- Takut trauma nya

226 21 3
                                    

Haekal menatap kosong satu gundukan tanah dengan sebuah papan yang bertuliskan nama ibunya tersebut.

Ia berjongkok sembari mengusap halus papan nama itu, kembali menangis untuk kesekian kalinya.

"bu.." lirih nya begitu parau.

"Haekal"

Hanan ikut berjongkok, ia harus tetap disamping haekal. Takut-takut jika haekal akan menangis seperti ini lagi.

"Kal udah ya? aku sakit liat kamu gini" ucapnya mengusap air mata haekal yang jatuh kepipi nya walaupun percuma, karena nyatanya air mata itu terus jatuh tanpa tau kapan akan berhenti.

"Aku juga sakit nan liat ibu pergi"

"kal.. kita pulang ya?

Haekal menggeleng lemah, "aku disini dulu ya nan? kamu duluan aja, aku belum mau ninggalin ibu."

"Aku tunggu digerbang ya kal?" hanan pergi meninggalkan haekal sendiri dimakam ibunya.

Haekal hanya terdiam menatap nanar gundukan tanah tersebut, apa yang harus ia lakukan jika ibunya tidak ada? ia hampa, bahkan baru beberapa menit tubuh itu dikuburkan.

"Jahat! ibu ninggalin haekal, ga pamit. haekal ga suka." racau nya tak jelas.

Hari sudah sore, tepat setelah ashar tadi ibu haekal dikebumikan.

Setelah melihat wajah sang ibu untuk terakhir kalinya.

Sedangkan hanan menunggu haekal dengan setia di gerbang pemakaman. Menunggu sembari memainkan ponselnya yang sudah lama tak ia sentuh.

Cukup lama hanan menunggu, sekitar setengah jam ia duduk di motornya menunggu sang saudara.

Haekal keluar area pemakaman dengan mata sembab nya, langkah kakinya yang lesu juga tatapan yang mengisyaratkan kesedihan yang begitu dalam.

"Udah kal?" tanya hanan.

Haekal menghampiri hanan, mengangguk lemah menjawab pertanyaan hanan.

"Pulang ya? kita makan dulu, kamu belum makan." Ajak hanan.

Haekal kembali mengangguki ajakan hanan, ia ikut saja yang penting pikiran nya bisa sedikit tenang walaupun itu agak susah.

Hanan menaiki motornya diikuti dengan haekal yang duduk di jok belakang. Tak lupa memakai helm guna mematuhi peraturan lalu lintas.

Hanan tak membawa haekal pulang, ia mengajak nya untuk singgah terlebih dahulu di warung sate pinggiran dekat sd yang sempat jadi tempat favorit mereka berdua ketika masih duduk dibangku sekolah dasar.

Menghentikan motornya disamping warung yang memiliki spanduk bertuliskan "Sate padang mang ikhlas," masih sama seperti dulu hanya warna nya saja yang sedikit berubah.

Mereka berdua memasuki warung tersebut. Duduk dibangku paling pojok, haekal yang memilih.

Hanan memesan dua porsi sate untuk mereka, penjual nya tampak akrab dengan mereka. Merindukan pelanggan setia nya itu saat ia masih awal-awal membuka warung.

"Kemana aja? ga pernah keliatan lagi" tanya si pemilik warung.

"Mondok mas, ini baru pulang" jawab hanan akrab.

"Loh? hanan sama haekal mondok toh, pantes ga pernah keliatan lagi, dah jadi ustadz ternyata" balasnya disertai candaan.

"Belum jadi ustadz kali mang, masih proses" kali ini haekal menjawab.

Mamang itu terkekeh sembari mengantarkan pesanan mereka. "mamang kira kalian pindah rumah mangkanya ga keliatan lagi batang idungnya, nih satenya."

"Mau pindah kemana mang, gaada duit buat pindah" timpal hanan menerima pesanan mereka.

Dua Bulan Zafari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang