bab 3

364 27 0
                                    

Ibu akhirnya membawaku ke rumah saudaranya yang tak pernah kukenal, Ibu memang tak terlalu dekat dengan keluarganya.

"Ibu mau cerita. Sari mau dengerin?"

Kami sedang duduk berdua di kamar. Aku mengangguk saja karena sepertinya ibu serius. Ada hal penting yang akan ibukku sampaikan.

"Sekitar delapan belas tahun yang lalu, rumah kami kedatangan seorang wanita muda. Wanita itu terlihat kebingungan berteduh karena memang hujan sangat deras. Saat itu Ibu sedang menyiapkan dagangan, kamu tahu kan, Ibu dulu punya warung depan rumah?" Ibu melirikku menjeda cerita.

Aku mengangguk, Ibu sering menceritakan padaku.

"Wanita itu membeli teh hangat, tubuhnya basah kuyup. Karena tak tega akhirnya ibu suruh untuk berganti dengan baju Ibu. Singkat cerita akhirnya wanita itu bekerja membantu Ibu di warung. Bapakmu sempat melarang karena wanita itu tidak jelas asal usulnya, tapi Ibu sudah terlanjur cocok dengannya karena dia bisa meringankan pekerjaan Ibu. Kami melalui hari-hari dengan bahagia, dan Bapakmu akhirnya menerima karena melihat kesungguhannya bekerja,

Sari, apa yang akan Ibu ceritakan selanjutnya, tolong kamu dengarkan baik-baik ya, Nduk. Biar kamu nggak salah paham," Ibu kembali menjeda ceritanya. Ia mendesah seolah berusaha meredam emosinya.

"Suatu hari wanita itu muntah, dia bilang kurang enak badan, ia terlihat pucat, Ibu memintanya istirahat, tapi muntahnya tidak kunjung sembuh, akhirnya walaupun dia tidak mau, Ibu paksa dia ke puskesmas untuk periksa."

Ibu terdiam. Matanya menelusuri wajahku dengan ekspresi seperti tak tega.

"Ibu mengantarnya. Tapi alangkah terkejutnya Ibu, saat bidan yang memeriksa wanita itu bilang, kalau wanita itu hamil. Tentu saja Ibu tidak percaya, bagaimana mungkin hal itu terjadi? Dua puluh empat jam, Ibu bersamanya, dia tidak pernah keluar rumah tanpa Ibu,

Bidan akhirnya mengambil air seninya, terapi hasilnya tetap sama. Kandungannya sudah hampir tiga bulan. Ibu dengan gemetar bertanya padanya ketika sampai rumah. Tentu saja awalnya dia tak mengaku. Ibu tak putus asa, Ibu desak dia terus hingga akhirnya ia buka suara,

"...yang membuat Ibu shock adalah perempuan itu mengaku Bapak dari janin yang sedang ia kandung itu adalah suami Ibu, Bapakmu. Ibu berang seketika. Ibu tak bisa menutupi rasa kecewa dan sakit hati. Memang, pernikahan kami belum juga di beri keturunan walaupun kami sudah menikah selama sepuluh tahun, tapi bukan berarti Bapakmu bisa melakukan ini di belakang Ibu!"

Ibu mengelus rambutku karena Ibu menyadari perubahan wajahku.

"Ibu lalu seret Bapakmu dengan murka. Ibu tak peduli apapun saat itu. Ibu reflek menamparnya, Ibu kecewa berat, Nduk. Tapi yang terjadi? Bapakmu malah marah balik, tak menyangka Ibu berani melakukan hal itu. Dan Ibu, Ibu sama sekali tidak takut, Ibu ceritakan semuanya,

namun anehnya Bapak malah terlihat bingung, Ibu tidak percaya saat Bapak bilang tidak pernah melakukan tindakan tak bermoral itu dengan wanita itu. Akhirnya setelah berpikir keras, berembug dengan keluarga Ibu, kami berkumpul kemudian mengintrogasi wanita itu,

Bapakmu juga ada di sana, Bapak langsung berteriak pada wanita itu minta penjelasan, awalnya wanita itu keukeh dengan keterangan awalnya, dia tetap mengaku kalau Bapaklah pelakunya, dia bahkan berusaha menceritakan detail hubungannya dengan Bapak, tapi Bapak membantah, bahkan berani bersumpah atas nama Tuhan, kalau hal senonoh tidak pernah ia lakukan.

Akhirnya sambil menangis, wanita itu mengaku sebagai korban kekerasan seksual, pelakunya dia tidak tahu karena yang melakukan adalah sekumpulan preman jalanan. Ia mengalami peristiwa mengerikan itu di hari yang sama saat dia berteduh di warung Ibu. Bapak seketika mengusir wanita muda itu, tapi tanpa kami sangka wanita muda itu malah nekat, dia mengambil pisau yang memang tergeletak di meja, ia mengancam kami akan mengakhiri hidup kalau kami ngotot mengusirnya.

Kami bingung dan tidak tahu jalan keluar, jalan terbaik Ibu memutuskan untuk membiarkannya tetap di sini, dengan perjanjian awal, dia akan pergi setelah melahirkan. Setelah melahirkan ternyata semua tidak semudah yang kami bayangkan, wanita itu menyakiti bayinya, beberapa kali dia berusaha mencekik dan mencelakai anak yang tak berdosa itu, tapi alhamdulillah kami selalu berhasil mengagalkannya.

Semuanya makin kacau tatkala Wanita itu kembali mengancam, kali ini akan membunuh bayi itu seandainya permintaannya tidak di turuti, ia meminta Bapak menikahinya!"

Aku yang sudah bisa menebak arah cerita Ibu, tak sanggup sebenarnya mendengar kelanjutannya cerita itu, tetapi Ibu mengangguk meyakinkanku bahwa aku harus tahu ceritanya sampai tuntas.

"Dan bodohnya kami memenuhi permintaannya, Bapakmu menikahinya, jangan di tanya perasaan Ibu waktu itu, tapi anehnya Ibu tidak pernah membenci bayinya, bayi itu seolah menjadi penawar rasa sakit hati Ibu. Karena setelah lahir bayi itu langsung Ibu pegang, hanya saat menyusu saja bersama wanita itu.

Ibu kira rumah tangga baru itu baik-baik saja, tapi rupanya tidak seperti yang Ibu kira, Bapak mengalami tekanan luar biasa, ia di larang menemui Ibu, kalau ia nekat istri barunya mengancam bunuh diri lagi, hal itu terjadi selama hampir dua tahun tanpa sepengetahuan Ibu, hingga akhirnya Ibu tahu. Saat Ibu ke rumah mereka, Bapak memang mengontrak rumah yang di tempati dengan istri barunya tidak jauh dari rumah kami. Saat itu Bapak sudah linglung, tapi saat melihat bayi yang Ibu bawa dia jadi semangat. Ibu memutuskan dan memaksa membawa Bapak kembali ke rumah, dan untungnya Istri barunya itu dengan mudah mengizinkan, mungkin karena keadaan Bapak sudah tak seperti dulu lagi,

Saat kembali ke rumah Bapak sedikit demi sedikit mengalami kesembuhan, dia kembali bekerja seperti biasa, diapun menyayangi bayi itu dengan caranya, Bapak memang tidak bisa mengekspresikan rasa sayangnya pada bayi itu, tapi Ibu tahu kadang secara diam-diam dia mengelus bayi itu saat Ibu pura-pura tidur.

Dan soal sertifikat rumah, pada akhirnya Ibu tahu alasan kenapa Bapak menggadaikannya, hal itu karena mantan istrinya kembali datang, dia ingin mengambil bayi yang saat itu sudah beranjak dewasa, tapi wanita itu membuat pilihan, ia berjanji tidak akan menggangu keluarga kami lagi kalau Bapak menyerahkan sejumlah uang, Bapak yang tahu betapa sayangnya Ibu pada anak itu, akhirnya tanpa sepengetahuan Ibu, mengabulkan permintaannya. Awalnya semua lancar karena Bapak bisa membayar tagihan Bank, tapi saat tagihan itu tinggal separuh, Bapak kena phk, dia lalu mencari kerja di pulau seberang berharap bisa memenuhi kebutuhan kami dengan merantau, tapi rupanya kemalangan tak juga berhenti, di sana Bapak di tipu, gaji yang di janjikan tak pernah di bayar, ia kelimpungan, pikirannya kembali kacau karena tertekan dan akhirnya ia kembali sakit. Ia menjadi gelandangan di sana, hingga kemudian di temukan.

Nduk, Sari, mungkin kamu sudah bisa menebak siapa bayi kecil yang Ibu bicarakan sejak tadi, iya, itu kamu, Nduk. Anak Ibu satu-satunya."

Mendengar penjelasan Ibu aku tak sanggup menahan tangisku, aku tersedu dalam pelukan wanita berhati malaikat itu. Bayangan lelaki yang selama ini begitu aku benci muncul begitu saja, membuat tangisku makin kencang, badanku gemetar, mengingat semua yang telah aku lakukan pada lelaki itu. Rasa benciku seketika menguar begitu saja, rasa benciku berubah menjadi rasa penyesalan yang amat sangat. Selama ini, aku kira lelaki itu adalah benalu dalam hidupku, tapi kenyataannya akulah benalu yang hadir dan menghancurkan keluarga ini.

Aku segera mengusap air mataku, mendongak ke Ibu, seolah tahu maksudku, Ibu mengangguk.

"Bapakmu masih di rumah sakit. Belum boleh pulang, Nduk. Doakan keadaannya semakin membaik ya, biar bisa kumpul lagi sama kita. "

Aku tergugu mengangguk berulang kali. Lelaki itu harus segera sembuh, aku ingin bersimpuh di kakinya untuk memohon ampun, aku ingin membalas semua kebaikan yang sudah keluarga ini lakukan padaku, aku ingin membayar semua kesalahan yang sudah ku perbuat.

Semoga saja aku masih di beri kesempatan.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang