"Kamu bukan cewek yang menurunkan Bapak ini di tengah jalan 'kan? "
Deg!
Barusan seperti ada palu besar yang menghantam dadaku secara tiba-tiba.
"Pertengahan bulan September kalau nggak salah,"
Pemuda itu memicingkan matanya. Ia semakin mendekatiku.
"Kok diam? Kalian bukan orang yang sama 'kan?"
Sejujurnya aku tidak suka kebohongan. Tapi untuk situasi sekarang sepertinya kebohongan adalah jalan satu- satunya yang mampu menyelamatkanku.
"Bukan!"sanggahku cepat.
Saat ini sebisa mungkin nada suara dan ekspresiku sebisa mungkin ku buat sewajarnya.
Kami saling diam. Bapak menggoyang-goyangkan tanganku seperti tak sabar. Aku sampai menghitung lebih dari lima menit kecanggungan ini terjadi.
Pemuda itu mundur beberapa langkah. Ia mengamatiku dari kejauhan rupanya. Matanya yang seolah laser kini hanya berpusat menatapku. Dan aku? Demi menutupi kegugupan karena bisa jadi pemuda di depanku ini benar-benar berada di tempat saat aku menelantarkan Bapak, mataku berkeliling kesegala arah. Sengaja.
Dari pada menunggu sesuatu yang tak pasti, tanpa pamit, kupilih bergegas melangkah saja. Toh, dia sedaritadi cuma diam.
Pemuda itu membiarkan kami pergi. Tetapi feelingku mengatakan ia masih di sana, memandangi kami dari kejauhan.
"Tunggu!"
Teriakkan pemuda kembali menghentikan langkahku. Bapak hampir terjerembab karenanya.
Pemuda itu memutar dan kini ada hadapan kami. Wajahnya semakin sinis, ia mengitari kami dengan tatapan terfokus padaku.
"Mau kamu apa, sih? Aku harus cepat pulang. Bapakku belum sarapan." ucapku frustasi.
Sebisa mungkin aku harus menahan diri sekarang.
"Sebentar, " pintanya pelan kemudian ia menunduk, mengambil sesuatu di saku celananya.
Ketika dia fokus dengan kesibukannya, aku baru berani melihatnya secara terang-terangan.
Pemuda ini mempunyai kulit putih bersih dengan tinggi sekitar seratus delapan puluhan. Di dagunya nampak ada jambang tipis, sementara bibirnya merah muda kontras dengan kulitnya.
Rambut pemuda itu lurus, yang terkadang bergoyang-goyang karena tertiup angin. Sementara itu matanya, matanya indah sekali, maniknya hitam sedikit tajam dengan alis tebal di atasnya. Hidungnya juga nampak sempurna.
"Ini kamu, bukan? "
Pertanyaannya barusan membuyarkan analisaku. Membuatku mengerjap demi menguasai keadaan.
Dia kini menyodorkan benda pipih itu di hadapanku. Membuatku terpaksa melongok agar bisa melihat apa yang dia tunjukkan, dengan harapan urusan tak penting ini segera berlalu dan aku bisa pulang.
Wajahku boleh saja terlihat biasa saja sekarang, tapi berbeda dengan jantungku. Di situ, di gawai pemuda itu terpampang jelas sebuah video yang menampakkan gambar seorang gadis tengah menurunkan Bapak-Bapak dari sebuah Becak di tempat sepi. Gadis berambut panjang itu dengan tanpa iba meninggalkan lelaki tak berdaya itu dengan raut wajah tanpa dosa. Video berdurasi hanya beberapa detik itu memperlihatkan wajah Si Bapak, tapi tidak dengan wajah Si gadis. Karena rupanya perekam mengambil video itu dari arah belakang.
"Dari postur belakang, gadis di video ini seperti kamu." tuturnya dengan ekspresi datar, tanpa menuduh.
Seperti sengaja pemuda itu segera memasukkan gawainya kembali ke saku. Dia mungkin takut gawai itu ku rebut.
Bapak yang sedari tadi menggerakkan lenganku kini berusaha melepaskan diri. Menginterupsi bibirku yang hampir saja menjawab pertanyaan pemuda itu.
Mungkin untuk saat ini aku bisa berkelit. Tapi aku yakin pemuda ini tak akan tinggal diam begitu saja. Dia seperti tipe pemuda yang suka ikut campur urusan orang lain, di lihat dari gaya tengilnya. Dia sok keren.
"Bapakku sudah nggak nyaman. Kami harus pergi sekarang. Soal pertanyaan kamu barusan, "
Aku menghela nafas tak yakin mengatakannya. "Silahkan kamu cari jawabannya sendiri."
Aku tak perduli lagi seandainya dia masih ingin melanjutkan obrolan ini. Kalau dia ngotot menghadangku, ku pastikan dia akan menerima tinjuku. Walaupun cuma otodidak aku pernah meninju teman SMP_ku sampai hidungnya berdarah. Karena dia menyentuh bagian tubuhku secara sengaja.
Untungnya dugaanku salah. Ia tak bertanya lagi setelah itu. Membuatku sedikit lega. Sebaiknya sesegera mungkin kami menyingkir dari. Sebelum pemuda sok keren itu berubah pikiran.
****
"Ibu sudah sudah majikan. Begini, Nduk. Sepertinya Ibu tetap harus bekerja."Jawaban Ibu membuatku mendengkus. Berbalik merubah posisi tidur dari terlentang menjadi tengkurap.
Sedari sore aku sudah tidak sabar menunggu kepulangannya. Bagaimanapun aku ingin Ibu yang di rumah menemani Bapak. Biar aku yang mencari pekerjaan. Usia Ibu memang masih tergolong usia wanita yang boleh kerja, tapi sebagai anak yang tenaganya masih penuh, menurutku seharusnya akulah yang bekerja.
"Kamu di rumah jaga Bapak saja, Nduk. Ya? "
Aku memilih tak menjawab masih kecewa dengan keputusan Ibu.
"Atau begini saja, Ibu akan minta pulang setengah hari, terus gantian kamu yang kerja ...."
"Nah, boleh. Sari setuju."
Mataku seketika berbinar. Sedikit ada harapan membuat bibirku melengkung tanpa sadar.
"Tapi nanti kalau kita sudah pulang ke rumah kita sendiri."
Semangatku kembali ambruk. Kalau menunggu rumah selesai direnovasi itu artinya masih sebulan lagi. Dan itu artinya selama sebulan ke depan titel pengangguran akan tersemat pada diriku.
Argh!
Sebulan ke depan aku lebih pantas di sebut sebagai Benalu. Yang kesibukannya hanya menumpang makan, mandi, tidur dan rebahan, walaupun sambil menjaga Bapak.
Tetapi di otakku selama ini terlanjur berpikiran jelek pada pengangguran. Pengangguran bagiku adalah beban.
Memang, ada orang yang seperti pengangguran tetapi sebenarnya dia bukan pengangguran, karena ia bekerja di rumah saja. Tetapi sekali lagi, di pikiranku orang yang bekerja itu ya harus di luar rumah.
Aku yakin, semua orang tidak menginginkan menjadi benalu di keluarganya. Sama sepertiku. Sama seperti Bapak dulu yang sampai terlunta-lunta di pulau seberang, sama seperti orang-orang yang kini mungkin sedang berjuang mencari pekerjaan di luar sana.
Kami semua ingin menjadi orang berguna untuk keluarga, untuk orang tua, dan untuk diri sendiri.
Ingin rasanya cepat-cepat pulang. Sehingga ibu mengizinkanku mencari kerja.
Sehingga aku tak lagi menjadi benalu yang tak terlihat.
Mohon maaf part ini kayak muter-muter gitu alurnya🤭🤭🤭ide lagi mentok.
Happy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)
RomanceAwalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak dan pada akhirnya penyesalan yang aku rasakan. Aku tidak mengizinkan siapapun memplagiat tulisan ini!! Jangan lupa follow YESS Terimakasih