Bab 5

297 19 0
                                    

     Sudah hampir dua minggu kami menumpang di rumah Bulek. Kesehatanku sudah berangsur-angsur membaik, begitupun dengan Bapak. Bapak sudah tidak sesak seperti sebelumnya, walaupun kesehatan mentalnya masih belum ada kemajuan.

Setelah permohonan maafku hari itu hubunganku dengan Bapak masih sama, masih kaku seperti sebelumnya. Aku yang tak pandai berkata manis ini selalu gagal ketika hendak mendekatinya. Bapak selalu merancau setiap kudekati. Omongannya masih ngelantur, kadang aku penasaran apa sebenarnya yang beliau ucapkan.

"Jangan dekat-dekat. Jangan dekat-dekat. Aku sudah punya istri."

Rancau Bapak yang ku dengar sore itu. Kebetulan hanya ada kami di rumah. Ibu dan Bulek belum pulang kerja.

"Kupukul kau, kupukul kau."

Rancunya lagi. Walaupun berbicara sendiri, wajahnya masih tenang. Bapak duduk sambil menikmati rokok kretek yang seolah mencanduinya. Kami  berada di belakang rumah Bulek. Bapak duduk di dipan, sedang aku mengamati dari kursi yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana.

Selama ini, sebelum aku tahu fakta sebenarnya, aku tak pernah ambil pusing dengan apapun yang Bapak ucapkan. Tapi sejak aku tahu, ucapan Bapak menjadi perhatian utamaku. Penyebab Bapak seperti ini  membuatku penasaran.

"Dewi Rumadani wanita jahat, wanita jahat! Aku tidak mau, tidak mau! "

Tidak seperti tadi, rancauan Bapak kali ini di sertai emosi. Rahangnya mengeras, telunjuknya mengacung ke segala arah.

"Mati kau, mati kau!"

Melihat emosi Bapak yang tak lagi terkendali membuatku bangkit mendekatinya.

"Tenang, Pak. Tenang."

Tak seperti biasanya Bapak mengacuhkanku, kali ini dengan mata sarat emosi lelaki itu seketika menatapku. Membuatku terpaku.

"Bapak tenang, ya."

Kataku sepersekian detik kemudian, ketika Bapak tak lagi menatapku. Matanya sudah  berubah lebih teduh.

Kalau saja Bapak bisa bercerita masalah sesungguhnya, mungkin aku tidak menerka- nerka seperti ini. Siapa Dewi Rumadani? Kenapa Bapak begitu emosi ketika mengucapkan nama itu?

Sayangnya rasa penasaranku sepertinya harus berhenti sampai di sini, tidak ada tempat untuk bertanya. Ibu? Mana mungkin aku tega. Aku takut melihat Ibu sedih kembali. Belakangan ini wanita yang membesarkanku itu terlihat begitu bahagia. Aku yakin seandainya aku membahas soal masa lalu, Ibu tidak keberatan, tapi aku tidak mau, melihat lagi kesedihan lagi di wajahnya.

****
  "Bos Bulek, Pak Rangga sedang cari karyawan, Sar. Kalau kamu mau nanti Bulek bilangkan."

Bulek memintaku menemuinya di teras depan seusai magrib tadi. Kami sedang duduk berdua sambil menikmati rebusan buah sukun yang di bawa Ibu dari tempat kerjanya.

Aku mendesah. Sebenarnya ingin sekali aku bekerja. Sebelum insiden kebakaran itu aku baru bekerja dua hari di percetakan sebelum akhirnya nasib naas membuatku harus menjadi pengangguran lagi.

"Kalau aku kerja, Ibu harus berhenti ya, Bulek. Kasihan Bapak kalau di rumah sendirian."

Bulek mengangguk paham, mulutnya sedang sibuk mengunyah sukun rebus yang rasanya manis sekali.

