Bus kali ini melaju dengan lambat. Auriga tidak mempermasalahkannya, toh dia juga berangkat lebih awal. Suasana pagi yang cerah, cocok untuk memulai ujian yang sudah lama dia persiapkan. Dia sudah bertekad akan melakukannya dengan baik.
Mungkin karena kecepatan bus yang lambat dan sering berhenti, dia datang bersamaan dengan mobil papanya yang berhenti di depan sekolah. Auriga memperlambat langkahnya, tidak mau dirinya berpapasan dengan keluarganya itu. Dari jauh, Auriga melihat Papa yang sengaja keluar dari dalam mobil untuk mengantar Agha. Dia juga melihat bagaimana Papa Efendi mengelus dan menyemangati Agha untuk ujian hari ini. Sebuah pemandangan yang sangat hangat di pagi hari.
"Lewat gerbang belakang saja deh." Auriga memutar badannya dan memilih untuk memasuki sekolahnya melalui gerbang belakang. Dia tidak mau lagi berdebat ataupun menyaksikan kehangatan yang tidak ditujukan padanya di pagi hari sebelum ujian. Lebih baik baginya untuk menghindar.
Ujian kali ini berjalan dengan lancar. Auriga juga merasa yakin bahwa dirinya telah menjawab semua pertanyaan dengan baik. Dia berharap untuk ujian selanjutnya juga sama lancarnya dengan hari ini. Meskipun begitu, Auriga tidak menyia-nyiakan waktunya. Dia tetap belajar untuk ujian selanjutnya. Hari-hari ujian juga sama saja. Dia berangkat sendiri menggunakan bus, terus masuk ke sekolah melewati gerbang belakang, serta pulang lebih lama dari yang lainnya. Dia bahkan sadar, setiap hari Agha selalu menghampirinya dan memintanya untuk pulang bersama. Tapi, Auriga memilih menolak. Dia juga tahu, kalau setiap hari Papa mengantarkan dan menjemput Agha setelah selesai ujian. Rasanya dulu dia tidak pernah diantar atau dijemput untuk masalah ujian. Auriga hanya berusaha bersikap biasa saja. Dia hanya berpikir, beda anak tentu saja beda perlakuan.
Di hari terakhir ujian, Auriga kali ini diantar oleh Mas Danan. Itupun setelah perdebatan panjang, karena Auriga maunya berangkat sendiri seperti biasa. Sejak semalam, perutnya terasa sangat keram dan sakit. Dia juga beberapa kali muntah sejak semalam. Wajahnya jadi jauh lebih pucat dan tampak lelah pagi ini. Bahkan sarapannya saja tidak disentuh sama sekali. Dia takut muntah lagi kalau memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Makanya Danan langsung sigap menghentikan dan menarik Auriga masuk ke dalam mobilnya. Lagian juga Danan heran, kenapa Auriga tidak berangkat sama Papa sementara beliau juga selalu mengantarkan Agha ke sekolah.
"Adek sakit?" tanya Danan di dalam mobil. Auriga sejak tadi menekan perutnya dengan wajah meringis.
"Adek gak sakit kok, Mas Danan."
Auriga mengatakan tidak sakit, tapi wajahnya sudah sangat pucat dan keringat dingin terus mengalir di pelipisnya. Hal itu tentunya tidak lepas dari perhatian Mas Danan. Dia yakin kalau adiknya itu sedang berbohong dan berusaha untuk tidak membuat orang lain khawatir.
Mas Danan berhenti di salah satu apotek 24 jam untuk membeli obat. Setidaknya dengan obat itu bisa meredakan rasa nyeri yang dirasakan oleh adiknya.
"Makanlah roti ini sedikit, habis itu minum obat untuk sakit perut ini. Kalau nanti dipertengahan ujian, sakitnya makin parah. Kamu harus bilang ke pengawas ujian dan segera ke ruang kesehatan." Danan memberikan sebungkus roti dan obat pada Auriga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zero Expectations || Huang Renjun
Fanfiction[SEQUEL OF HIRAETH] Ingin bahagia? Maka letakkan semua keinginan itu pada titik zero expectations. Kata orang, jika ingin bahagia, maka jangan pernah punya ekspektasi berlebihan kepada siapapun. Karena sejatinya, realita tidak semanis ekspektasi "K...