19

22 11 0
                                    

19. Kamu itu indah.

" Kalau kataku sih, kamu itu indah! "

+

Andrea menatap datar, pada dua orang di depannya. Ada Sintia dan Yurika, keduanya duduk sambil menundukkan kepala. Ada rasa senang di hati Andrea, saat mengetahui keduanya berhasil selamat. Namun, khawatir itu pun datang, saat matanya tak sengaja melihat bekas luka di beberapa bagian.

" Ga ada yang mau ngomong? " Kedua orang itu langsung mengangkat pandangannya.

" Maaf " ucap keduanya, bersamaan. Andrea menghela nafas, lelah.

" Ga ada yang perlu di maafin, gu- Rea ngerti sama kondisi kalian. " Sedikit sulit, untuk bersikap sopan pada keduanya.

" Gimana keadaan kamu? "  Andrea hanya membalas dengan mengangkat kedua bahunya. Andrea bosan, mendengar pertanyaan sama, yang terus di tanyakan pada dirinya. Andrea rasa, tak ada orang buta di sekitarnya, selain buta hatinya mungkin.

" Sejak kapan kamu punya penyakit kayak gini, Re? Selama ini kamu kelihatan baik baik aja. "

" Enak aja bilang baik baik aja, gue tersiksa selama ini cuy! "

" Soal itu, ah! Ini semua karena kecelakaan waktu itu " Andrea hanya membalas singkat.

" Kecelakaan yang ... "

" Bukan, gue pernah kecelakaan dua setengah tahun yang lalu. " Sintia dan Yurika membulatkan matanya. Setengah tahun yang lalu? Itu berarti.

Andrea masih menunggu di kursi panjang, yang memang sudah tersedia di taman. Gadis itu duduk sambil memeluk bonekanya, sesekali menengok ke kiri dan kanan bergantian. Andrea tersentak, saat langit mulai mengeluarkan suara gemuruhnya. Mencoba untuk tenang, gadis itu memantapkan hati untuk tetap menunggu.

" Aduuh, Mama sama yang lain mana sih, katanya mau main sama mbak Yurika bentar. " Andrea menoleh ke arah kiri, berharap Marina datang dan membawanya pulang.

Andai Marina tak menyuruhnya menunggu di kursi panjang itu. Mungkin, Andrea sudah pulang ke rumah sendiri, mengingat jarak rumahnya dengan taman tak begitu jauh. Namun, Andrea masih lah anak perempuan yang begitu mengharapkan kasih ibunya. Jika dirinya pulang dan ternyata Marina datang, ibunya itu pasti akan semakin membencinya. Andrea tak menginginkan hal itu.

" Mama, bang Rafa, kalian kemana sih, kalian ga lupa sama Rea kan? " tanya nya entah pada siapa.

Andrea mendongak, saat merasakan dinginnya hujan menyentuh kepalanya. Tak ada gerimis, langit seakan turut menyiksa gadis itu dengan menumpahkan hujan lebat. Andrea masih tetap pada pendiriannya, ia harus menunggu sampai Marina atau setidaknya Rafa menjemput. Andrea tak boleh membantah perintah sang ibu, sudah cukup amarah yang Marina berikan kepadanya. Andrea juga ingin di cintai.

Meong ...

Andrea menarik kedua sudut bibirnya, saat melihat seekor kucing yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Kucing itu begitu lucu, dengan bulunya yang berwarna coklat bercampur putih. Tanpa sadar, Andrea berjalan mengikuti kucing itu, meninggalkan kursi panjang yang masih terisi dengan bonekanya.

" Kamu lucu banget sih, cing " Andrea mengelus kucing itu, tak menyadari keadaan sekitarnya. Fokusnya hanya pada kucing itu saja.

" Kamu kok sendiri sih disini? Mama sama Papa kamu kemana? Apa kamu juga sama seperti aku? " Andrea terus bertanya, seolah kucing itu mengerti dan akan menjawab setiap pertanyaannya.

Andrea Dan Buminya ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang