Pukulan Adam yang pertama mengenai wajah Leo. Namun, yang kedua tentu berhasil ditangkis oleh lawannya.
"Adam! Hentikan! Mengapa kau tiba-tiba memukul Leo!" jerit Maya berusaha menghentikan amukan Adam.
Adam tak peduli. Dia masih berusaha menghajar Leo. Sementara Leo yang sebenarnya dapat dengan mudah menghabisi lawannya, hanya sibuk menangkis dan menahan serangan Adam. Tak sampai hati dia memukul Adam karena ada Maya di sampingnya.
"Hei! Mengapa kau berbuat sembarangan seperti ini? Ingatlah kita sedang di rumah sakit!" bisik Leo pelan tapi tegas.
"Kau apakan Sabrina, huh? Seorang saksi mengatakan istriku jatuh setelah pria berambut pirang dengan tubuh besar membuatnya ketakutan!" balas Adam dengan geram. "Siapa lagi kalau bukan kau!"
Leo pun mengernyit. Dia bingung dengan pertanyaan Adam. Dia memang sempat bersitegang dengan Sabrina. Namun, apakah semengerikan itu sampai-sampai membuat kondisi Sabrina dalam keadaan kritis?
"Kamu! Kamu pasti yang menyuruh Leo menakuti Sabrina, bukan? Kamu tak ingin melihat keluargaku bahagia, bukan?" tuduh Adam kini kepada Maya. Pandangan mata Adam yang bengis terbutakan oleh amarah dan kebencian, membuat dàda Maya terasa tertusuk anak panah berkali-kali.
Bibir Maya merapat. Dia menggigit bibir, berusaha menahan tangis. Namun, sayangnya, air mata ternyata tetap saja lolos dengan mudah membasahi pipinya yang pucat.
"Bila kau mendendam, luapkanlah padaku! Jangan pada istri dan anakku!" seru Adam sambil mengguncang bahu Maya.
Air mata Maya pun mengalir kian deras. Bukan karena tuduhan Adam. Namun, cara Adam menyebut kata anak di kandungan Sabrina dengan kata 'anakku' sangat menyakitkan bagi Maya. Seolah-olah bayi di dalam kandungannya bukanlah darah daging Adam.
Leo yang tak tahan dengan kelakuan Adam pun menyeret pria itu ke lahan parkir terdekat. Dia tak ingin Adam menyakiti Maya lebih jauh lagi dengan perkataannya yang sangat diskriminatif. Leo yakin, sekalipun Maya sudah tak mengharapkan cinta Adam, kelakuan Adam tetap saja menyakitinya.
"Kau, brengsèk, Adam! Tak ada suami dan ayah yang lebih buruk daripada kamu!" Leo yang sangat geram menyeret Adam dalam rangkulan agar tidak dicurigai oleh pihak sekitarnya bahwa mereka berdua sedang ada masalah. Ini penting sekali untuk mencegah satpam rumah sakit ikut campur urusan mereka. "Kita selesaikan urusan lelaki di luar! Jangan berbuat konyol di depan wanita!"
***
Adam dan Leo yang sama-sama sedang dilanda amarah, memuaskan hasrat mereka satu sama lain. Tentu saja berujung dengan babak belurnya Adam dan sedikit lebam di wajah Leo karena kemampuan yang tak sebanding.
"Jangan kamu sentuh Maya lagi! Apa kau tak merasa cukup membuatnya menderita, huh?" Leo menendang kaki Adam yang terduduk lemah dan disandarkan di sisi mobilnya.
Leo hendak kembali menemui Maya, saat tangan lemah Adam meraih kaki Leo. "Tunggu ...." Adam berbisik lemah dan menarik kaki kanan Leo agar tak meninggalkannya.
"Hei! Aku tak ingin menghajarmu sampai mati walau aku ingin! Bagaimanapun ju—"
"Pinjami aku uang!" potong Adam pelan, seraya memeluk kaki Leo.
"...."
Leo bergeming. Tak menyangka akan keluar kata-kata seperti itu dari mulut Adam. Ucapan yang tak dia sangka akan keluar dari bibir sombong mantan CEO Wilson Group.
"Aku butuh uang cukup besar untuk biaya perawatan Sabrina," ujar Adam dengan suara serak yang hampir tak terdengar. "Akan kukembalikan nanti. Aku janji!" Wajah Adam yang penuh darah dan lebam menengadah lemah memelas ke arah Leo.
Bibir Leo yang tadinya hendak mengeluarkan umpatan dan olokan pun tak sanggup mengeksekusi niatan buruk itu. Dia tahu, saat ini, pria yang tergolek lemah di kakinya memang sedang membutuhkan bantuan. Pria bermata hijau itu pun kemudian berjongkok untuk mendekatkan wajahnya ke muka Adam.
"Berapa kau butuh?"
***
Beberapa hari kemudian, Adam menemui Leo di kantor Wilson Group. Dia merasa konyol bertemu lagi dengan semua karyawan yang dulunya adalah anak buahnya.
Beberapa dari mereka masih menghormati Adam walaupun sebagian yang lain mengolok mantan bos mereka dalam bisikan-bisikan yang masih bisa didengar oleh telinga Adam. Apa boleh buat. Kabar miring tentangnya dan Sabrina telah menyebar ke seluruh karyawan.
Adam mengetuk pintu ruangan yang dulu ditempatinya. Di dalam, kini terdapat tiga meja kerja. Satu ditempati Leo, dua yang lain ditempati oleh orang yang dipercaya oleh Maya.
Tebersit perasaan kesal dalam hati Adam. Akan tetapi, dia kesampingkan perasaan itu untuk saat ini. Dia akan membereskan urusan dengan Leo, lalu kembali ke rumah sakit untuk menemani Sabrina yang masih dalam masa pemulihan pasca operasi Caesar yang dilakukan mendadak beberapa hari lalu.
"Aku hendak mengembalikan uangmu," ujar Adam pelan karena tak ingin dua orang yang lain mendengar.
Leo pun mengerti rasa tak enak Adam, lalu mereka berdua pergi ke ruang meeting yang sedang kosong. Leo menanyakan kepada Adam mengapa dia mengembalikan uangnya dengan sangat cepat. "Apa kau merampok bank?"
Mata gelap Adam manatap Leo dingin, memprotes candaan Leo yang tak lucu. "Keberuntungan berpihak padaku. Pihak asuransi menelepon dan mengatakan terjadi kesalahan. Aku masih bisa menggunakan asuransi kesehatan sampai akhir tahun."
Leo refleks membuka bibir tipis sambil mengangguk pelan. Dia kemudian menepuk punggung Adam tanda bersimpati dengan kondisi Adam yang sekarang. Dia pun menerima kembali check yang sempat dia berikan pada Adam beberapa hari lalu sambil berkata, "Aku tahu. Berusaha mandiri pasti sangat berat. Bila kau butuh uang mendesak, jangan ragu datang padaku!"
Adam hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Dia menghadap ke depan, menghindari tatapan persahabatan dari Leo yang tentu sangat asing untuknya.
Perubahan sikap Leo muncul saat mengetahui bahwa Adam tak membawa bekal sepeser pun dari uang sang ayah. Semua fasilitas dari Tuan Paul dia kembalikan. Bahkan dia memakai hampir semua tabungan pribadinya untuk mengganti harta ayahnya yang pernah dia habiskan untuk menyenangkan Sabrina.
Leo pun mulai menghormati Adam dengan totalitasnya untuk mandiri dan berusaha memulai segalanya dari nol dengan kemampuannya sendiri. Dia sangat menghargai Adam karena mau bekerja di restoran cepat saji dengan gaji rendah seperti dirinya dulu. Dia tahu pasti, sekarang ini ada banyak hal yang berubah pada diri Adam.
Leo memaafkan Adam, kecuali atas satu hal: perbuatannya yang menyakiti Maya. Leo tak akan membiarkan Adam mengusik dan menyakiti Maya lagi seumur hidup.
"Ehm, sampaikan maafku ke Maya! Aku ... menyesal telah menuduhnya berbuat yang bukan-bukan saat terakhir kali kami bertemu," ujar Adam dengan sedikit keraguan.
Leo tertegun dengan kerendahan hati Adam. Dia tak menyangka Adam akan meminta maaf kepada Maya walaupun tidak secara langsung.
"Kau tak mengizinkan aku menemuinya langsung, bukan?" tambah Adam lagi.
Leo mengangguk pelan lalu berkata, "Sayang sekali, dia juga tak mau bertemu denganku. Sudah sepekan lamanya dia memboikotku. Mungkin dia masih marah karena aku mmebuatmu babak belur sepekan lalu." Leo menjawab dengan senyuman pasrah.
Adam yang tak percaya mendengar penuturan Leo segera berpamitan. Bagaimanapun juga, suasana akrab dengan Leo bukan hal yang menyenangkan untuk dinikmati.
"Semoga Sabrina dan bayi kalian segera pulih!" tambah Leo setelah Adam berpamitan. Dia pun melipat checknya dan memasukkan lagi ke kantong kemeja Adam. "Ini hadiahku untuk kelahiran bayi kalian. Bagaimanapun juga, aku dan Sabrina dulu bersahabat."
Namun, Adam menarik kembali kertas tersebut dan mengembalikan lagi kepada Leo sambil berkata dengan sangat lirih, "Bayi kami sudah pergi ke surga ...."
Hanya keheningan yang mewarnai suasana ruang meeting. Mata gelap Adam yang berkaca-kaca menatap Leo yang termangu mendengar jawaban mengejutkan dari Adam.
Refleks, tangan Leo pun terulur memeluk Adam. Berusaha memberikan dukungan lewat perbuatan. Sesuatu yang Leo tak sangka akan dia berikan kepada sosok yang dia tak sukai–Adam Wilson.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)
RomanceBacaan untuk pembaca dewasa. Anak kecil jangan baca. Tolong patuhi. Hanya untuk 18+. *** Adam menikahi Maya karena perjodohan kedua orang tua mereka. Dia terpaksa memperlakukan Maya dengan baik agar tidak kehilangan warisan. Namun, siapa yang sangka...