16. Gak apa-apa

356 70 7
                                    

Sinar matahari yang begitu terik membuat semua yang ada di kelas XII IPS 2 menjadikan buku pelajaran sebagai kipas darurat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sinar matahari yang begitu terik membuat semua yang ada di kelas XII IPS 2 menjadikan buku pelajaran sebagai kipas darurat. AC di kelas entah kenapa bermasalah sehingga panasnya matahari membuat semuanya berkeringat. Tak terkecuali Auriga. Hanya saja dia sejak tadi hanya melamun memandang jauh ke arah jendela. Tidak ada yang berani mengganggunya. Hingga guru sekalipun tidak ada yang berani menegur kediaman Auriga siang ini. Semuanya seakan mengerti kalau pemuda itu saat ini sedang membutuhkan ketenangan dan tidak bisa diganggu. Keringat yang mengalir di pelipisnya saja tidak berhasil membuyarkan lamunannya.

"Sstt..."

"Sstt..."

Daffa memanggil Haksa pelan dari belakang. Tapi yang dipanggil malah cuek dan tidak sadar kalau dirinya sedang dipanggil.

Tuk! Sebuah pulpen tepat mengenai kepala Haksa. Tidak perlu ditanya ulah siapa, pastinya dari Daffa. Dua manusia itu tidak pernah normal ketika memanggil satu sama lain.

"Bangs**," umpat Haksa dan langsung nengok ke belakang. "Kenapa?"

Daffa memberikan kode lewat matanya untuk melihat ke arah jendela kelas. Di sana tampak ada Agha yang sedang berdiri menunggu bubarnya kelas XII IPS 2. Dia menunduk, entah ada apa yang berada di lantai yang menarik perhatiannya.

"Nungguin si Aydan kali," celetuk Haksa yang sudah hafal dengan tujuan Agha.

Aydan yang namanya disebut langsung menatap dua sejoli itu dengan penasaran. Dia juga mengikuti arah pandang Haksa. Tampak Agha berdiri di luar kelas mereka sambil menunduk. Aydan juga melirik Auriga yang masih betah menatap jendela yang mengarah ke lapangan sekolah. Tidak tergubris dengan keributan ataupun guru yang ada di depan kelas. Wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi apapun membuat Haksa dan Daffa tidak berani mengganggu Auriga. 

Tak lama bel pulang sekolah berbunyi menandakan selesainya sesi pelajaran hari ini. Semuanya langsung bergerak serentak untuk membereskan peralatan sekolah dan menyimpannya ke dalam tas.

"Pulang, Nyet!" Haksa menepuk bahu Auriga, bermaksud menyadarkan sahabatnya itu dari lamunan panjangnya.

Auriga tersentak pelan. Dia menatap Haksa dengan tatapan sendu, membuat Haksa jadi merasa bersalah telah membuyarkan lamunan sahabatnya.

"Apa tadi dia lagi ngebayangin yang senang-senang? Kenapa sedih gitu dah? Kan gue jadi merasa bersalah," gumam Haksa yang tentunya masih terdengar jelas di telinga Auriga.

"Gue nebeng pulang dong," pinta Auriga yang akhirnya mengeluarkan suara sejak beberapa jam terakhir ini hanya diam.

"Siap! Eh tapi ada Agha noh di depan." Haksa nunjuk pintu, di sana masih ada Agha yang sekarang menatap Auriga dengan tatapan penuh harap. Lebam di wajahnya sangat terlihat jelas meskipun tadi sudah diobati dengan krim luka.

"Paling nungguin Aydan," ucap Auriga menyandang tasnya tanpa semangat.

"Ga, Agha bilangnya mau pulang bareng lo." Aydan buka suara, takut terjadi kesalahpahaman antara si kembar.

Zero Expectations || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang