Bab 16

166 7 0
                                    

     Persiapan pindahan kami sudah seratus persen selesai. Semua barang sudah tertata rapi. Nanti rencananya barang-barang tersebut akan diangkut mobil bak terbuka milik salah satu tetangga Bulek.

Mataku belum juga bisa terpejam, masih terang benderang rasanya. Padahal ini sudah lewat tengah malam, biasanya jam segini aku sudah tertidur lelap, bahkan mungkin sudah bermimpi indah. Tetapi gara-gara bayangan pria berkemeja batik sore tadi, membuat rasa kantukku buyar.

Wajah pria itu terus berputar-putar di kepalaku tak mau pergi. Menghadirkan satu persatu kenangan, memaksaku mengingatnya kembali.

     Dia, yang selama ini selalu menyebutku kekasih di hadapan sahabat-sahabatnya.

Dia yang selalu memanggilku dengan sebutan 'sayang'  di setiap kami bertemu,

Dia yang setahuku sedang menimba ilmu di pulau seberang,

ternyata dia, kini muncul.

Muncul sebagai suami orang!

       Aku mendesah berkali-kali, teringat jelas bagaimana lanjutan pertemuan tak sengaja sore itu. Sore yang kelabu bagiku karena harus menahan kesal dan kekecewaan.

Flashback

   Setelah dia memalingkan wajahnya seusai aksi saling tatap yang mengakibatkan patahan di dadaku, aku memutuskan tidak melanjutkan rencanaku untuk di belakang. Aku kembali duduk dengan pikiran kacau, sementara Bulek di sampingku sibuk mengusap air matanya.

Tak lagi mempedulikan keadaan Bulek yang sedang menangis, aku sibuk sendiri dengan praduga-praduga di kepalaku.

Kenapa dia ada di sini? Apakah dia salah satu keluarga mantan suami Bulek? Kenapa seolah dia tak mengenaliku? Apa dandananku yang sekarang membuatnya pangling?

Pertanyaan itu berputar sampai sesi foto dimulai. Semua tamu undangan mendapatkan kesempatan untuk maju dan mendokumentasikan gambar mereka dengan kedua mempelai. Satu persatu keluarga, tamu dan undangan bergantian maju. Mereka terlihat begitu bahagia ketika sang MC acara tersebut memanggil nama mereka untuk maju.

   Aku yang berada tepat di depan mempelai tak lagi fokus dengan prosesi akhir resepsi itu. Bahkan menolak tatkala Bulek  memintaku menemaninya maju.

Blank semuanya.

Hingga pada akhirnya, tubuhku seolah membeku tatkala nama itu di sebut. Nama itu tidak asing. Hatiku makin berkeping-keping ketika di belakang namanya terucap sebutan nama orang lain beserta gelarnya,

"Ayo giliran Zulfikar Sauqi dan istri, silahkan maju."

Tak berhenti sampai di situ, setelah nama itu di sebut, sahutan demi sahutan dan teriakan riang muncul menyemarakkan acara.

"Ayo pengantin baru, yang mesra  ...."

"Wahahaha, pengantin baru kita kok muram, apa semalam tidak di kasih jatah ... "

Teriakkan demi teriakan itu semakin menyadarkanku, bahwa orang yang kini berada di samping mempelai wanita itu, benar-benar dia.

Darahku mendidih, mata kami kembali bertemu, tapi dia seolah sengaja memasang muka datar. Semakin membuat dadaku terbakar tak terima. Bagaimana bisa dia bisa sesantai itu menghadapiku? Seolah aku orang asing. Seolah aku bukan siapa-siapa baginya!

******

"Ini siapa, Lan? Cantiknya."

Wanita paruh baya Berkebaya warna marun datang menemui kami, lebih tepatnya menyapa Bulek. Kami sedang sesi makan malam setelah resepsi berakhir.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang