Hujan mengguyur ibu kota sejak pagi. Udara dingin membuat siapapun akan memilih meringkuk dibalik selimut ketimbang harus berangkat untuk melaksanakan aktivitas rutin.
Agha memakai jaket biar tubuhnya tidak menggigil karena dinginnya suhu pagi ini. Dia bahkan tidak mengeluarkan tangannya dari saku jaket sangking dinginnya pagi ini. Tubuh Agha masih lemah jika berhubungan dengan udara dingin. Hal itu sudah menjadi rahasia umum di keluarga sehingga ketika hujan tiba, antisipasi Agha akan kedinginan sudah sangat matang.
"Agha sama Papa aja pake mobil, dingin kalau nebeng sama aku." Auriga sudah siap akan berangkat ke sekolah menggunakan motornya.
"Kamu serius tetap bawa motor? Mending barengan aja sama Papa."
Auriga menggeleng, dia jadi teringat sikap Papa yang tiba-tiba jadi aneh karena mengkhawatirkannya. Lebih baik dia menghindari Papanya daripada harus berhadapan dengan sikap aneh Papa Efendi.
"Udah ga terlalu hujan, kamu pokoknya sama Papa aja kalau gak minta anterin sama Bang Abel. Dah ya, aku berangkat duluan." Auriga langsung keluar begitu saja.
"Auriga, tunggu!"
Auriga yang hendak memasang helm langsung menatap Agha.
"Apaan?"
"Ikut."
"JANGAN!" Auriga langsung membelalak, kaget dengan Agha yang tiba-tiba mau ikut dengannya.
"Kenapa?" tanya Agha polos.
"Hujan, bodoh! Kalau sama aku ntar kamu di sekolah bukannya belajar, tapi malah mendekam di UKS. Sama Papa aja!"
"Tapi kamu juga nanti..."
Auriga tidak mendengarkan Agha. Dia langsung menyalakan motornya. Sikap Agha juga menurut Auriga sangat aneh. Padahal kemaren dia diam saja saat Auriga dipukuli oleh Aydan. Sekarang malah terlihat khawatir. Semua orang bagi Auriga saat ini sangatlah aneh.
"Sampai ketemu di sekolah." Auriga langsung tancap gas menghadang hujan, meskipun tidak sederas tadi. Agha hanya bisa menghela napas. Tidak ada juga yang bisa menghentikan sikap keras kepala seorang Auriga.
Di sekolah, Auriga langsung masuk ke kelasnya. Untungnya dia tidak terlalu basah karena dia sudah menggunakan mantel hujan sekaligus jaket. Seperti dugaannya, kelas masih sepi. Kalau hujan seperti ini, murid-murid bakalan datang terlambat dan menjadikan hujan sebagai alasan keterlambatan. Saat-saat seperti ini yang ditunggu Auriga untuk memikirkan tawaran Pak Gio kemaren. Dia mau membuktikan sesuatu dengan usahanya sendiri.
Auriga hanya meletakkan tasnya di kelas dan langsung keluar lagi. Dia menuju hall room, tempat biasanya para murid dikumpulkan. Entah apa tujuan Auriga ke sini, tapi yang pasti dia sudah memiliki rencana. Auriga tidak akan semudah itu untuk menerima tawaran yang mungkin bisa saja menyudutkan dan merugikan dirinya. Melawan petinggi sekolah sama saja dengan menawarkan diri untuk tidak lulus sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero Expectations || Huang Renjun
Fanfic[SEQUEL OF HIRAETH] Ingin bahagia? Maka letakkan semua keinginan itu pada titik zero expectations. Kata orang, jika ingin bahagia, maka jangan pernah punya ekspektasi berlebihan kepada siapapun. Karena sejatinya, realita tidak semanis ekspektasi "K...