Bab 25

129 9 0
                                    

Kedatangan kami langsung disambut hangat tuan rumah, apalagi setelah Bulek memperkenalkanku sebagai keponakannya. Keluarga Sony semakin baik memperlakukan kami.

"Cantik banget kamu, Sar. Siapa yang ngerias?" sapa Bulek setelah acara usai.

Aku yang tadinya tersenyum karena Bulek memujiku langsung memasang wajah cemberut. Bulek meledekku.

"Kok cemberut? Cantik beneran lho. Bulek nggak pernah lihat kamu dandan gini."

Aku kemudian mengerling genit, membuat wanita itu tergelak mencubitku pelan.

"Mana anaknya, Ridah?" sebuah suara menginterupsi obrolan kami. Nampak wanita paruh baya berpakaian rapi tergopoh gopoh masuk berjalan kearah kami.

"Masih ingat saya?" sapanya saat sudah ada di hadapanku. Aku mengangguk heran.

Dia Bundanya Nayya.

"Bagaimana kabar Ibu Bapakmu?"

"Baik."

Wanita itu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Ia bahkan menyentuh wajahku dengan mata berkaca-kaca.

"Syukurlah."

Aku terperanjat tatkala mertua Fikar ini memelukku secara tiba-tiba.

Ada apa ini?

"Wi, sudah."

Bulek melerai kami karena menjadi pusat perhatian. Kulihat dari sudut mataku Bima dan Fikar juga tampak kebingungan.

"Maaf. Maaf. Saya terlalu senang. Dulu saya dan ibumu sahabat karib," Wanita itu menjeda ucapannya. Ia meraih kursi kemudian memintaku duduk di sampingnya. "Tapi ada satu peristiwa yang membuat kami renggang, "

Pantas saja saat Bulek menyebut nama wanita ini di depan ibu, reaksi Ibu berubah.

"Tapi ya, sudahlah. Itu sudah masa lalu. Yang pasti saya sudah berdamai dengan itu semua."

Aku melirik Bulek karena sama sekali tidak paham. Barangkali sepupu ibu itu tahu sesuatu, tapi Bulek malah mengangkat bahu tanda dia tidak tahu juga.

"Kamu sudah makan?" tanyanya Bundanya Nayya lagi.

"Sudah ...."

"Kamu bisa panggil saya, Bunda. Sama seperti Nayya. Kamu anak sahabat saya, jadi sudah sewajarnya saya anggap anak sendiri. "

Perlakuannya membuatku penasaran? Sedekat apa wanita ini dengan Ibuku dulu. Kenapa ibu tidak pernah cerita?

Untung Bima sudah kembali setelah dia pamit ke belakang beberapa menit lalu. Dia seakan menyelamatkanku dari suasana yang membuatku canggung ini.

"Kamu sudah kenal dengan mertuanya Fikar?" cecar Bima saat kami sudah menjauh.

Aku menggeleng cepat, "Baru ketemu dua kali ini, Bim. Aneh, ya, ada orang secepat itu ngerasa dekat padahal baru dua kali bertemu."

"Pantesan Nayya dari dulu anaknya supel banget. Niru emaknya rupanya."

Mumpung Bima sedang membahas Nayya, ada baiknya aku menanyakan beberapa hal tentangnya.

"Kalian sudah kenal lama?

"Junior di tempat les, jaman SMA. Nayya waktu itu masih SMP awal. Kenapa? Kamu mau tau juga Fikar kenal tuh anak sejak kapan?"

Sambil mengerucutkan bibir aku melengos, tak suka Bima langsung tepat sasaran menebak pertanyaanku.

"Iya, nggak?"ulangnya seperti sengaja menggodaku.

"Enggak." bantahku pelan.

Bima malah menatapku membuatku jengah. "Apa sih, Bim?"

"Cantik." ucapnya pendek.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang