Bab 37

120 7 2
                                    

      Gedung pencakar langit dengan di payungi gumpalan awan itu kini tepat berada di hadapanku. Di samping Gedung itu terdapat pusat perbelanjaan berlantai tiga yang sudah sangat ramai. Tempat itulah yang kutuju. Setelah memasukkan lamaran kerja di beberapa tempat pada akhirnya, aku mendapat panggilan dari salah satu toko.

"Saya sudah ada janji dengan pak Wijayanto." kataku kepada resepsionis ketika sudah sampai di lobi salah satu stand. Stand  belanja yang menjual tas branded ini terpantau masih lenggang.

Wanita cantik dengan rambut bersanggul rapi itu tersenyum ramah, dia lalu mengecek sesuatu sebelum kemudian menatapku kembali.

"Maaf, beliau baru saja berangkat meeting di luar kota. Anda tadi di tunggu, tapi beliau berpesan anda bisa kembali esok hari."

Mendengar penjelasan wanita di depannya ini membuatku mendengkus kesal.

Kenapa aku bisa telat?

Sia-sia sudah perjalananku. Padahal aku sudah berangkat lebih pagi karena harus menempuh jarak hampir tiga jam untuk sampai kesini.

Sia-sia juga usahaku membujuk ibu demi mengizinkanku bekerja lagi.

"Kakak .... "

Suara itu tidak asing.

"Kakak ...."
.
Tubuhku menegang seketika karena di peluk tubuh mungil itu secara tiba-tiba. Sementara itu di depan sana, tampak sosok yang  hampir setahun ini tak pernah lagi bertemu denganku tengah memperhatikan kami.

Tatapannya tak berubah.

"Kakak kenapa nggak pernah main ke rumah lagi?"

Aku baru memutus kontak mata dengan pemilik mata tegas dan angkuh itu untuk kembali fokus pada bocah cantik di depanku ini tatkala menyadari tanganku di goyang pelan.

Sania terlihat sudah semakin besar. Lihatlah sekarang dengan setelan ala Korea, nona kecil ini terlihat begitu menggemaskan.

Untuk mensejajarkan tubuhku dengan tinggi badannya aku kemudian berjongkok.

"Apa kabar, Adek?" sapaku sambil memasang senyum lebar, tanpa ada niat menjelaskan pertanyaannya.

Gadis kecil itu memasang wajah cemberut.

"Adek ngambek! Kakak nggak pernah main lagi sama adek. Padahal adek kan nggak nakal." serunya sambil memutar tubuh, pertanda dia ngambek.

Aku melirik pemilik wajah angkuh yang kini bersendekap memperhatikan kami dari jarak jauh.

"Iih, sekarang makin pintar ya, Adek," bujukku bergeser demi ada di hadapannya.

"Adek mau ngemall? Mau belanja apa?" sambungku karena pujianku tak membuat gadis kecil itu tersenyum.

Mata nona kecil ini berbinar, ia kemudian tersenyum menatapku sekejap sebelum kemudian berbalik mencari ibunya.

"Mami, bolehkan ngajak kakak main?"

Aku terbelalak, aku masih ingat, permintaan Sania tak bisa ditolak.

Sania berlari kecil menghampiri ibunya. Ia menggoyangkan tangan wanita yang auranya masih sama itu pertanda merajuk.

"Boleh." jawab Nyonya Farah dengan wajah datar.

Kenapa Nyonya Farah mengizinkan? Ayolah, aku bukan lagi pengasuh putrinya.

"Kamu kerja di sini?"

Tanpa bertanya kabar apapun, mantan majikanku ini menghampiriku.

"Tidak. Saya lagi cari sesuatu."

Dia tidak boleh tahu kalau sejak berhenti menjadi pengasuh anaknya, aku belum pernah kerja lagi.

"Santai berarti?"

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang