[SEQUEL OF HIRAETH]
Ingin bahagia? Maka letakkan semua keinginan itu pada titik zero expectations.
Kata orang, jika ingin bahagia, maka jangan pernah punya ekspektasi berlebihan kepada siapapun. Karena sejatinya, realita tidak semanis ekspektasi
"K...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Desas desus akan adanya olimpiade yang berpotensi untuk bisa masuk ke PTN favorit menghebohkan satu angkatan di sekolah. Tentu saja hal itu menjadi peluang berharga bagi siswa-siswi yang berkeinginan untuk masuk lewat jalur prestasi. Meskipun tidak banyak yang bisa mengikuti olimpiade tersebut, tapi gak itu jelas membuat jiwa kompetitif siswa meningkat untuk bisa mendapatkan hal yang terbaik dan bisa mengikuti olimpiade tersebut.
"Katanya yang bisa ikut hanya orang-orang pilihan doang," bisik beberapa siswa yang sudah mendapatkan bocoran.
"Lah kita juga berhak ikut."
"Emang lo yakin sekolah bakalan ngumumin olimpiade ini? Pasti murid yang punya orang tua paling berkuasa dulu yang diprioritasin."
"Kayak gak kenal sekolah ini aja, kita yang ga ada apa-apa gini mana dikasih kesempatan."
"Siapa aja yang bakalan ikut olim ini?"
"Siapa lagi coba, Auriga yang punya otak paling encer di IPS aja kabarnya gak ikutan."
"Tapi yang gue dengar, kembarannya si Auriga masuk list siswa yang ikut olimpiade."
"Demi apa? Gimana bisa?"
"Bisa-bisa aja kan, toh orang tuanya mereka juga termasuk salah satu donatur yang disegani di sekolah ini."
"Gak masalah sih kalau Agha ikutan, gue juga yakin otaknya sama encernya dengan si Iga."
"Tapi gue harap sekolah dapat ngebuka pendaftaran biar semua siswa dapat hak mereka untuk ikut olim ini."
Pembicaraan itu tak sengaja terdengar oleh Auriga yang sedang membeli minum di mesin minuman. Tubuhnya memang kehalang tembok sehingga tidak kelihatan. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, tapi wajahnya sungguh terlihat serius.
Auriga langsung putar badan dan seakan tidak mendengar apa-apa. Dia masuk ke ruangan Pak Gio. Ruangan itu selalu terlihat lebih tenang dan sejuk, membuat Auriga merasa lebih nyaman berada di ruangan Pak Gio.
"Bapak sebenarnya gak niat ya jadi guru?" tanya Auriga yang menatap Pak Gio sedang duduk santai sambil bermain game di hpnya.
"Ada apa ke sini?" tanya Pak Gio dengan nada datar.
"Wah!! Bapak melupakan kerjasama diantara kita begitu saja?!" tanya Auriga yang tercengang dengan kepribadian salah satu gurunya itu.
"Saya kira kamu bakal nolak."
Auriga duduk dengan santainya sambil memasang wajah sebal. "Saya hanya penasaran cara Bapak menjinakkan keras kepalanya Papa."
Pak Gio memfokuskan perhatiannya pada Auriga, senyum tipis tercetak jelas di ujung bibirnya.
"Penasaran atau kamu gak yakin sama diri kamu sendiri?" tanya Pak Gio berusaha untuk menggoda anak muridnya itu.
Auriga yang mengerti maksud pertanyaan Pak Gio langsung menatap Pak Gio dengan sorot mata serius.