Pagi ini adalah jadwal Bapak berobat. Toko sementara kami tutup karena Ibu juga harus ikut sesuai anjuran Dokter Asyifa.
"Kenapa kamu di sini?"sapaku pada El yang sedang duduk di teras sambil menikmati rempeyek buatan Ibu.
Pria itu hanya terkekeh pelan sembari menaikkan alis, membuatku geleng-geleng kepala.
"Sudah siap, Bu. Tinggal nunggu Bima saja."
Aku menghampiri Ibu yang sudah siap di depan bersama Bapak.
"Bukannya hari ini dia kerja?" tanya Ibu.
"Iya, tapi semalam dia telpon, bilang kalau bisa."
"Kalau begitu kami berangkat duluan saja, Nduk. Kamu sama Bima nanti nyusul."
Aku mengehentikan tanganku yang hendak menaikkan resleting jaket.
"Ibu cuma berdua sama Bapak?"
"Ini sama Mas El, ibu kira Bima nggak ikut, jadi Ibu minta tolong Mas El menemani."
El mengedipkan matanya. Membuatku menghela napas, jengah.
"Berangkat sekarang, Bu?" tanya El pada Ibu.
Pria itu bangkit mendekati Bapak. Bapak langsung meraih lengan dan menggenggamnya, seolah tak mau di tinggal.
Kejadian itu tak luput dari penglihatanku, apalagi setelah itu dengan sabar El memakaikan Bapak jaket. Membuatku tertegun. Begitu dekatnya mereka. Iri rasanya.
"Ini, Nak Bima sudah datang." seru ibu menerima salim dari Bima. Membuyarkan lamunanku.
Bima menghampiriku, ia datang sambil membawakan kami sekantong roti. Pria itu memakai jaket parka warna hitam dengan celana jeans hitam yang membuat penampilannya terlihat rapi. Setelah mengenal Bima lebih jauh, aku semakin sadar kalau dia sangat suka kerapian.
"Maaf, tadi mampir beli ini dulu. Takutnya nanti pas nunggu antrian lama." katanya tak lupa memasang senyum ramahnya.
"Kita sudah ada mobil, Bim. Tadi nyewa mobilnya Pak Kus."
Bima nampak kecewa, wajahnya berubah sendu. Tapi dia berusaha menyembunyikannya. Rencana awal memang kami akan pergi menggunakan mobil pria ini, tapi karena kemarin dia bilang nggak bisa ikut, akhirnya kami mencari mobil lain.
"Kamu naik mobilnya, Nak Bima sajalah, Nduk. Biar nanti Ibu dan Bapak sama Mas El."
Mendengar nama El di sebut, sontak dia menatap pemuda yang sedari tadi hanya diam di samping Bapak. Mereka saling tatap beberapa detik sebelum Bima mengalihkan pandangan.
Aku memang belum cerita padanya soal El yang ngekos di belakang rumah.
"Ayo, keburu siang. Nanti sore kamu juga kerja."
Ibu mengakhiri aksi diam itu sambil berjalan kearah mobil yang sudah terparkir di depan toko.
***
''Jadi dia ngekos di belakang rumah kamu?" tanya Bima sambil nyetir. Tatapannya fokus kedepan. Aku mengiyakan."Kayaknya Bapak dan Ibu kamu dekat banget sama dia? Bukankah kalian belum lama kenal?"
Aku mengangguk lagi membenarkan ucapan Bima, "Itu dia Bim, aneh 'kan?"
"Memang kalian nggak ngobrol?"
"Untuk?"
Sebenarnya kesempatan ngobrol sama El selalu ada, Ibu juga sering memintaku memberi ini itu untuknya, tapi aku selalu kabur duluan, aku terlalu takut untuk akrab dengannya, aku masih yakin pria itu punya niat terselubung yang harus kuwaspadai.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)
RomanceAwalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak dan pada akhirnya penyesalan yang aku rasakan. Aku tidak mengizinkan siapapun memplagiat tulisan ini!! Jangan lupa follow YESS Terimakasih