20. Yang Diakui

2.2K 107 1
                                    

Keesokan harinya, Maya bangun sendirian, tidak mendapati ada jejak Adam pulang. Dia mendesah pelan. Sebaiknya dia fokus terhadap apa yang sedang dia hadapi saat ini.

Setelah menjalani rutinitas pagi, Maya segera menelepon pengacara untuk menyiapkan dokumen perceraian. Namun, betapa terkejutnya dia saat mendapati banyak pesan masuk yang menyatakan ucapan selamat atas kehamilannya.

Tentu saja Maya terkejut dengan hal ini. Tak hanya inbox, bahkan dia kebanjiran ucapan selamat di media sosial yang menyatakan kegembiraan atas kehamilannya. Siapa yang membocorkan rahasianya? Bukankah hanya Leo yang tahu? Tidak mungkin dokter yang memeriksanya melakukan hal ini, bukan?

Maya menelan ludah. Dia tak akan bisa menyembunyikan kehamilannya dari siapa pun sekarang. Apakah Adam akan melepaskannya setelah mengetahui kehamilannya? Ataukah bahkan Adam akan berubah dan berjanji untuk menjadi suami yang baik setelah mengetahui ini semua?

Gelisah membayangi Maya. Dia mengurungkan niat untuk menghubungi pengacara. Wanita itu menimbang ulang apa yang akan dia perbuat ke depan.

***

Pagi itu, Sabrina berangkat ke kantor dengan suka cita. Seolah seorang anak bangsawan yang memakai pakaian terbaik untuk berangkat ke pesta dansa demi mendapatkan calon suami idaman, Sabrina merasa calon bayi di kandungannya saat ini akan membantunya memperbaiki hubungan dengan Adam setelah pertengkaran mereka semalam.

Sabrina memang sengaja tak memberitahu Adam perihal kehamilannya lewat pesan atau telepon karena ingin mengabarkan secara langsung berita bahagia ini. Wanita muda itu sangat yakin, setelah ini Adam akan memperlakukannya bak seorang putri raja dan tak akan mempermasalahkan perbuatannya di masa lalu.

Sambil mengelus-elus perutnya penuh rasa syukur dan sayang, Sabrina memasuki pintu utama dengan senyuman paling indah yang pernah dia berikan kepada para kolega. Di luar dugaan, mereka semua membalas senyuman Sabrina dengan lebih baik lagi.

"Sabrina, aku yakin kamu juga sudah tahu juga kabarnya!"

"...."

"Istri Pak Adam hamil, bukan?"

Sabrina tentu sangat terkejut. Apakah Adam berubah pikiran dan mengumumkan pernikahan mereka kepada publik? Mengapa mendadak semua orang tahu akan kehamilannya?

"Kamu sekretaris pribadi Pak Adam, 'kan? Ayo, ceritakan sebanyak mungkin tentang kehamilan Bu Maya!"

Perlahan tapi pasti. Senyuman yang tadi merekah sempurna di wajah Sabrina pun berangsur-angsur menghilang, berganti dengan kesuraman penuh dendam. Jadi, yang dibicarakan orang-orang adalah kehamilan Maya? Bukan tentangnya?

Tangan Sabrina mengepal. Matanya menatap datar. Sabrina pun sadar, hidup sebagai istri sah dan istri gelap pastilah mempunyai perbedaan menyakitkan seperti ini. Yang satu diakui dan dipuja, yang lain dianggap pelacúr.

Pelan, tetapi cukup terdengar, Sabrina pun menjawab, "Aku datang ke kantor untuk bekerja, bukan bergosip."

Dengan perasaan yang hancur, Sabrina melangkah pergi meninggalkan para karyawan lain yang menatapnya dengan penuh keheranan. Apa salahnya bergosip tentang kabar bahagia atasan mereka?

***

Setelah pertengkarannya dengan Sabrina semalam, Adam tidak pulang ke tempat Sabrina atau pun ke tempat Maya. Dia ingin menyendiri dan menenangkan pikiran di hotel. Bagaimanapun juga, dia masih ada urusan penting untuk dipikirkan. Dia tak akan membiarkan masalah pribadi merusak urusan pekerjaan.

Sebagaimana Sabrina, begitu sampai di kantor, Adam dikejutkan dengan sambutan luar biasa dari para pegawai. Awalnya, dia mengira mereka akan mengomentari lebam-lebam di mukanya, tetapi mereka semua tak membahas hal yang dia khawatirkan. Mereka justru mengucapkan selamat atas kehamilan Maya. Tentu saja, Adam sangat terheran karena dia sendiri bahkan tak tahu bahwa Maya saat ini sedang hamil.

Adam bergegas masuk ke ruangan tanpa menghiraukan kehadiran Sabrina yang menunggunya dengan penuh harap di meja sekretaris. Wanita itu cemas dan panik karena dari tadi pagi semua karyawan membicarakan kehamilan Maya.

Sesampai di ruangan, Adam segera menelepon Maya. Namun, Maya tak bersedia mengangkat panggilan darinya. Hal ini membuat Adam semakin resah. Apa yang sebenarnya sedang Maya lakukan? Mengapa semua orang tahu, sedangkan dia tidak?

Adam tak menyerah. Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum meeting. Dia terus menelepon Maya sampai istrinya itu menjelaskan apa yang terjadi.

"Halo ...." Akhirnya, Maya bersedia mengangkat telepon.

"Maya! Apa yang dikatakan orang-orang benar? Apa kau hamil? Mengapa tak memberitahuku?" Adam memberondong Maya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Membuat Maya mendesah pelan karena menyesalkan semua ini harus dibicarakan lewat telepon.

"Pulanglah dan aku akan menjawab pertanyaanmu!" jawab Maya dengan nada tak ramah. Tentu saja perubahan Maya membuat Adam cukup heran.

"Aku butuh jawabannya sekarang, Maya! Aku tak ingin merasa bodoh dengan ucapan selamat dari semua karyawan bahwa kau hamil sedangkan aku bahkan tidak tahu menahu tentang ini semua!" Adam tak mau kalah. Dia bersikeras memaksa Maya untuk menjelaskan semuanya sekarang.

Maya mengembuskan napas panjang. Lalu berkata, "Bisakah kau jelaskan padaku, apa yang kau lakukan di kantor kemarin petang saat semua karyawan telah pulang?"

"Aku lembur semalam! Aku sudah bilang kalau bulan ini aku si—"

"Lembur ditemani seorang wanita dan menanamkan benihmu di rahimnya?" potong Maya singkat lalu memutus sambungan telepon dan mematikan ponselnya.

Adam tercenung. Apa yang Maya katakan? Dia teringat kembali kejadian kemarin petang. Dia memang melakukan hal itu dengan Sabrina di kantor. Namun, saat itu tak ada yang melihat mereka, bukan? Elena dan yang lain sudah dia pastikan pulang.

Bekas memar di wajah Adam akibat pukulan Leo semalam belum sembuh. Bahkan kini semakin terasa sakit dan berdenyut-denyut. Perasaannya tak enak. Bila Maya tahu semua yang terjadi antara dia dengan Sabrina, apa yang akan wanita itu lakukan? Apakah dia akan mengadu kepada ayahnya?

Hal paling logis, tentunya adalah perceraian. Namun, Adam tak bisa membiarkan itu semua terjadi. Maya sedang hamil. Rencananya tinggal sedikit lagi akan berhasil. Tak boleh gagal. Dia harus bisa membujuk Maya untuk tetap bertahan dengannya.

Adam bertekad untuk pulang setelah meeting selesai. Dia harus mencegah Maya melakukan tindakan bodoh yang akan merusak semua rencananya.

Waktu meeting tinggal lima menit lagi. Adam pun segera mengemasi semua dokumen dan perlengkapan meeting. Dia bergegas menuju ruang meeting. Lagi-lagi dia tak mengacuhkan Sabrina yang ingin mengatakan sesuatu padanya.

Tepas saat Adam membuka pintu ruangan, ternyata tak ada seorang pun di sana. "Apa-apaan ini?"

Adam lalu melihat Elena tergopoh-gopoh berlari ke arahnya dan melaporkan, "Maaf, Pak! Meeting mendadak dibatalkan lima menit yang lalu. Dan sekarang Tu—"

"Siapa yang berani membatalkan jadwal tanpa memberitahuku?" Adam menggebrak meja dan membanting tumpukan file yang telah dia siapkan semalam.

Elena gemetaran, hendak menjawab pertanyaan atasannya, tetapi terhenti saat pintu ruangan terbuka. Semua pun menoleh secara refleks ke arah pintu dan mendapati seorang pria paruh baya dan pria muda yang lebih jangkung berambut pirang memasuki ruangan.

"Aku yang membatalkan meeting," ucap pria paruh baya yang tak lain adalah Tuan Paul sendiri.

Adam terkejut setengah mati. Namun, yang lebih mengejutkan adalah, pria yang kini berdiri menjulang di samping ayahnya. Rambut pirang dan Mata hijaunya tak bisa Adam lupakan.

Bagaimana bisa dia melupakan pria yang dengan sadis memukulinya semalam? Pria itu saat ini sedang tersenyum sinis seolah menertawakan nasib Adam.

"Oh ya, perkenalkan! Dia Leonardo Warren. Putra bungsu keluarga Warren yang akan menjadi wakil Warren Group untuk membicarakan kerjasamanya dengan kita kali ini." Tuan Paul mengambil tempat duduk mempersilakan Leo untuk duduk. Kemudian, pria itu mengambil tempat duduknya sendiri.

"Oh, Elena! Tolong panggilkan aku ... eh, siapa?" Tuan Paul memalingkan pandangan ke Leo untuk menanyakan nama seseorang.

"Sabrina. Tolong panggilkan kami Sabrina!"

Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang