Happy weekend! Happy reading!
Semakin mendekati waktu ujian, waktu 24 jam dalam sehari rasanya semakin pendek dan tidak berasa. Tiap detik dan menitnya seakan sangat berharga untuk diisi dengan belajar dan belajar. Semua tenaga, waktu, dan pikiran hanya dipenuhi dengan belajar. Bahkan rasanya sangat sayang untuk membiarkan waktu luang begitu saja. Itulah yang dirasakan Auriga. Dia seakan mati-matian belajar karena banyaknya tuntutan yang dia tanggung.
Auriga harus memenuhi janjinya dengan Papa Efendi untuk mendapatkan hasil terbaik agar dia bisa mempunyai bekal untuk lulus di pilihannya dalam sekali percobaan. Dia juga seakan harus memenuhi ekspektasi guru dan teman-temannya kalau dia bisa mendapatkan yang terbaik sebagai siswa berprestasi selama menjadi murid di sekolah. Auriga juga harus bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa mendaftar di universitas yang sama dengan Agharna.
Sekalinya dia pergi refreshing sejenak, dia pasti akan mendapatkan ceramahan dari Papanya karena dianggap lalai mempersiapkan ujian. Padahal dalam 24 jam, dia kadang hanya punya 1 jam untuk meluangkan waktu bersama teman-temannya. Untuk melakukan hobi yang selama ini membuatnya hidup pun, tidak pernah lagi dia lakukan. Apalagi selama satu tahun ini dia selalu gagal lulus seleksi dalam setiap pertandingan bela diri dikarenakan faktor kesehatannya.
"Adek, Kakak masuk ya." Suara Ivan terdengar dari depan pintu taman dalam rumah. Area taman itu direnovasi oleh Ivan atas permintaan Auriga agar dia bisa menggunakannya sebagai tempat belajar.
Auriga tidak menyahutinya. Dia sedang fokus membaca materi di bukunya dan mencoret-coret catata pribadinya. Ivan masuk dengan menggunakan masker karena di sana ada kucing-kucingnya Auriga tengah bermain, menemani budaknya yang lagi belajar.
"Dek, istirahat dulu. Mas Danan tadi pulang cariin kamu, loh. Tapi, melihat kamu yang sedang serius belajar dia langsung balik lagi ke kantor."
Auriga dengan mata yang terlihat lelah menatap kakaknya itu. Dia melirik jam di ponselnya yang sejak tadi tidak dia sentuh. Sudah hampir 5 jam dia berada di sana. Sejak pulang sekolah, dia langsung belajar karena sekarang tidak ada kelas di bimbingan belajar.
"Sebentar lagi, Kak. Tanggung tinggal beberapa soal lagi. Nanti Papa marah lagi ke adek kalau istirahat."
"Nanti Kakak yang bilangin ke Papa. Matanya sudah merah banget itu. Adek juga udah jarang banget Kakak lihat tidur siang. Ntar kamu gak tinggi-tinggi, lho." Ivan tentu saja khawatir sama adiknya itu. Memang, sekarang-sekarang ini waktu yang sangat krusial bagi siswa-siswa SMA yang akan ujian.
"Nanti kalau sudah kelar ujian dan adek udah diterima di kampus impian adek, adek bisa tidur nyenyak."
Ivan tersenyum mengelus rambut adiknya itu. "Ini tadi Mas Danan beliin coklat truffle buat adek. Kakak tadi juga dibeliin dah Kakak makan, enak banget."
Auriga menatap kotak coklat itu dengan tatapan senang. Ivan membantu membukakannya dan menyuapi adiknya itu.
"Makan malam mau dimasakin apa, Dek?" tanya Ivan.
Auriga tampak berpikir, sementara matanya masih fokus menatap soal-soal yang harus dia kerjakan tiap harinya.
"Apa aja deh. Tapi, lagi mau salmon."
"Mau dipanggang apa ditumis?" Ivan mempersempit pilihan agar dia juga bisa memilih menu yang cocok dengan keinginan adiknya itu.
"Ditumis kayaknya enak," jawab Auriga.
"Oke, Kakak buatkan salmon terikyaki. Kamu habis ini istirahat, jangan begadang dulu, kasihan matanya ntar hitam kek panda." Ivan mengacak rambut adiknya itu sebelum keluar dari area khusus tempat belajar Auriga. Sebenarnya dia sedih karena Auriga tidak seceria dulu. Tapi, dia tetap bersyukur adiknya itu masih manja padanya.
Di sekolah, Auriga pun masih sama. Dia memilih untuk tetap berada di kelas ataupun di perpustakaan saat jam istirahat. Sudah sangat jarang melihat Auriga di kantin. Dia pasti selalu nitip makanan untuk bisa dia makan di dalam kelas. Tapi, untuk bertemu Agha masih tetap dia usahakan setiap hari. Minimal memastikan kembarannya itu tidak diganggu oleh murid-murid yang lain di sekolah.
Pak Gio sejak tadi berusaha untuk menghubungi Auriga. Tapi, yang bersangkutan tidak pernah mengangkat telponnya. Bahkan, nomor selulernya saja tidak aktif. Seakan sengaja dimatikan. Padahal, ada berita penting yang harus dia sampaikan pada laki-laki tersebut. Ini menyangkut masa depannya.
"Bagaimana bisa ini semua terjadi? Siapa yang berada di balik ini semua?" Pak Gio tampak begitu frustasi setelah melihat sesuatu yang membuatnya tidak habis pikir.
Bukannya Auriga menghilang, anak itu sedang fokus belajar di perpustakaan sekolah. Dia sengaja mematikan ponselnya biar tidak mengganggu murid lainnya yang sedang belajar. Soalnya, beberapa kali dia belajar di perpustakaan, Daffa maupun Haksa selalu mengganggunya dengan menelponnya berulang kali.
Pak Gio baru mendapatkan informasi yang membuat amarahnya cukup bergejolak. Bagaimana tidak? Nama Auriga Adhlino Sabian telah masuk ke daftar hitam orang yang tidak diperbolehkan lulus seleksi perguruan tinggi jalur prestasi sekolah. Entah apa yang membuat namanya bisa masuk ke dalam daftar hitam, namun yang jelas, Pak Gio menyadari kalau semua itu ada hubungannya dengan pihak-pihak yang tidak menyukai Auriga.
Padahal, dengan prestasi yang telah diraih oleh Auriga selama ini di sekolah, dia bisa lulus di pilihan kampus yang dia impikan. Akan sayang sekali kalau murid berprestasi seperti Auriga malah masuk ke dalam daftar hitam tanpa sebab yang jelas.
"Apa saya harus lapor ke walinya langsung saja? Ya, mungkin ini satu-satunya pilihan."
Pak Gio mencoba untuk menghubungi Papa Efendi. Dia menceritakan semua yang terjadi dengan bahasa yang sopan dan mudah dimengerti. Prestasi yang dimiliki Auriga hingga jurusan yang dipilih oleh Auriga, semuanya disampaikan dengan baik. Lagian, dari awal, dia juga sudah berniat akan membujuk papanya Auriga agar mengizinkan Auriga memilih pilihannya sendiri. Namun, pernyataan dari Papa Efendi membuat Pak Gio terdiam sangking tidak percayanya. Dia kiri, memberitahukan pada walinya Auriga bisa mendapatkan secercah bantuan. Tapi, yang dia dapatkan malah sebaliknya.
"Tolong biarkan saja seperti itu. Jangan pernah Anda memberitahukan hal ini pada Auriga. Entah ini suatu bantuan buat saya, tapi dengan begini Auriga tidak akan ada pilihan lain selain mengikuti keinginan saya." Itulah ucapan Papa Efendi. Pak Gio tidak bisa berkata-kata. Bagaimana bisa seorang ayah berkata seperti itu setelah anaknya diperlakukan seperti ini?
Sambungan panggilan itu sudah berakhir. Pak Gio mengacak rambutnya, kesal entah untuk alasan yang tidak dia ketahui. Tanpa sengaja, Pak Gio melihat Auriga yang baru saja keluar dari perpustakaan sekolah sambil membaca buku catatan yang dia pegang. Melihat wajah serius Auriga, membuat hati kecilnya berasa ngilu.
Dia ingin memberitahu Auriga, tapi apakah itu pilihan yang tepat? Bagaimana jika semangat belajar Auriga menurun setelah mendengar kabar ini? Tapi, kalau dia diam saja, bagaimana nasib Auriga ke depannya?
"Apa yang harus saya lakukan, Auriga?" Dia bingung harus bersikap seperti apa.
___To be continue___
Jumat, 22/09/2023
Jangan lupa vote dan komennya ya untuk kebahagiaan Auriga!
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero Expectations || Huang Renjun
Fanfic[SEQUEL OF HIRAETH] Ingin bahagia? Maka letakkan semua keinginan itu pada titik zero expectations. Kata orang, jika ingin bahagia, maka jangan pernah punya ekspektasi berlebihan kepada siapapun. Karena sejatinya, realita tidak semanis ekspektasi "K...