Bab 36

141 8 2
                                    

   

Rafael

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rafael. f. Budiman



"Kamu pasti salah paham, mereka pasti cuma bercanda. Enggak mungkin keluargaku seperti itu?"

Aku mendongak memasang wajah sinis. Bersendekap tepat di hadapan pria ini.

Setelah keributan kecil antara aku dan ibunya, Bima masih saja bisa bilang aku salah paham?

"Oh, jadi maksudmu, aku yang terlalu overthinking? Gitu?

Bim, telingaku masih normal, mataku masih normal, aku masih bisa membedakan mana ucapan serius dan becandaan!"

"Mereka memang suka seperti itu tapi maksud mereka baik. Aku memang pernah cerita ke mereka kalau kamu sangat berprestasi waktu sekolah, mungkin mereka menyayangkan kenapa cewek sepintar kamu tidak kuliah."

Ya ya ya, aku paham.

"Oke, kalau menurut kamu seperti itu. Sekarang bawa aku kembali ke rumahmu, aku ingin membicarakan ini dengan mereka lagi. Biar mereka menjelaskan ulang, biar aku tidak salah paham."

"Ayolah, Sar. Kamu jangan kekanak-kanakan kayak gini. Mereka sudah pada tua, mereka pasti tersinggung. Anggap saja mereka sedang memberi wejangan ke kamu."

Kekanak-kanakan?

Aku tertawa sumbang, tak menyangka kata-kata itu muncul dari bibir pria yang mengaku menyukaiku itu.

"Bim, bukan hanya itu masalahnya ..."

"Terus? Apalagi?"

Aku melirik sekitar, haruskah kami bertengkar di sini sekarang?

"Kita nggak sepadan, Bima ..."

Dengan ragu kupelanku suaraku.

Bima tersenyum masam,

"Beb, ayolah. Jangan berpikiran sempit kayak gini dong."

Aku mulai hilang kesabaran.

"Mulai sekarang, jangan anggap aku kekasihmu ... "

Sebelum ucapanku berlanjut, tiba-tiba saja mulutku dia bekap. Wajah pria di hadapanku sekarang memerah, penuh amarah.

"Bwim .... " teriakku setelah berhasil melepaskan diri dari bekapanya.

"Jangan pernah bicara yang tidak-tidak. Aku enggak suka!" katanya pelan penuh penekanan dengan wajah memerah.

Bima, kenapa berubah jadi seperti ini?

****
  Langit malam ini begitu cerah. Sudah lama sekali aku tidak melihat kerlipan bintang seperti ini. Terakhir ketika SMP. Saat ibu membujukku untuk sabar karena aku merengek minta di belikan sepatu baru.

Aku mendongak meresapi angin malam yang bertiup sepoi-sepoi. Dengan di temani suara kendaraan lewat, akhirnya aku duduk di sini. Di samping Bapak.

Tadinya, aku hanya berniat menemani Bapak yang sejak sore tak mau masuk rumah. Bapak memilih duduk di kursi panjang, kursi yang biasa di duduki oleh pembeli yang antri.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang