantai.

"Astagfirulloh, Rian! Kamu kenapa enggak mau kalah sih? Tuh liat ibu jadi jatuh kan? Kamu senang ya ibu jatuh? Didalam hati kamu ketawa kan?" tanya Lisa kesal.

"Enggak Bu, maaf. Saya cuma mau bantu ibu kok serius. Saya enggak ketawain ibu juga." ucap Rian sambil menunjukkan dua jarinya membentuk V. Ia bersumpah.

"Udahlah." ucap Lisa segera menyusun kembali buku yang semula jatuh ke dalam kardusnya.

"Ibu kenapa sih enggak mau saya bantu?" tanya Rian.

"Karena ibu masih bisa sendiri." balas Lisa kontan membuat Rian terdiam tak bisa menjawab apapun lagi.

Lisa segera mengangkat kardus itu dan berjalan kembali menaiki tangga, akan tetapi Rian langsung merebut kembali kardus itu dan bawa kabur kardusnya meninggalkan Lisa dibelakang. Tak ayal Lisa pun memekik saat itu.

"Riannnn!!" Dan ikut mengejarnya.

Rian pun sampai didalam perpustakaan. Disana ia bisa melihat rak buku dimana-mana. Ia cari buku yang sama persis seperti itu.

Lalu ditemukan. Ia taruh semuanya disana. Lisa mendekati Rian dengan ngos-ngosan. "Kamu cepat banget sih Rian... Pake jet kamu larinya?" tanya Lisa.

"Bu, ini taruh sini kan?" tanya Rian.

"Udah Ibu aja. Kamu ngapain sih segala bantu Ibu?" tanya Lisa seraya merebut, akan tetapi Rian menahannya. Dan taruh buku itu di dalam rak.

"Biarin Bu saya aja. Ibu kan pegal habis lari-lari." ucap Rian.

"Akh tahulah.. Susah banget ngatur kamu." ucap Lisa ikut mengambil buku dari kardus dan taruh ke raknya.

Rian tertawa saat itu. Mereka saling merasa senang ketika menaruh buku-buku itu ke tempatnya, hingga seorang siswa menjepret momen dimana mereka saling tertawa saat asyik mengobrol.

Siswa itu adalah... Sapto. Pria yang cukup diketahui adalah musuh bebuyutan Rian.

Mading sekolah dikerubungi oleh banyak siswa, dikarenakan ada berita yang begitu menggemparkan. Tidak lain itu adalah foto antara Rian dan Lisa.

Saat itu Rian yang mendengar namanya terus disebut oleh mereka langsung mendekat dan menerobos kumpulan siswa hanya untuk melihat apa yang ada dihadapannya saat ini.

Sebuah foto antara ia dan Lisa yang sedang berada di perpustakaan terpajang. Rian langsung merobeknya dan jadikan foto itu sobekan yang kecil lalu membuangnya. Ia marah, ia benci, ia kesal.

"SIAPA YANG NYEBAR FOTO INI!" pekik Rian. Semua saling bertanya pada yang lain namun tidak ada yang menemukan jawaban.

"CEPAT KATAKAN SIAPA!" pekik Rian marah.

Tidak ada dari mereka yang menjawab maupun membalas perkataannya. Bahkan mereka jadi saling menuduh.

"Dalam hitungan ketiga kalau tidak ada dari kalian yang mengaku---"

Tiba-tiba seseorang berkata dengan lantang. "GUA NAPA!" pekik Sapto.
Rian geram dan segera meninju Sapto saat itu juga.

Memukulnya berkali-kali tanpa bisa dilawan, dipukul maupun dihajar balik karena dirinya terlalu kuat memukulnya, bahkan mirip seperti petinju saja.

Lisa tak sengaja melihat itu dan langsung melotot saat melihat Rian menghajar Sapto sampai babak belur wajahnya. Lantas ia pun memekik.

"RIAN!"

"CUKUP!" pekik Lisa yang menarik tangan Rian berkali-kali, memintanya untuk berhenti. Akan tetapi dirinya malah justru semakin keras memukulnya.

Kuserahkan Istriku Pada Adik Lelakiku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang