08. Perkara hari Senin (3)

434 93 5
                                    

Auriga masih memikirkan percakapannya dengan Pak Gio

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Auriga masih memikirkan percakapannya dengan Pak Gio. Tiga puluh menit dia habiskan untuk bermenung di halte memikirkan maksud dan tujuan terselubung Pak Gio. Apakah dia akan menerima tawaran Pak Gio? Kalau dia menerima tawaran tersebut, dia bisa mewujudkan impiannya dengan menghapus kecurangan di sekolah ini. Tapi apakah dia bisa? Bahkan dirinya tidak percaya diri akan hal ini.

Terus bagaimana caranya Pak Gio meyakinkan Papa terkait impiannya? Pak Gio sudah menawarkan diri untuk membantunya mewujudkan impiannya, yang otomatis ikut membantunya meyakinkan Papa. Auriga mengacak rambutnya asal, dia cukup stres kalau memikirkan Papa dan ambisi Papa.

"Bodoh amat tentang penawaran Pak Gio, luluhin hati Papa aja gue belum berhasil." Auriga mengacak-acak rambutnya hingga terlihat berantakan.

"Gimana bisa yakinin Papa setelah ini? Aish!" Makin memikirkan ucapan dan ambisi Papa Efendi, malah semakin membuat Auriga mengerang frustasi.

"Kenapa duduk di halte?" tanya seseorang yang suaranya sangat dikenal oleh Auriga. Suara kembarannya, Agha.

Auriga langsung mengangkat kepalanya dan menatap Agha.

"Nunggu bus."

Agha mengernyitkan dahinya. "Bukannya kamu bawa motor?"

Auriga refleks menepuk dahinya. Dia sendiri lupa kalau dia bawa motor ke sekolah. "Lupa."

"Ada masalah?" tanya Agha menatap wajah kembarannya itu. Terlihat jelas sedang ada masalah, rambut Auriga begitu berantakan dan ekspresinya seperti orang yang tertekan.

"Gak ada."

"Rahangnya masih sakit?"

Auriga langsung menatap Agha. "Kamu tadi pagi lihat?"

Agha mengangguk.

"Terus kamu gak bantuin?"

Agha memalingkan wajahnya, "itu kesalahan kamu."

"Ck. Katanya keluarga, apa-apaan gak bantuin."

"Sakit banget gak? Bengkak soalnya. Kalau Papa liat..."

Auriga langsung tersenyum, "khawatir ya? Tenang aja, tinggal bilang kejedot meja."

Tak lama Aydan datang dengan motornya. Dia langsung menyuruh Agha untuk segera ikut dengannya tanpa menatap Auriga. Sepertinya Aydan masih kesal padanya.

Auriga langsung mengambil kesempatan ini dengan mendekati Aydan. "Kekuatan lo bagus juga. Lo memang punya dendam sama gue ya, Dan?"

Aydan langsung gelagapan. Tadi pagi dia kehilangan akalnya dan bertindak gegabah.

"E-enggak. Tadi hanya refleks. Maaf."

"Harusnya kalau lo mau balas gue, cukup kempesin balik ban motor gue. Gak perlu pake tinju gue segala. Sini ikut gue," ucap Auriga sambil menarik kerah baju Aydan. Hal itu membuat Aydan dan juga Agha jelas kaget. Motor Aydan ditinggalkan begitu saja di depan halte, untungnya Agha sigap mengambil kunci motornya biar gak dicuri orang.

Zero Expectations || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang