[SEQUEL OF HIRAETH]
Ingin bahagia? Maka letakkan semua keinginan itu pada titik zero expectations.
Kata orang, jika ingin bahagia, maka jangan pernah punya ekspektasi berlebihan kepada siapapun. Karena sejatinya, realita tidak semanis ekspektasi
"K...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi yang cerah di Sabtu yang damai ini benar-benar menciptakan kedamaian di keluarga Malviano. Kedua biang rusuh masih tidur pulas, yaitu Abel dan Auriga. Papa pagi-pagi udah berangkat kerja bersama Danan, biasa, dua orang yang selalu sibuk di kantor. Ivan juga dari kemaren tidak pulang ke rumah, bisa dipastikan untuk satu minggu ke depan, laki-laki yang masih berjuang untuk bisa menjadi dokter yang hebat itu tidak akan pulang ke rumah. Dia akan bermalam di rumah sakit. Sementara Agharna, dia berjalan-jalan santai di sekitaran komplek untuk menenangkan pikiran sekaligus berolahraga ringan di pagi hari.
Bahkan ketika Agharna sudah balik ke rumah, keadaan rumah masih damai sejahtera.
"Bi, Auriga udah bangun belum?" tanya Agha yang duduk di ruang keluarga.
"Bibi belum lihat, Den. Sepertinya masih tidur. Biasanya Den Auriga kalau udah bangun, pasti langsung cari makanan."
"Tumben jam segini belum bangun. Bibi bikin sarapan apa?" tanya Agha yang kembali bangkit dan masuk ke dapur.
"Bubur jagung sama ada sop daging. Aden mau makan?"
"Bubur jagung buat Auriga ya, Bi?"
Bibi mengangguk. "Iya, biasanya Den Auriga bakal senang banget kalau dibikinin bubur jagung."
"Biasanya Auriga hanya mau makan bubur jagung kalau merasa badannya gak enak," gumam Agha.
"Semalam kata Den Abel, Den Auriga memang lagi gak enak badan. Habisnya pulang hujan-hujan semalam," ucap Bibi.
"Hujan-hujan? Kok bisa? Kan semalam dia---"
"Pagi, Dek." Abel langsung memotong ucapan Agha dengan suara seraknya, khas orang bangun tidur. Dia baru keluar dari kamar setelah semalam begadang menemani Auriga yang tiba-tiba bilang sakit kepala setelah kehujanan.
"Pagi, Bang. Aku kira, abang belum bangun. Sarapan dulu, Bang."
Abel tersenyum dan memberikan jempolnya, "oke. Sekalian ajak Auriga. Udah bangun belum dia?"
Agha menggelengkan kepalanya.
"Bangunin gih."
"Oke, Bang. Aku bangunin Auriga dulu." Agha langsung saja menuju kamarnya dan Auriga. Benar saja, kembarannya itu masih tertidur pulas dengan selimut yang sudah amburadul entah ke mana. Bahkan posisi tidur Auriga saja bikin Agha geleng-geleng kepala. Bantal-bantal yang ada di kasur sudah berjatuhan ke lantai.
Sebenarnya, Auriga sedang tidur atau simulasi pencak silat sih?
"Auriga, bangun. Udah jam 9, jangan tidur terus."
Auriga menggeliatkan tubuhnya dan mengerang pelan. Wajahnya lumayan pucat dari biasanya. Menguatkan praduga Agha, kalau kembarannya itu memang sedang tidak baik-baik saja. Agha menempelkan punggung tangannya ke dahi Auriga, terasa sedikit hangat.