28. Keadilan

2.9K 126 0
                                    


Adam merasa sangat terluka. Mengapa sang ayah memperlakukan dia seperti anak buangan. Namun, dia ingat kata-kata sang ayah tentang uangnya. Bila ingin uang darinya, Adam harus menuruti kemauan sang ayah. Bila tidak, maka dia harus mencari uang sendiri.

"Sudahlah! Ayah hanya menepati janjinya untuk tidak memberiku sepeser pun dari hartanya." Adam menenangkan Sabrina yang terlihat sangat dendam.

Wajah Sabrina yang tersulut kemarahan memang membuat Adam khawatir. Takut akan terjadi hal yang buruk dengan kandungannya.

Dari luar, kehidupan Adam dan Sabrina mungkin terlihat baik-baik saja. Namun, sebenarnya, hari-hari mereka begitu berat. Sehari-hari, mereka menjalani semua pekerjaan kasar mereka di restoran dan pulang dalam keadaan sangat lelah.

Awalnya, Sabrina berusaha tabah menjalani. Namun, kehamilan memberatkannya. Apalagi saat dia memikirkan bayinya yang akan segera lahir. Pasti akan membutuhkan banyak biaya.

"Sabrina, aku tahu kamu khawatir akan kelahiran bayi kita nanti. Percayalah aku akan berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan kamu dan anak kita," ujar Adam sambil memeluk istrinya agar lebih tenang.

Namun, Sabrina tidak puas dengan jawaban Adam. "Dengan apa? Dengan gajimu sebagai pelayan restoran? Kau ini mantan CEO Wilson Group! Tapi mengapa hanya bisa diterima menjadi pelayan restoran? Tak bisakah kau melamar untuk setidaknya menjadi manajer di suatu perusahaan kelas menengah?"

Adam terdiam mendengar amukan Sabrina. Dia memang seharusnya bisa melamar di perusahaan kelas menengah bahkan kelas atas dengan pengalaman dan kemampuannya. Namun, mereka merasa takut merekrut Adam yang dibuang sendiri oleh ayahnya. Bahkan beberapa dari mereka takut bahwa Adam hanya berpura-pura untuk menyamar menjadi mata-mata di perusahaan mereka. Itulah sebabnya Adam hanya bisa diterima menjadi pekerja kasar untuk sementara waktu.

"Tenanglah. Ini hanya untuk sementara saja. Pasti akan ada perusahaan yang percaya padaku nanti." Adam berusaha meredam kepanikan Sabrina.

"Kau seharusnya tidak perlu terlalu sok hebat. Kau bahkan mengembalikan semua perhiasan emas dan berlian yang aku beli sebagai cadangan untuk kehidupan kita." Sabrina semakin meradang saat teringat bagaimana Adam mengembalikan semua barang berharga yang sengaja dia beli di saat-saat terakhir sebelum Tuan Paul mengusir Adam. Padahal, dia berencana memakai semua itu untuk cadangan kala mereka kesulitan ekonomi.

"Sabrina! Kau membelinya dengan unlimited black card fasilitas dari ayahku. Apa kau tak malu kalau ayahku mengetahuinya dan memintamu mengembalikan semua itu?" Adam menghardik Sabrina dengan suara yang tak dikeraskan agar istrinya tak merasa tersinggung. "Bila berniat untuk hidup mandiri, kita harus totalitas!"

Sabrina merasa terhina dengan pernyataan Adam yang seolah menuduhnya sebagai pencuri. Air mata pun menggenang di pelupuk mata Sabrina. "Aku melakukan semua itu demi kamu Adam! Demi kita! Dan kau malah menuduhku seperti itu!"

Sabrina beranjak dari tempat duduknya, berlari menuju ke kamar, dan membanting pintu dengan kasar. Dia menenggelamkan wajah ke bantal dan menangis sesenggukan. Dalam hati, dia merenungi keputusan untuk melepaskan kehidupan mewah demi hidup berdua bersama Adam.

Ada seberkas penyesalan yang membayang karena hidup miskin ternyata lebih berat dari yang Sabrina bayangkan. Mungkin, ketika masih single, hidup serba terbatas tak akan terlalu menyiksa. Dia bisa makan ramen instan, burger, kentang, dan makanan murah yang lain walaupun tidak terlalu bergizi. Namun, saat berbadan dua, dia ingin semua hal yang terbaik untuk anaknya. Sangat sedih hati Sabrina ketika dia tak bisa memenuhi makanan yang direkomendasikan oleh ahli kesehatan hanya karena harganya yang terlampau mahal.

Melihat kondisi Maya yang sekarang, Sabrina merasa adanya ketidakadilan yang terjadi. Maya dan anaknya mendapatkan semua kekayaan dari sang kakek. Namun, anaknya yang juga darah daging Tuan Paul tak mendapatkan apa pun.

"Aku harus melakukan sesuatu! Aku harus mendapatkan hak anak ini ...."

***

Sebagai orang nomor satu di Wilson Group, Maya sekarang menjadi cukup sibuk. Tentu saja, hal ini berpengaruh besar terhadap kesehatannya.

"Maya, apa tak sebaiknya kamu menyerahkan ini semua ke management specialist? Kau bisa menjalaninya sendiri setelah melahirkan nanti," saran Leo dengan ekspresi khawatir.

Menurut perawat yang dia tugaskan menjaga Maya, kondisi wanita yang sedang hamil empat bulan itu tidak terlalu bagus. Sakit kepala yang hebat sering menyerang dan tekanan darahnya beberapa kali melebihi batas normal.

"Leo, kau ini berlebihan. Aku sudah terbiasa dengan kesibukan seperti ini sejak sebelum menikah." Maya masih bersikeras untuk mengerjakan semua sendiri.

"Maya, tapi kondisimu tak memungkinkan untuk saat ini!" protes Leo dengan sungguh-sungguh. "Kondisi kehamilan kamu ber—"

Leo hampir kelepasan mengatakan kondisi Mya yang sebenarnya. Namun, Leo tiba-tiba teringat bahwa dia berencana untuk menyembunyikan hal ini dari Maya.

"Leo, apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

Leo tak menjawab. Dia menekankan tangan ke meja kerja Maya dan membuang muka ke tempat mana pun asalkan tidak menatap wanita berwajah pucat di hadapannya.

Maya pun terdiam melihat reaksi Leo yang akhir-akhir ini cukup aneh. Pria berambut pirang itu terlalu memperhatikan semua hal kecil yang Maya lakukan.

"Leo ...."

Pria yang dipanggil tak kunjung menoleh. Hal ini tentu saja membuat Maya semakin curiga. Dia berdiri dan mendekat ke Leo untuk menatap wajah sahabatnya.

Akhirnya, Leo pun menatap Maya dengan pasrah. Mungkin, ini waktu yang tepat untuk mengatakan ke Maya tentang kondisi yang sebenarnya.

Leo pun menelan ludah agar tenggorokannya tak kering. Dia kemudian membawa Maya kembali ke kursi kerjanya. Pria itu berlutut, menatap Maya dari bawah, dan berkata, "Maya, kamu mengalami pre-eklampsia yang cukup berat ...."

Leo pun dengan perlahan memberikan Maya pengertian seperti yang diberitahukan Dokter William padanya. Maya sangat terkejut dengan kenyataan ini. Dia tak menyangka gejala pusing hebat yang dia alami ternyata adalah gejala yang sangat berbahaya.

Air mata mengalir ke pipi Maya. Kebahagiaan menyambut bayi kembarnya seakan menguap begitu saja. Mengapa dia harus mengalami semua ini?

"Kau masih menginginkan mereka, bukan?" tanya Leo dengan bisikan yang lembut. Maya pun mengangguk perlahan tanpa suara.

"Karena itulah, kumohon agar kamu lebih memperhatikan kondisimu dan kandunganmu. Kehamilanmu tak sekuat yang kau kira," lanjut Leo dengan nada memohon yang sangat.

Maya mengangguk perlahan, tetapi air mata tetap saja lolos walaupun dia telah berusaha menahan. Dalam hati, Maya merasakan beratnya cobaan yang dia terima. Mengapa dia harus menanggung ini semua?

Saat isak-tangis Maya semakin menjadi, Leo pun tak kuasa menahan diri untuk tidak memeluk Maya. Bagaimanapun juga, saat ini Maya butuh dukungannya.

Maya pun menenggelamkan wajahnya ke dalam dada Leo, membuat kemeja putih yang rapi menjadi basah oleh air mata. Maya terus menerus terisak entah berapa lama. Leo pun dengan sabar mengelus punggung Maya untuk meringankan bebannya.

"Mengapa harus aku, Leo? Mengapa?"

Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang