Kita berslow slow dulu ya, nanti ke depannya kita gas alurnya hehhehe
Sore itu jalan depan rumah Bulek ramai sekali. Ini sudah jam empat, jam padat para tengkulak sayur melakukan transaksi jual beli dengan para petani.
"Wulannya ada? "
Terpaksa kututup majalah jadul yang tengah kubaca setelah mendengar ada orang datang.
"Cari siapa?"
"Wulan."
Jawab pria berbadan ceking itu sambil menatapku. Selama tinggal di sini, aku belum pernah melihat orang ini.
"Bulek masih kerja, mungkin sebentar lagi pulang."
Aku tak berani mempersilahkan pria itu masuk, jadi kami bicara diluar, di depan pintu.
"Boleh saya nunggu? Saya dari jauh soalnya."
Pria yang ku perkirakan memasuki usia empat puluhan itu mengedarkan pandangan seakan mencari sesuatu.
"Iya. Tapi maaf, saya nggak berani membawa masuk rumah. Saya sendiri tamu di sini."
"Tidak masalah. Saya duduk di ... di sana saja."
Aku tersenyum canggung saat pria itu menunjukkan bangku panjang yang ada di halaman rumah. Bangku yang biasa Bapak tempati setelah sarapan pagi.
Bagaimanapun tamu adalah raja, walaupun bukan tuan rumah yang sebenarnya, sudah sepantasnya aku menjamunya.
"Silahkan di minum, Pak."
Kuangsurkan segelas teh manis ke arahnya. Membuatnya memutar tubuh menghadapku. Pria itu menerimanya kemudian mengucapkan terimakasih.
Bulek sudah lama hidup sendirian. Dulu ia pernah berumah tangga tapi gagal. Dalam pernikahan itu, Bulek mempunyai seorang anak yang usianya lebih tua dariku. Karena ketika bercerai dulu Bulek di luar negeri menjadi TKW, otomatis anaknya itu ikut Bapaknya sampai sekarang.
Sayup-sayup ku dengar motor Bulek berhenti. Lalu terdengar langkah masuk ke dalam. Aku yang tengah duduk di depan pintu kamar Bapak bangkit demi menyambut kedatangannya.
"Tadi ada tamu, Bulek." laporku.
Bulek melepas masker bergantian dengan jaketnya. Ia berjalan ke arah kamar mandi tanpa menjawab ucapanku.
Melihat raut wajah Bulek barusan, sepertinya bukan saat yang tepat kalau aku bertanya macam-macam.
"Bapakmu mana?" tanya Bulek sambil menuang air ke gelas.
Benar dugaanku, Bulek tak membahas soal tamu tadi. Ia malah seperti sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Di kamar."
Bulek mengangguk mendengar jawabanku. Ia lalu melangkahkan kakinya keluar, ke arah ruang tamu.
Beberapa saat kemudian,
"Sari ... "
Aku tergagap karena tak menduga Bulek sudah ada di hadapanku lagi.
"I... Iya, Bulek. "
Sambil mendongak menghadap Bulek ku tegakkan punggungku biar tidak terlihat tegang.
"Ini ada selebaran, dapat dari jalan. Mungkin cocok buat kamu."
Kuraih selebaran yang Bulek ulurkan padaku. Sebuah iklan lowongan kerja part time tertulis besar-besar di sana. Aku kembali mendongak menjatuhkan netraku ke wajah Bulek.
"Ibumu sudah cerita. Kalian memang tidak punya pilihan, tapi sepertinya pekerjaan part time juga tidak buruk."
"Kemarin Ibu bilang belum bisa berhenti kerja, Bulek .... "
"Ya begitulah Ibumu, dari dulu seperti itu. Kalau Bulek jadi kamu, Bulek akan ngotot bekerja. Dulu seusia kamu Bulek sudah ada di luar negeri. Walaupun jadi TKW tapi Bulek bangga bisa bantu orang tua."
Aku terdiam mulai mengerti. Wajar Bulek mengatakan hal ini, bagaimanapun aku bukan siapa-siapa di sini.
"Sari paham, Bulek."
"Kamu pasti salah paham. Bulek cuma pengen kamu semangat, Sari. Tidak ada alasan lain."
Aku memilih menunduk dengan tangan terkepal.
"Bapakmu butuh biaya pengobatan, Sari. Kalau Bapakmu sembuh, semua juga buat keluarga kalian, bukan buat Bulek."
Nada suatu Bulek memelan, ia seperti seorang Ibu yang tengah memberi pengertian kepada anaknya agar tak salah paham.
"Iya, Bulek."
Tangan Bulek memegang kedua bahuku, ia berdiri tepat di hadapanku sekarang. Matanya seolah laser yang kini menembus netraku. Dengan lantang wanita berambut sebahu itu berbicara padaku,
"Nak, percaya sama Bulek, kerja keras tidak akan sia-sia. Mumpung ada waktu, gunakan. Mumpung kamu masih muda. Bapakmu butuh kamu sekarang, ayo. "
Apa Bulek kira selama ini aku tidak memikirkan kesehatan Bapak? Apa Bulek kira selama ini aku nyaman menjadi pengangguran?
Bulek, yang harus Bulek tahu, dulu aku memang sangat kecewa sama Bapak, itu karena aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya anak kecil yang setiap hari melihat Ibuku bersedih dan bersedih, tanpa tahu alasannya. Jadi akhirnya itu membuat ku menyimpulkan sendiri.
Saat ini aku sangat ingin bekerja, bahkan kalau ada pekerjaan yang bisa di kerjaan sambil jaga Bapak, aku bersedia. Tapi bagaimana lagi, Ibu masih belum merestuiku.
Bulek, perlu Bulek tahu sejak aku tahu rahasia asal usul ku, dalam hati seketika itu kutanamkan janji, kalau seluruh hidupku, kalau bisa, akan ku abdikan untuk menebus kebahagiaan mereka. Aku bersedia melakukan apapun demi mereka. Walaupun harus menukar dengan kebahagiaanku sendiri, misalnya.
Jangan lupa bintangnya di tekan dears, biar bisa kelip kelip😘😘😘
Selamat menjalankan ibadah puasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)
RomansaAwalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak dan pada akhirnya penyesalan yang aku rasakan. Aku tidak mengizinkan siapapun memplagiat tulisan ini!! Jangan lupa follow YESS Terimakasih