Maya sama sekali tak ingin percaya apa yang dia lihat saat ini adalah kenyataan. Tetapi semuanya begitu nyata. Suami yang selama ini sangat baik padanya, melakukan perbuatan yang tak seharusnya dia lakukan bersama wanita lain.
Sesuatu yang hanya haknya, yang seharusnya hanya untuknya, kini Adam lakukan bersama wanita lain. Keduanya tampak begitu larut hingga tak mempedulikan sekitar, tak menyadari kehadiran orang lain yang menyaksikan perbuatan yang begitu menyakitkan bagi Maya.
"Adam ... I love–you!" seru wanita yang menguasai Adam tatkala punggungnya melengkung ke belakang.
"I love–you–more, Baby! Kamu satu-satunya ...." Adam membalas dengan suara berat tertahan sebelum bibirnya mengklaim bibir wanita yang sedang bersamanya. "Cuma kamu di hatiku, Sayang!"
Tentu saja, kalimat terakhir Adam membuat dunia Maya hancur berkeping-keping. Ternyata, suami yang dia kira selama ini adalah pria yang ditakdirkan untuknya, ternyata mencintai wanita lain. Bukan dirinya!
Pemandangan adegan panas berada hanya dua meter jauhnya dari pemandangan memilukan. Perpaduan kontras yang paling tak diinginkan untuk dilihat oleh siapa pun tentunya.
Lutut Maya tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Dia jatuh bersimpuh di dekat pintu ruangan Adam yang sedikit terbuka. Matanya yang terbuka paksa, mengalirkan derasnya air mata. Mulutnya tertutup oleh kedua tangan karena tak ingin mengeluarkan teriakan dan sumpah serapah untuk mengutuk kedua manusia laknat di depannya.
Tas penjaga suhu berisi kotak makanan yang dia bawa terbanting, jatuh, tergeletak di samping kanan. Pastilah akan berserakan bila tak ada penutupnya. Sayangnya, bunyi yang cukup keras itu tak dapat mengganggu aksi pasangan yang tengah terbuai oleh nafsu. Suaranya tak cukup keras untuk mengalahkan seruan pasangan yang sudah tak bisa membedakan mana langit dan mana bumi. Telinga mereka seolah hanya untuk mendengarkan suara dari pasangannya.
Kini semua menjadi jelas bagi Maya. Mengapa Adam banyak lembur. Mengapa kadang pria itu tak berada di sampingnya tatkala dia terbangun lebih awal saat dini hari. Dia pun menjadi tak yakin bahwa Adam selama ini benar-benar melakukan perjalanan bisnis. Bisa jadi suaminya itu menghabiskan waktu bersama dengan wanita yang kini berada di pelukannya.
Tak kuat berlama-lama, Maya menegakkan kaki dan berlari sekuat tenaga untuk meninggalkan tempat perbuatan laknat itu berlangsung. Maya tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Siapa sebenarnya wanita yang sedang berada dalam pelukan Adam? Mengapa suaminya menikahinya? Padahal dia mencintai wanita lain ....
Pedih dan sakit hati yang dirasakan Maya tak akan terobati dengan apa pun. Lukanya begitu dalam. Tak akan ada yang sanggup menyembuhkannya. Bahkan wanita malang itu sudah tak tahu lagi apa yang dia inginkan saat ini. Dia hanya berlari dan berlari menjauh dari tempat laknat itu sejauh mungkin.
Maya yang gelap mata, melalui trotoar pejalan kaki dengan sembrono. Hampir dia beberapa kali menabrak orang. Bahkan, dia sempat akan tertabrak sepeda karena berjalan di sisi trotoar untuk sepeda.
Sepasang kaki ramping membawa Maya entah ke mana. Wanita yang kebingungan itu seolah-olah tak mengenal jalanan yang dia lalui. Dia memandang sekeliling sambil terus berjalan tanpa arah. Gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya tampak terlalu rapuh dan seolah akan roboh saat itu juga. Maya berlari ketakutan tatkala ada suara klakson berdengung di telinganya.
Tepat saat Maya melihat ke depan, beberapa meter di hadapannya sudah ada truk yang melaju kencang. Sopir truk sudah membunyikan klakson berkali-kali, tetapi Maya bergeming. Mungkin ... penderitaannya akan berakhir jika dia tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri saat ini.
Maya pun memejamkan mata. Siap untuk meninggalkan semua yang telah membuatnya terluka. Namun .... Sayup-sayup suara teriakan terdengar di telinga Maya. Bukan hanya teriakan biasa, tetapi sumpah serapah.
Berikutnya, Maya tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Dia hanya menyaksikan sesosok tubuh jangkung dan kekar berlari secepat kilat ke arahnya. Sosok tersebut merengkuh tubuhnya dan membawanya melompat berguling ke sisi jalan yang lain.
Sebagian kecil tubuh Maya merasakan sakit karena terhantam beton trotoar. Namun, bagian kepala terlindungi sempurna oleh badan dan lengan besar yang melingkupinya. Napas keduanya terengah-engah, jantung dua orang yang melindungi-dilindungi itu serasa akan melompat keluar dari tenggorokan.
Sang pria yang menolong Maya pun membuka mulut, "Bodoh sekali kamu! Apa kau mau mat—"
"...."
Maya bergeming, hanya menatap pria itu dengan tatapan nanar. Air matanya masih belum berhenti mengalir. Pandangannya kabur. Rasa sakit dan nyeri karena benturan di sisi kirinya mulai menyerang kesadaran. Namun, Maya masih bisa dengan jelas mengenali sosok pria yang menolongnya.
"Le—"
"Maya?"
Melihat air mata Maya yang mengalir begitu deras, perasaan Leo menghangat. Dia pun tidak menanyakan apa yang terjadi pada Maya karena sudah jelas bagi pria berhati lembut itu. Dia sangat tahu apa yang sedang berada di hati Maya.
Air mata adalah cara manusia berbicara saat bibir tak bisa lagi mengungkapkan betapa hancur perasaannya saat ini. Isakan dan seruan putus asa dari bibir Maya yang menyertai tangis, membuat gelapnya malam semakin kelam dan merana.
Entah berapa lama hal ini berlangsung. Leo hanya bisa memeluk Maya, berharap kehangatannya memberikan sedikit perasaan nyaman agar pilu di hati wanita malang itu tak semakin sakit terasa.
Namun, saat Leo melihat ada luka-luka di beberapa bagian tubuh Maya, dia tahu ada hal yang tidak sederhana terjadi. Perlahan, darah mengalir paha Maya. Darah yang pastinya bukan luka benturan.
"Maya, kamu—"
Leo tak meneruskan perkataannya. Dia takut Maya akan semakin bersedih. Serta merta, pria jangkung itu segera membawa Maya ke rumah sakit agar penanganan bisa dilakukan dengan cepat. Semoga saja tidak terlambat!
***
Sementara itu, di ruang kerja, Adam dan Sabrina yang tengah lemas karena hal yang mereka lakukan sebelumnya, membaringkan diri di sofa–berpelukan erat. Napas mereka sudah mulai kembali teratur setelah beristirahat beberapa saat.
"Kamu ini, mengapa menggangguku saat bekerja? Kubilang aku harus menyiapkan file untuk meeting besok!" protes Adam sambil membelai rambut Sabrina yang terurai acak-acakan karena permainan mereka yang tak terkendali.
"Sudah lama kita tak melakukannya di kantor. Sejak ada Elena, waktu kita terbatas. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," jawab Sabrina manja membela diri. Dia mengelus bahu Adam yang berotot dengan tangan lembutnya, mengalirkan lecutan rasa di tubuh suaminya itu dengan sengaja. "Ayo, pulang! Kita ulangi lagi di rumah! Atau ... kau mau di sini?"
"Mereka baru mengirimkan laporan penjualan pekan ini sore tadi. Jadi aku harus lembur, Sayangku!" tolak Adam keberatan. Dia tak mau lagi ayahnya mendapatkan laporan dari mata-mata bahwa kinerjanya buruk.
"Baiklah! Baiklah! Kalau begitu, aku akan memesan makanan untuk kita, okay?" Sabrina akhirnya mengalah. Dia pun merapikan kembali penampilan agar Adam tak terganggu dan bisa fokus dengan pekerjaan.
Sabrina keluar dari kantor Adam untuk mengambil ponsel. Saat itulah, kakinya terantuk tas makanan berwarna hijau yang tergeletak di dekat pintu.
"Siapa yang meninggalkan tas ini di sini? Elena?" gumamnya pelan sambil mengingat kembali apakah Elena membawa bekal ke kantor.
Wanita itu pun membungkuk untuk memungut tas tersebut. Saat menyadari betapa berat tas tersebut dan betapa panas isinya, isi kepala Sabrina pun mengerti apa yang baru saja terjadi.
Bibir Sabrina merekah. Senyuman sinis melekat di wajahnya. Dia lalu berjalan mendekati tempat sampah untuk membuang tas makanan tersebut seolah-olah itu adalah benda menjijikkan.
"Kau pasti tahu sekarang, siapa sesungguhnya wanita yang Adam cintai ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)
RomanceBacaan untuk pembaca dewasa. Anak kecil jangan baca. Tolong patuhi. Hanya untuk 18+. *** Adam menikahi Maya karena perjodohan kedua orang tua mereka. Dia terpaksa memperlakukan Maya dengan baik agar tidak kehilangan warisan. Namun, siapa yang sangka...