Bab 23

143 8 0
                                    

   Pertemuanku dengan pemuda bernama El ternyata tak berhenti hanya di parkiran cafe malam itu saja. Saat ini kami bertemu lagi, tidak seperti pertemuan sebelumnya, aku yakin untuk kali ini dia sengaja!

Kini, tepat di depan rumah, di hadapanku, pria ini berdiri dengan wajah pongahnya. Ia sedang memakai jaket kulit warna hitam mengkilat. Style rambutnya tak berubah dan warna kulitnya itu, agak aneh untuk ukuran seorang pria. Dia punya kulit sebersih itu. Apa dia tidak pernah terkena sinar matahari secara langsung?

"Sudah selesai pindahannya?"
Ibu tiba-tiba datang dari dalam.

"Iya, Bu." jawabnya dengan senyum mengembang.

Hei, jangan bilang pemuda ini adalah orang yang di ceritakan Ibu tadi pagi!

"Sari, kamu belum bilang makasih sama Mas El, ayo!" seru Ibu sambil menyikut bahuku pelan.

Benar,  rupanya pria ini penghuni rumah kontrakan baru yang di ceritain Ibu pagi tadi.

Apa-apaan ini? Kenapa dia? Hidupku ke depannya bagaimana?

"Nduk ...," Ibu mengulangi ucapannya, kali ini dengan suara sangat pelan.

Pada akhirnya aku tak punya pilihan selain menurut.

"Makasih." ucapku cepat dan dengan langkah seribu segera kabur mengambil motor yang sudah siap menemaniku.

Baru kali ini aku berangkat kerja tanpa pamit Ibu.

*****

"Hari ini aku nggak jemput. Hati-hati kalau pulang. "

Beberapa menit lalu ada notifikasi masuk ke hapeku, karena saat itu aku sedang menyuapi Sania, aku tak sempat membukanya.

Saat aku bisa memegang hape aku hanya membacanya tanpa berniat membalas pesan itu, Bima pasti ngerti.

   Hari ini gadis kecil sekaligus nona majikanku begitu cantik. Ia  memakai dress rumahan berwarna kuning tanpa lengan, rambutnya dikuncir satu di selipi pita warna senada diatasnya. Rambutnya bergoyang-goyang seirama dengan langkahnya ketika mendekatiku.

Sejak aku datang sore tadi, Sania begitu antusias menceritakan tentang sekolahnya. Ia nampak sangat bahagia sudah bisa masuk sekolah kembali. Walaupun di sela cerita bahagianya itu, bocah berlesung pipi itu terkadang masih mengingat teman-teman lamanya yang dia bilang, nakal-nakal.

Anak seusia Sania masih belum mengerti arti ejekan yang ia dengar dari teman-temannya. Bahkan aku yakin teman-teman Sania yang pernah mengejeknya pun tak paham dengan arti ejekan mereka. Mereka pasti hanya mendengar kalimat itu dari orang dewasa, mungkin secara tak sengaja.

"Yura suka sekali bawa dot ke sekolah, Kak. Padahal kan sudah gede. " Sania meringis sendiri, mungkin ia sedang membayangkan temannya yang bernama Yura membawa dot.

"Sabil juga lucu, dia masih pakai pampers. " Gadis kecil itu tertawa membuat matanya menyipit.

"Kalau adek?" selaku. Membuatnya seketika terdiam, nampak memikirkan sesuatu.

"Adek?"

Aku mengangguk kala dia mengulang pertanyaanku.

"Adek suka cium-cium. Sabil nangis waktu adek cium." Sania tergelak.

Aku menatap caranya menjawab pertanyaanku. Kurasa ada yang janggal di sini. Selama ini tanpa sengaja beberapa kali kudengar kata cium terlontar dari bibirnya. Saat itu aku tak menanggapi karena kupikir ia baru saja mendapatkan ciuman dari orang tuanya.

Tapi saat ini, kenapa saat menyebut kata itu, Sania seolah sudah terbiasa. Ia bahkan memonyongkan bibirnya, saat bercerita.

"Adek," kudekati yang sedang asyik menyisir bonekanya.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang