[SEQUEL OF HIRAETH]
Ingin bahagia? Maka letakkan semua keinginan itu pada titik zero expectations.
Kata orang, jika ingin bahagia, maka jangan pernah punya ekspektasi berlebihan kepada siapapun. Karena sejatinya, realita tidak semanis ekspektasi
"K...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di penghujung SMA, banyak masalah yang datang terkait pilihan dan jati diri. Kebimbangan untuk melanjutkan studi atau memilih langsung bekerja untuk melanjutkan hidup. Kebimbangan akan jati diri sendiri yang bingung hendak melanjutkan kuliah di jurusan dan PTN yang mana. Bingung memilih perguruan tinggi negeri, swasta, sekolah kedinasan, ataupun yang lainnya. Semua itu dialami oleh remaja yang berada di penghujung SMA.
Kelas 3 SMA menjadi masa-masa paling menguras tenaga, mental, dan pikiran. Belajar, mencoba berbagai macam soal ujian, dan bimbingan untuk mempersiapkan diri saat ujian nanti. Siang malam harus belajar demi meraih impian. Tidak mengenal lelah meskipun tubuh sudah mendesak untuk diistirahatkan. Banyak pikiran yang berkecamuk akan masa depan, membuat malam-malam yang harusnya tenang malah diisi dengan keraguan akan diri sendiri.
"Kamu jadinya pilih kampus di mana? Biar aku juga ambil di sana, barengan." Auriga menatap Agha yang tengah sibuk menjawab beberapa pertanyaan di bukunya. Di penghujung SMA ini, tentu saja semuanya akan sibuk untuk menyiapkan diri dalam ujian masuk perguruan tinggi favorit yang diimpikan, begitu juga dengan Agha. Dia selalu belajar, siang dan malam. Demi mewujudkan cita-citanya.
"Pilih sesuai impian kamu, Ga. Jangan ikuti aku terus," ucap Agha tanpa melepaskan atensinya dari buku-buku yang ada di meja belajarnya.
"Lah kan aku cuma nanya, lagian aku juga bakal ambil jurusan yang aku mau. Hanya kampusnya saja yang sama, biar kita barengan."
Agha meletakkan pulpennya, dia menatap Auriga dalam. "Ga, aku yakin kamu juga punya kampus impian selama ini. Kamu ikuti kata hati kamu aja, ya? Raih impian kamu, jangan hanya karena kamu ingin kita barengan terus, malah membuat impian kamu kehambat."
"Apapun kampusnya jika jurusannya sesuai dengan aku, gak bakalan menghambat impian juga kali, Gha." Auriga sudah hampir menaikkan nada bicaranya pada Agha. Dia kesal kenapa Agha selalu melarangnya untuk tidak memilih kampus yang sama dengannya.
"Tapi aku gak mau kamu memilih sesuatu yang bukan keinginan kamu. Pilih sesuai impian masing-masing aja."
"Impian aku itu untuk terus bareng-bareng sama kamu, apa itu salah? Apa kamu sekarang udah ga mau lagi untuk bareng sama aku? Kamu udah mulai bosan?" Auriga hampir kehabisan kesabaran.
"Bukan gitu, Ga..."
"Terus apa??? Apa yang bikin kamu ngelarang aku untuk satu kampus sama kamu? Apa?!"
Agha terdiam. Kemarahan Auriga salah satu hal yang dia takuti.
"Ck, di mana-mana orang bakalan senang kalau sesama saudara itu tuh sekampus, satu almamater. Kamu malah gak senang. Terserah deh. Nanti aku juga bakalan tau." Auriga langsung keluar dari kamar. Dadanya berasa panas dengan gejolak emosi yang kian meninggi. Lagian, percuma juga merahasiakan sesuatu dari Auriga. Ujung-ujungnya dia juga bakalan mengetahui semuanya. Seperti dulu.
Suara dentuman pintu kamar membuat Agha menarik napasnya dalam. "Aku hanya tidak mau terus bergantung sama kamu, Ga."
Pagi harinya, suasana sarapan di keluarga Malviano terlihat begitu hangat. Papa, Mas Danan, Kak Ivan, Bang Abel, Auriga, dan Agharna duduk bareng di ruang makan. Kegiatan yang rutin mereka lakukan tiap pagi, meskipun terkadang Ivan harus bolos sarapan bersama karena jadwal dinasnya di rumah sakit.