Bab 52

134 12 0
                                    

   Bima mengajakku kembali balik ke warung. Sekedar saling sapa katanya. Dan sepertinya itu tak buruk, dia tidak mungkin 'kan akan berbuat jahat padaku?

Sebelum mengobrol Bima memesan minuman terlebih dahulu, jahe hangat dan teh.

"Tadi aku sudah minum."

Tolakku saat pria itu menyodorkan segelas teh panas ke hadapanku.

Bima hanya ber oh ria. Tidak lagi memaksa seperti dulu. Dan dari caranya menatapku sekarang, pria itu sudah sangat berbeda, lebih ramah tidak seperti saat kami bertemu di acara pernikahannya, setahun lalu.

"Aku turut prihatin dengan berita yang menimpa kamu beberapa hari ini." ucapnya membuka obrolan ke arah yang lebih serius.

"Makasih."

Bima menghela napas, lalu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya.

"Setahun telah berlalu, banyak hal yang berubah dari kita."

Aku belum paham arah pembicaraan pria ini, dia menyulut rokoknya lalu menyedotnya perlahan.

"Kamu merasakannya, Sar?"

"Aku?" tanyaku tak siap dengan pertanyaan itu.

Bima mengangguk pelan.

"Waktu memang bisa ngerubah banyak hal. Termasuk kamu. Sepertinya kamu sekarang lebih manusiawi."

Bima terbatuk mendengar jawabanku.

"Kamu kira dulu aku apa?"

"Ya.... Kamu pasti bisa membedakan sendiri. Ternyata dengan menikah bisa merubah sikapmu jadi lebih baik."

Wajah Bima berubah. Senyumnya di paksakan.

"Kamu melihatnya seperti itu?"

Aku mengangguk yakin. Bima yang kulihat sekarang lebih enak di ajak ngobrol. Dan Nyaman.

"Kamu sendiri? Benar sekarang lagi dekat dengan Wira? Hah, ternyata seleramu tinggi, Sar. Pantas saja dulu kamu ngotot menolak ku."

Mendengar perkataan Bima barusan entah kenapa aku tidak tersinggung. Aku malah senang. Itu berarti Bima sudah bisa berdamai dengan masa kami dulu.

Aku sengaja tak menjawab pertanyaannya itu. Tidak pula berniat membantah atau membenarkan. Lagipula Bima pasti bisa menyimpulkan sendiri.

"Fibri apa kabar?" tanyaku mengalihkan topik.

"Baik. Dia baik."

Aku mengernyit, walaupun Bima menjawab baik, tapi aku menangkap ada sesuatu yang berbeda di matanya.

"Kapan nih aku punya ponakan?"

Bima mengulum senyum tapi tatapannya sedih.

"Sar, tujuanku menemui kamu hari ini adalah aku mau minta maaf. Banyak kesalahan yang baru aku sadari sekarang. Tolong maafin aku ya."

Benar dugaan Bima sudah banyak berubah.

Kami saling tatap, sebuah tatapan penuh ketulusan. Tak adalagi dendam, tak ada lagi sakit hati. Fase itu sudah berakhir. Dan aku senang Bima bisa melewatinya. Fibri telah berhasil merubahnya.

"Sama-sama. Aku juga minta maaf ya, Bim. Kalau dulu sering banget nyakitin hati kamu."

Pada akhirnya baik Bima maupun diriku memang seharusnya  berdamai. Hidup memang sesederhana itu sebenarnya, saling memaafkan ternyata bisa melegakan hati, seperti ada beban yang terangkat. Karena sebenarnya kalau mau di kulik, aku juga selama ini merasa bersalah padanya.

****
     Di suatu pagi Wira mengajakku ke rumahnya. Ada acara arisan keluarga katanya. Sebenarnya aku masih trauma kepada acara berjenis Arisan seperti ini. Ada rasa was-was untuk menghadiri perkumpulan keluarga, teringat bagaimana dulu perlakuan keluarga Bima saat menyambutku.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang