Sabrina mengantar makanan ke ruangan Adam dengan perasaan yang tak menentu. Di satu sisi, dia senang karena Maya telah mengetahui apa yang selama ini tersembunyi. Di sisi lain, dia khawatir akan posisi Adam di mata ayahnya.
Bagaimana bila Maya mengadu kepada mertuanya? Apakah Adam akan dihukum oleh ayahnya? Bila benar demikian, siapa yang akan Adam pilih?
"Adam, kalau misalkan semua nggak berjalan seperti yang kamu mau ...." Sabrina berhenti sejenak, berusaha memilih kata-kata yang tidak merusak suasana. "Kalau misalkan kita ketahuan, kamu bakal pilih aku atau warisan ayah kamu?"
Adam tertegun mendengar pertanyaan Sabrina yang bernada pesimis. Dia berhenti mengunyah burgernya sejenak dan berkata, "Aku bermain dengan bersih. Segalanya sudah kuperhitungkan dengan baik. Tak mungkin ketahuan!"
Adam lalu melanjutkan makannya dengan cepat. Direguknya cola dari gelas langsung agar lebih puas minum. Dia tak ingin membuang waktu dengan pertanyaan Sabrina yang hanya menimbulkan perasaan was-was di dalam alam bawah sadarnya.
Namun, Sabrina tak menyerah. Dia membutuhkan jawaban Adam sekarang juga. "Adam, tak bisakah kau menjawabnya saat ini? Apa sulitnya?"
Adam kemudian menoleh ke arah Sabrina sejenak. "Sabrina, percayalah kamu adalah nomor satuku. Apa pun yang terjadi." Pria itu lalu dengan cepat memeriksa file yang belum sempat dia baca karena ocehan Sabrina. Dia juga mematikan ponsel karena tak ingin ada yang mengganggunya lagi. Menyebalkan sekali suasana ini bagi Adam. Mengapa situasi dan kondisi tak bisa diajak kompromi di saat dia inginkan?
Sabrina pun tersenyum puas. Dia tak ingin Adam hidup menderita karena memilihnya jika Tuan Paul mengetahui semua kenyataan yang disembunyikan oleh putranya. Namun, karena Adam sendiri yang mengatakan bahwa dia adalah prioritas teratas, hatinya kini sangatlah tenang.
Senyuman damai mengembang di bibir Sabrina. Bahkan, matanya menitikkan air mata haru membayangkan saat Adam membela untuk mempertahankan hubungan mereka di depan sang ayah. Cinta memang akan menguatkan manusia. Dia harus melakukan persiapan sebaik mungkin untuk keadaan yang paling buruk sekalipun.
Sebagaimana seseorang yang menyediakan barang-barang darurat sebelum terjadi bencana, kini Sabrina mengeluarkan catatan dan pena untuk mencatat apa pun yang harus dia amankan sebelum masa-masa paceklik terjadi. Dia harus banyak mengumpulkan tabungan. Sebagai seorang istri, sudah menjadi tugasnya untuk merencanakan masa depan mereka berdua dengan sebaik mungkin.
***
Sementara itu, di rumah sakit, Leo sedang menunggui Maya untuk menanti kabar pemeriksaan lanjut yang sedang dilakukan oleh dokter. Dia telah berusaha menghubungi nomor telepon Sabrina. Namun, wanita itu tak mengangkat. Leo yang masih menyimpan nomor ponsel Adam, berusaha menghubungi pria itu. Akan tetapi, ponselnya mati.
Maya yang masih gemetaran bersandar di bed pasien. Lukanya telah dibalut rapi oleh petugas medis, sebagaimana luka Leo. Saat ini wajah Maya pucat, bukan hanya karena apa yang baru saja dia saksikan di kantor suaminya. Namun, karena lukanya berasal dari tempat yang mencurigakan. Bagaimana bila dia ....
"Kandungan Anda baik-baik saja," ucap sang dokter wanita yang memeriksa Maya. "Lain kali berhati-hatilah karena usianya masih tujuh minggu."
Wajah Leo cerah seketika, tetapi saat dia menoleh ke arah Maya untuk berbagi rasa syukur, wajah wanita lemah di sampingnya itu hanya menatap datar. Leo tak mengerti apa yang ada di kepala Maya. Apakah dia tak senang dengan kabar kehamilannya?
Kata senang, tidak masuk dalam benak Maya saat ini. Dia lebih terkejut mendapati semua kenyataan yang menimpanya. Memang, Maya tidak mengalami datang bulan sama sekali setelah malam pertamanya dengan Adam. Mengapa dia tidak memperhatikan hal ini sebelumnya?
Kini, kondisinya lebih buruk lagi. Setelah semua yang Adam lakukan di belakangnya terbongkar, Maya tak ingin kembali pada suaminya. Namun, bagaimana dengan nasib bayinya nanti? Apakah dia akan bercerai dengan Adam? Atau harus bertahan?
Maya menimbang keputusan yang lebih masuk akal untuk saat ini. Bertahan dengan Adam adalah sesuatu yang jauh dari benaknya saat ini. Mungkin hidupnya dan calon bayi akan terjamin. Namun, siapa yang bisa menahan rasa sakit hati? Mengingat betapa mesra hubungan Adam dengan wanita tadi, tidak mungkin suaminya akan bersedia meninggalkan wanita itu.
Di sisi lain, bila Maya bercerai dengan Adam, dia harus mencari pekerjaan. Bagaimanapun juga, dia tak memiliki uang cukup untuk menghidupi dirinya dan bayinya. Walaupun dia tahu Adam masih berkewajiban membiayai anaknya, rasanya tak sudi dia menerima uang dari tangan kotor Adam. Akan tetapi, apakah ada yang mau menerima wanita hamil bekerja kantoran? Sanggupkah dia bila harus melakukan pekerjaan kasar?
Maya dan Leo keluar dari rumah sakit dalam keheningan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak satu pun dari mereka ingin bertukar kata. Leo hanya bisa menatap sosok di sampingnya dengan rasa iba. Tak seharusnya wanita itu menderita karena ambisi dunia Adam dan Sabrina.
"Maya, aku akan mengantarmu pulang," ujar Leo pelan dengan suara serak karena membisu begitu lama.
Maya hanya menjawab dengan anggukan. Dia bahkan lupa mengatakan terima kasih kepada Leo yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan. Entah, dalam hati dia justru kecewa dengan aksi tak disangka yang dilakukan Leo. Seandainya pria itu tidak datang, pasti dia tak perlu melanjutkan rasa sakit hati yang dideritanya saat ini ... esok ... dan seterusnya.
Sesampai di apartemen, Maya berkata, "Terima kasih, tapi lain kali, jangan lakukan hal yang tak perlu seperti tadi."
Dahi Leo mengerut. Matanya terbelalak. "Jangan kau bilang bahwa tadi kau berniat mengakhiri hidupmu!"
Maya membuang muka. Saat ini, dia sangat tak ingin Leo melihat matanya berkaca-kaca lagi. Dia tak ingin berbagi dengan siapa pun tentang sakit hati yang dia alami. Bibirnya bergetar menahan diri agar tangisnya tak pecah lagi.
Setelah cukup bisa menguatkan diri, Maya berkata kepada Leo, "Kau tak tahu apa yang kualami. Jangan mengambil kesimpulan sendiri!"
Senyuman Maya yang sinis bergetar, membuat Leo sangat yakin apa yang baru saja dialami Maya pasti ada kaitannya dengan Adam dan Sabrina. Dia yakin bahwa Maya kini mengetahui semua yang mereka rahasiakan.
"Maya, izinkan aku membantumu!" Leo menyatukan genggaman tangan Maya. Membuat mata Maya semakin panas. Air matanya sebentar lagi akan turun.
Maya menggeleng. Air mata telah menetes perlahan mengaliri pipinya. Wanita malang itu memaksakan senyuman di wajah. "Kita tidak saling kenal. Aku tak mau melibatkan orang luar ke dalam urusanku."
Perlahan, Maya melepaskan genggaman tangan Leo darinya. Dia tahu Leo adalah pria baik. Namun, menerima bantuan pria asing bukanlah jalan keluar yang ingin dia tempuh saat ini. "Pergilah, Leo! Terima kasih atas semua yang kau lakukan untukku. Tak ada utang Budi lagi di antara kita!"
Pengusiran Maya membuat Leo tak bisa berkutik. Maya benar, mereka berdua hanyalah orang asing. Tak patut mencampuri urusan pribadi masing-masing. "Maya, ini kartu namaku! Simpanlah! Hubungi aku kapan pun kau membutuhkanku. Okay?"
Maya menerima kartu nama tersebut dengan ragu. Namun, dia mengangguk juga karena ingin Leo segera pergi dari sini.
Leo pun berbalik, meninggalkan Maya yang masih mematung di depan pintu. Tiba-tiba, mata hijau Leo berkilat, teringat sesuatu. Dia berbalik dan menghadap Maya lagi. "Satu lagi! Jangan pernah kau lakukan hal itu lagi! Atau aku tak akan pernah memaafkanmu."
Maya tak bisa berkata apa pun. Perkataan Leo membuat kehangatan mengaliri hatinya. Seandainya saja mereka berdua dipertemukan lebih awal, mungkin tak akan seperti ini kejadiannya. Saat ini, hal terbaik yang bisa Maya lakukan adalah dengan menjauhi Leo sebisa mungkin agar pria baik itu tak terseret ke dalam ketidakberuntungan yang dia alami.
Akan tetapi, satu hal yang Maya tidak ketahui tentang Leo adalah betapa keras kepalanya pria itu bila mata hijaunya telah menetapkan target. Apa pun yang Maya inginkan, tak akan bisa mengubah arah dan tujuan Leo.
***
Adam dan Sabrina bergegas keluar dari kantor. Seperti biasa, Adam akan menghabiskan waktu bersama Sabrina hingga dini hari lalu pulang menemui Maya.
Namun, tepat saat akan membuka pintu, utama, sebuah pukulan keras melayang ke muka Adam, menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
"Aarrgghhh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)
RomanceBacaan untuk pembaca dewasa. Anak kecil jangan baca. Tolong patuhi. Hanya untuk 18+. *** Adam menikahi Maya karena perjodohan kedua orang tua mereka. Dia terpaksa memperlakukan Maya dengan baik agar tidak kehilangan warisan. Namun, siapa yang sangka...