Bab 20

167 8 0
                                    

    Rumah besar ini tampak begitu ramai dari luar, tidak seperti biasanya. Mobil sampai meluber di kanan kiri jalan sehingga membuat jalan macet. Letak rumah ini memang sangat strategis, sebelum masuk komplek, terdapat dua lajur jalan besar yang menghubungkan jalanan antar kota.

"Langsung masuk saja, Mbak." sapa security yang kukenal bernama, Darmo.

"Ada acara ya, Pak?"

"Tuan pulang." jelas Pak Darmo singkat.

Tanpa bertanya lebih lagi, aku kemudian masuk melalui garasi, jalan yang biasa kulewati.

Mbok menyambutku ketika kepalaku muncul dari balik pintu. Wanita itu berpakaian lebih rapi dari biasanya.

"Mbok lupa bilang sama kamu kemarin, "bisiknya. Aku mengernyit tak paham.

"Hari ini Nyonya ulang tahun. Itu lagi kumpul-kumpul di ruang keluarga."

Jadi sebenarnya aku bisa libur kalau Nyonya tidak kerja, maksud yang ku tangkap dari ucapan Mbok.

"Ini terus ngapain? Nona sudah ada Nyonya." tanyaku.

Melihat banyaknya tamu, kupikir acara ini tidak akan selesai hanya dalam waktu sejam dua jam saja.

"Bantu Mbok iris buah, ya." jawab Mbok kemudian berjalan ke lemari dekat dapur. Ia berjongkok mengambil sesuatu.

Aku memutar mata malas, kerjaanku di sini hanya buat Sania, kenapa sekarang di suruh pegang pisau.

"Ini." Wanita berbadan agak gemuk mengangsurkan celemek dan pisau buah ke arahku.

"Aku nggak mau bantuin lainnya lho, Mbok. Ini perkecualian." gerutuku pelan.

"Iya ... Mbok tahu ...."

"Lagian rumah sebesar ini, masa Mbok sendiri yang ngerjain? "

Pertanyaanku lebih kearah gumaman tapi aku yakin Mbok mendengarnya.

"Ada yang bagian bersih-bersih tapi pagi. Mbok cuma bagian dapur saja. Itupun jarang masak. Kamu tahu sendiri rumah ini cuma besar bangunannya saja, penghuninya tidak ada."

Aku tak menyahut, mulai fokus dengan buah mangga yang kini ada di tanganku. Dari kulitnya saja pasti rasanya manis, menggoda selera.

"Kalau sudah selesai kamu masukin kulkas dulu ya, biar agar dingin. Nanti kita keluarkan agak belakangan."

Kulirik Mbok kini sibuk dengan penggorengannya. Sesekali matanya beralih dari wajan ke arah pintu pembatas dapur.

"Aku boleh icip 'kan, Mbok? Buah kesukaanku nih."

"Boleh. Kenapa nggak boleh? Di sini semua terjamin. Harusnya sebelum pulang kamu makan dulu, Nyonya tidak pernah itung-itungan soal makan."

"Enak ya, Mbok jadi orang punya duit banyak. Hidup mereka terjamin."

Mbok mematikan kompornya, ia menuang ote-ote ke piring saji kemudian mendekatiku.

"Halah, kamu itu. Bisa jadi yang kamu lihat enak tapi dalam hatinya nelangsa. Hidup itu sebenarnya mudah, yang susah itu, selalu saja membandingkan diri sendiri dengan pencapaian orang lain."

Aku tersenyum miring, merasa tersindir. Kucomot satu potong mangga sebelum Mbok mengangkatnya dan memasukkannya ke kulkas. Mbok sempat menawariku ote-ote tapi aku sedang tak berminat makan gorengan.

Tiba-tiba saja dari luar muncul seorang pemuda berwajah blasteran berjalan kearah kami. Pemuda dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh limahan lebih itu menatapku dengan tatapan tajam, aura dingin langsung menyeruak dari dirinya.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang