"Kakak, kita Toktokan, yuk." Sania menarik pelan kemejaku.
Ini sudah jam tujuh malam, biasanya gadis kecil ini sudah mengantuk. Tapi tumben sore ini matanya masih jernih.
"Adek nggak ngantuk?"
Dia menggeleng cepat, tangannya masih memegang kemejaku. "Toktokan yuk, Kak."
Entah siapa yang memperkenalkan aplikasi itu pada Sania. Sejak awal bekerja, aplikasi itu sudah terinstal di ponselnya.
"Kakak nggak pernah, Dek. Malu, ah." tolakku pelan.
"Seru, Kak. Yuk."
Baiklah. Tugasku adalah menuruti kemauan bos kecilku ini. Jangan sampai dia ngambek apalagi menangis. Bisa-bisa nggak dapat gaji gede nantinya.
"Ini kita ngapain?" tanyaku bingung. Aku sama sekali belum pernah menggunakan aplikasi itu.
"Mbok ..." Sania memanggil Mbok, suara cemprengnya seketika terdengar di penjuru ruangan.
Mbok datang tergopoh-gopoh dengan tangan masih penuh sabun pencuci piring.
"Kenapa, Dek?" Mbok bertanya dari jauh, membuat Sania bangkit mendekatinya kemudian menyeret wanita paruh baya itu ke arahku.
"Main Toktok dulu, sebentar."
"Mbok lagi cuci piring, ini."
"Sebentar." Gadis kecil itu fokus pada ponselnya. "Nah, siap? "
Senyumnya merekah, sementara aku dan Mbok saling berpandangan pasrah.
"Nanti Kakak sama Mbok, tiruin aku ya!" Sania meletakkan ponselnya ke ring light yang ada di pojok ruangan ini. Di dekat jendela.
"Kakak lihatin saja ya. Nggak bisa nih." Aku masih berusaha menolak dengan lembut.
"Gampang Kak. Mbok saja bisa. Yang kemarin itu lho, Mbok." Sania beralih menatap Mbok.
"Oh, yang kayak ngulek itu to, Dek? "
"Iya... Iya ... " Sania girang bukan main.
Aku mendengkus pelan. Isya' sudah lama berlalu, kalau Sania masih seperti ini alamat aku bakal pulang malam.
*****
"Kok belum pulang?"Nyonya Farah muncul tanpa kuduga. Sejak bekerja, jarang sekali kami bertemu. Ia sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk mengurus anaknya.
Aku meringis pelan, Sania baru saja terlelap.
"Ini baru mau pulang, Nyonya."
Wanita yang masih memakai baju kerja ini mengernyit. "Lain kali jangan terlalu malam. Kalau Sania belum tidur, suruh Mbok hubungi saya."
"Iya, Nyonya. Saya permisi."
Tanpa menunggu persetujuan bosku itu, segera kuambil jaket lalu bergegas keluar melalui pintu kecil. Rumah ini ternyata mempunyai banyak rahasia, termasuk rahasia pintu-pintu di dalamnya.
Salah satunya pintu kecil yang ada di ruangan bermain Sania, contohnya. Pintu kecil itu ternyata bisa terhubung langsung ke garasi. Melalui lift, hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima menit agar sampai. Padahal kalau memutar lewat ruang depan bisa-bisa aku jalan sampai seperempat jam.
Angin malam sudah tidak lagi sesejuk sore tadi. Dingin dan gelap. Ini malam Minggu, pantas saja jam segini masih ramai. Aku bersyukur karena malam ini tidak hujan. Sehingga membuatku sedikit tenang melajukan kendaraan.
Baru separuh perjalanan, seperti ada yang aneh di belakangku. Sejak tadi ada mobil yang mengikutiku. Mobil itu melaju pelan hanya berjarak beberapa meter saja. Kulirik spionku, benar mobil itu seperti sengaja. Sengaja berjalan pelan. Ini pasti orang yang berniat jahat padaku. Aku yakin. Harusnya mobil itu bisa saja menyalipku, apa untungnya mengikutiku? Kalau tidak ada niat jahat?!
Sambil berkendara, aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Kalau aku berhenti sekarang, itu tidak mungkin. Jalan ini jalan besar, rumahpun jarang, lebih banyak pabrik, dan aku tahu pabrik jam-jam seperti ini pasti sudah tutup, apalagi ini malam minggu. Karyawan pasti sudah pulang sejak sore.
Sepertinya tidak ada pilihan lain, aku harus mempercepat laju motorku. Ada gang kecil di depan sana, aku harus berbelok ke sana, kemudian berhenti sebentar. Mungkin itu jalan satu-satunya agar aku bisa terbebas dari untitan mobil itu.
Sial!
Gang di tutup. Tidak ada cara lain. Berhenti bukan solusi, bisa-bisa mereka melakukan aksinya dan aku tidak mau itu. Sambil terus berdoa kulajukan motorku dengan kecepatan yang tak pernah kutempuh. Nekat. Aku nekat. Semoga saja aku bisa sesegera mungkin menghilangkan jejak.
*****
Akhirnya aku bisa sampai rumah dengan selamat. Setelah aksi nekatku tadi mobil itu seperti kesulitan mengikutiku. Aku tahu aksiku tadi tidak baik untuk ditiru. Tapi hanya itu yang bisa aku pikirkan. Dan untungnya malam ini jalanan menuju rumah Bulek lumayan lengang, seolah merestui aksi nekatku."Siapa yang nikah, Nduk?"
Ibu menyambut kedatanganku dengan wajah seperti biasanya, cemas.
"Teman SMP, Bu."
Sebelum pulang tadi, aku memberi kabar Ibu bahwa akan pulang telat. Tentu saja aku harus berbohong demi tidak membuatnya cemas.
"Bagaimana acaranya? Kenapa nggak besok saja?"
Sembari mencopot sepatu kemudian menaruhnya di rak, aku menjawab pertanyaan Ibu.
"Katanya besok kita harus siap-siap."
Rencananya kami akan kembali ke rumah. Setelah hampir dua bulan di renovasi, akhirnya rumah yang terbakar itu sudah bisa di huni.
Obrolan kami terjeda saat Bapak lewat. Lelaki itu sepertinya mau ke toilet. Ibu dengan sigap membimbingnya, membuatku tersenyum haru melihatnya. Ibu begitu tulus mendampingi Bapak. Apakah aku juga bisa nantinya mendampingi pasanganku seperti itu?
Tiba-tiba saja wajah seseorang melintas, membuatku tercenung memikirkannya. Namun dengan segera kutepis, bukan waktunya sekarang memikirkan hal itu. Fokus utama ku sekarang adalah aku harus bekerja dengan baik agar bisa membawa Bapak ke tempat yang tepat demi mendapatkan pengobatan.
Minal aidzin wal faidzin mohon maaf lahir dan batin, all😍
KAMU SEDANG MEMBACA
BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)
RomanceAwalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak dan pada akhirnya penyesalan yang aku rasakan. Aku tidak mengizinkan siapapun memplagiat tulisan ini!! Jangan lupa follow YESS Terimakasih