"Menurut Bulek, Ibumu tak harus berhenti. Eman. Majikan Ibumu kali ini sangat manusiawi. Dia yang membantu kalian selama ini. Kalau Ibumu keluar, apa sopan? Setelah di bantu begitu banyak, langsung keluar? "

Bulek menatapku sekilas sebelum kemudian fokus kembali ke sukunya.

Aku termangu. Ada benarnya perkataan Bulek, tapi aku kurang setuju.

"Tapi semua terserah kalian, Bulek cuma berpendapat. Apa kalian akan seperti ini terus? Apa kamu tidak ingin mengobatkan Bapakmu ke tempat yang lebih baik? "

Ucapan Bulek barusan sontak menyentilku. Bulek benar, apa aku akan seperti ini terus? Menjadi Benalu di keluarga ini?

Selama ini Bapak menjalani pengobatan melalui puskesmas, kalau obat habis kami akan periksa lagi, begitu terus. Obat itu membuat Bapak lebih tenang.

Aku tahu seandainya Bapak di tangani oleh dokter spesialis di bidangnya, pasti kesehatan Bapak akan banyak kemajuan. Tapi untuk berobat ke tempat seperti itu pasti banyak membutuhkan biaya. Dan untuk saat ini hal itu belum mampu kami jangkau.

Pekerjaan Ibu yang hanya sebagai rewang di toko menyambi menjadi PRT hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi keadaan saat ini, pasti Ibu sedang kualahan mengatur keuangan.

"Lebih baik bicarakan dengan Ibumu. Nanti bilang Bulek kalau sudah ada keputusan."

Suara Bulek membuyarkan lamunanku. Wanita yang bekerja di pabrik roti itu menepuk pundakku pelan sebelum ia bangkit lalu masuk rumah.

Malam semakin larut. Kampung tempat tinggal Bulek termasuk kampung yang jauh dari keramaian. Tak heran kalau saat ini sudah sangat sepi. Jalan-jalan desa tampak lengang, suara burung malam bersahutan memecah keheningan seolah berlomba dengan suara jangkrik yang tak mau kalah.

Aku bangkit, meregangkan tubuhku sebentar demi mengusir rasa lelah. Jalan-jalan sebentar sepertinya bukan ide yang buruk. Kulangkahkan kakiku keluar area halaman rumah, tak ada manusia sama sekali. Sangat sepi dan hampa.

Sudah lebih dari setengah jam aku berjalan, aku memutuskan kembali. Aku tidak mau membuat Ibu atauu Bulek khawatir. Langit malam sedang sangat bersahabat hari ini. Saat aku mendongak nampak bintang berkelipan seolah tak terpengaruh dengan cahaya lampu kampung yang saat ini menguasai.

Aku mendesah sambil terus menatap kelipannya. Dulu, Ibu sering mengajakku melihat bintang ketika lampu padam. Kami akan menghabiskan waktu sambil menunggu lampu menyala kembali. Ibu kadang mendongengiku dengan cerita-cerita lucu yang mampu membuatku tertawa.

Kala itu, aku merasa cukup berdua dengan Ibu, semua akan baik-baik saja. Kala itu aku tidak punya sosok Bapak yang bisa membelaku ketika aku di jailin teman-temanku, seperti temanku yang lain. Kala itu, yang aku tahu hanya ada aku dan Ibu karena Bapak hanya sosok yang belum pernah ku temui. Dan kala itu aku tidak tahu, kalau Bapak sedang berjuang untuk membahagiakan kami dengan menukar kebahagiaannya.

Aku semakin menengadahkan wajahku berharap titik air di netraku tak meluncur. Saat ini aku sadar menangis tidak akan merubah apapun. Yang harus kulakukan adalah sesegera mungkin mengembalikan kebahagiaan Bapak, walaupun aku sendiri tidak tahu bagaimana awalnya.

Langkahku terhenti di depan halaman rumah. Melihat bayangan Bapak yang terlihat seperti tergesa masuk rumah.

Apa tadi? Apa Bapak menunggu ku?

Bersambung.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang