Btw, aku mau up visual story ini versi aku, tapi takutnya malah nggak masuk sama kalian. Bayangan kalian beda sama aku.
Enaknya gimana, up atau tidak ya?
"Sebelumnya, kalian sudah pernah kenal kan? "
"Belum ...." jawabku cepat.
"Sudah ...." jawab Fikar berbarengan denganku.
Aku mengumpat dalam hati, kenapa jawaban kami nggak kompak?
Fikar cari masalah baru saja!
"Maksudku, belum kenal lama."
Secepatnya aku harus mencari alasan, sebelum Nayya bertanya dan curiga macam-macam.
"Oh, gitu. Iya sih, malah aneh kalau kalian ngaku belum kenal, padahal circle pertemanan kalian banyak yang sama."
Aku melengos. Nayya tak sepolos dugaanku ternyata.
"Bima nggak pernah ke sini?" tanya Fikar.
Good, dia mengalihkan pembicaraan.
"Kadang. Akhir-akhir ini dia sibuk bantu Bapaknya buat ngurus pemilihan Kepala Desa." jawabku lega.
"Kalian beneran belum jadian?"
Boleh tidak sebentar saja nyembunyiin Nayya di lemari sekarang? Biar dia tidak tanya macam-macam dulu sekarang.
"Bimanya sih sudah ngebet dari dulu."
Yang di tanya siapa yang jawab siapa, suami-istri ini bener-bener, deh."Kalau kalian? Siapa yang nembak dulu." tanyaku cepat. Tak mau terpojok lebih lama.
Sebenarnya selama ini aku tidak pernah ingin tahu apapun tentang mereka. Tapi menghadapi situasi sekarang, membuat Fikar gugup sepertinya seru juga.
Sementara itu sang istri malah tersipu.
"Jangan ketawa ya, Sar. Aku yang nembak duluan hehehe .... "
Fikar sampai meraup wajahnya frustasi menghadapi kepolosan istrinya.
"Dan langsung dijawab, gitu?" kejarku lagi lagi dengan memasang wajah sok penasaran.
Nayya menatap suaminya sambil tersenyum, aku melihat Fikar berusaha mengkode istrinya agar berhenti bicara.
"Sebulanan. Kalau nggak salah setelah Ibu kamu meninggal kan, Sayang?"
Terlambat, Nayya tak menangkap kode dari suaminya. Dengan menatap suaminya penuh cinta wanita cantik itu menjawab.Sebuah jawaban yang membuatku tertegun beberapa detik.
Kenapa aku sama sekali nggak tahu kalau Ibu Fikar sudah meninggal? Aku sudah bertemu dengan ibunya. Fikar mengenalkan kami saat hari raya, kala itu aku masih duduk di bangku SMA kelas dua. Ibu Fikar terlihat bahagia saat itu, beberapa kali dia mengajakku ngobrol dengan antusias. Wanita yang melahirkan Fikar itu bahkan berjanji akan mengajariku masak menu kesukaan anaknya.
Aku menatap Fikar, kali ini dengan tatapan berbeda dengan sebelumnya. Fikar pun membalas sekilas sebelum ia mengalihkan pandangan, sorot mata pria itu terlihat penuh luka.
Apakah ini yang di maksud Fikar waktu itu? Dia mengalami saat-saat terberat dalam hidupnya? Kepergian Ibunya yang tiba-tiba membuatnya terpuruk.
Dan aku sebagai kekasihnya malah terlalu cuek bahkan tidak tahu apapun. Aku ingat saat itu aku memang terlalu sibuk dengan masalahku sendiri. Seharusnya sebagai pasangan kami bisa berbagi keluh kesah, tapi pada kenyataannya, kami tidak bisa.
Dan faktanya Nayya yang selalu mendampinginya.
****
Setelah drama beberapa saat akhirnya El berhasil membujuk Bapak untuk kembali pulang. Hampir satu jam mereka pergi. Aku dan El menuntun Bapak masuk ruang tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)
RomanceAwalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak dan pada akhirnya penyesalan yang aku rasakan. Aku tidak mengizinkan siapapun memplagiat tulisan ini!! Jangan lupa follow YESS Terimakasih