03. Dia yang marah

528 114 9
                                    

Agha hanya bisa menghela napasnya saat menatap Auriga yang tengah duduk di atas job motor sambil melambaikan tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Agha hanya bisa menghela napasnya saat menatap Auriga yang tengah duduk di atas job motor sambil melambaikan tangannya. Senyum itu terlihat sangat berseri, sesenang itukah Auriga akhirnya bisa membuat Agharna berangkat bersamanya? Oh tentu iya.

"Kamu kempesin ban motornya Aydan?" Agharna langsung menembakkan pertanyaan itu dengan ekspresi kesal.

Auriga hanya menatap Agharna santai, dia masih tersenyum lebar. "Iya, biar kita bisa berangkat bersama," jawabnya santai.

"Auriga."

"Kenapa sih? Lagian mau menghindar dari aku? Udah bosan? Ayok berangkat, ntar pulang minta Bang Abel jemput kalau gak mau bareng. Salah sendiri seharian ini gak mau bertemu dengan kembarannya sendiri." Auriga memasang wajah kesal.

"Ya tapi, jangan orang lain juga yang kena imbasnya, Auriga Adhlino."

"Ya makanya, jangan coba-coba buat menghindar dari kembaran sendiri."

"Aku gak menghindari kamu, Auriga. Terus sekarang, Aydan bagaimana? Motornya kamu kempesin. Kasian tau, Ga," omel Agha.

"Diantar Haksa sama Daffa, tenang aja. Dahlah, buru naik." Auriga melemparkan helm pada Agha. Lagi-lagi, Agha hanya bisa menghela napas melihat kelakuan Auriga.

Agha segera naik dan duduk di belakang Auriga. Motor itu perlahan meninggalkan lingkungan sekolah, menuju tempat bimbel. Tidak ada percakapan di antara mereka, Auriga juga membawa motor itu tidak terlalu cepat.

"Gha..." panggil Auriga yang dibalas deheman oleh Agha.

"Apa sih yang membuat kamu gak mau kita sekampus?" tanya Auriga untuk kesekian kalinya. Dia sudah menanyakan hal yang sama beberapa bulan terakhir ini. Hal itu, membuatnya pusing sendiri memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tentunya tidak pasti. Dia ingin memastikannya langsung dari Agha. Karena jujur, dia sangat ingin selalu berada di dekat kembarannya itu.

Tidak ada jawaban dari Agha. Padahal Auriga sudah menunggunya.

"Kamu gak mau lagi bareng aku?" Suara Auriga terdengar jauh lebih berat di tengah-tengah berisiknya jalanan ibu kota.

Lagi-lagi, tidak ada jawaban yang dia dapatkan.

"Terserah kamu. Semangat aja deh, semoga hasil SNMPTN nanti, membawa keberuntungan buat kita berdua."

Agha hanya menunduk. Dia diam-diam mengaminkan ucapan Auriga.

Setibanya di tempat bimbel, Agha segera meletakkan helm dan masuk tanpa menunggu Auriga. Melihat itu, membuat Auriga berdecak kesal. Jika saja tidak mengingat helm itu pemberian Kak Ivan untuknya, mungkin helm itu sudah berakhir hancur ingin dia lemparkan.

Dia masuk ke dalam gedung tempatnya bimbel dan segera masuk ke ruangannya. Tentu saja kelasnya dengan Agha berbeda. Selama dua jam ke depan, dia akan berkutat dengan contoh soal dan penjelasan yang diberikan oleh guru bimbelnya. Sebuah rutinitas biasa yang sudah hampir membuatnya stres karena disuguhkan dengan soal-soal tanpa henti.

Zero Expectations || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang