22. Antara Logika dan Perasaan

2.1K 85 1
                                    

"Beraninya kamu!" Maya membentak murka. Tega sekali Adam mengancamnya dengan menggunakan calon bayi tak bersalah yang ada di kandungannya.

"Aku memiliki pekerjaan dan latar ekonomi yang baik. Tak seperti dirimu yang pasti akan jadi pengangguran dan miskin. Siapa pula yang hendak mempekerjakan wanita hamil?" ucap Adam seraya menelan ludah.

Maya tak menyangka, Adam menyerang titik kelemahan yang paling membuatnya tak bisa berkutik. Dia pun terdiam seribu bahasa, memikirkan ancaman Adam dan cara membalasnya.

"Namun, kalau kau bekerja sama dengan baik, aku akan memberikan hak asuh anak itu sepenuhnya padamu dan memberikan tunjangan bulanan yang sangat cukup untukmu dan anak itu hidup. Kau tak perlu bekerja, tinggal menikmati waktu bersama anakmu." Suara Adam terdengar dingin di telinga Maya. Tentu saja itu tawaran yang menggiurkan baginya.

Maya tahu, Adam pasti tak terlalu menginginkan anak mereka. Lelaki memang begitu, bukan? Namun, dia sebagai ibu, akan tetap menyayangi anak yang dia kandung tanpa peduli siapa ayah dari anaknya.

Maya bergeming, tak tahu cara melawan Adam saat ini karena posisinya sangat lemah. Dia sebatang kara dan miskin. Tak akan bisa melawan Adam yang kaya raya.

Mengetahui kemenangannya, Adam pun mengambil surat cerai dan merobeknya menjadi serpihan kecil, menghujani Maya yang terduduk mematung. Tersenyum penuh kemenangan, dia melangkah keluar rumah.

Urusan dengan Maya telah beres. Sekarang dia tinggal menemui Sabrina. Pikiran dan batin Adam benar-benar lelah menghadapi Maya. Semoga saja, Sabrina lebih mudah dikendalikan.

Adam menelepon Sabrina. Kali ini, istri pertamanya itu mengangkat panggilan. Beruntung, Sabrina sudah berada di apartemen. Mungkin, pengalaman tak menyenangkan hari ini membuatnya malas untuk kembali ke kantor.

Sesampai di tempat Sabrina, Adam segera disambut dengan pelukan erat sang kekasih. "Adam, syukurlah ... kupikir kamu tidak akan mau menemuiku lagi. Dengarkan aku, aku hanya milik kamu, Adam. Jangan hiraukan perkataan orang lain!"

Mendapatkan pernyataan seperti itu, Adam hanya tersenyum simpul. Dia mengelus punggung Sabrina dan berbisik, "Ayo kita bicarakan hal yang lebih penting. Duduklah!"

Keseriusan Adam dalam pelan suaranya membuat Sabrina merinding. Ini mungkin bukan diskusi yang menyenangkan untuk dilangsungkan. Akankah ini semua berkaitan dengan hal yang tak dia inginkan?

Sabrina menelan ludah. Namun, dia menuruti Adam dan mengikutinya duduk di sofa ruang tengah. Sabrina masih bergelayut di lengan Adam tak mau lepas. Dia benar-benar takut bahwa kali ini Adam terpojok dan akan membuangnya.

"Sayang, ayah memintaku ... untuk mengambil keputusan secepatnya." Mata Adam menatap Sabrina lekat, mengamati setiap reaksinya. "Bila aku masih menginginkan warisan dari ayah, aku harus meninggalkanmu."

Walaupun sudah menduga sebelumnya, tetapi air mata tetap saja menggenang di pelupuk. Tinggal menunggu waktu saja, air mata sudah pasti mengaliri pipi mulusnya. "Kamu pilih aku, bukan? Aku prioritas kamu, bukan?"

"Sabrina, dengarkan aku dulu ...."

"Aku tidak akan mendengarkan penolakan! Kau harus menepati janji!"

Telapak tangan Adam menangkup kedua pipi Sabrina. Dihadapkannya wajah wanita itu ke wajahnya agar mereka saling menatap lekat. "Sabrina! Rencana kita akan tetap sama, hanya ada sedikit perubahan saja."

Adam berhenti sejenak, memberi waktu untuk Sabrina agar menenangkan diri terlebih dahulu karena penjelasan Adam berikutnya bukanlah sesuatu yang bisa didengarkan saat hati dan pikiran sempit. Setelah napas Sabrina mulai terdengar teratur dan kepanikan berangsur memudar dari wajahnya, Adam membuka mulutnya lagi.

"Aku sudah membicarakan hal ini dengan Maya. Dia setuju untuk tidak menceraikanku sekarang juga. Sebagai imbalan, aku akan memberikan hak asuh anak padanya, serta tunjangan bulanan yang cukup besar seumur hidup. Kami berdua akan berpura-pura tetap menjadi keluarga harmonis sampai ayah wafat. Sementara itu ...."

Tiba-tiba saja, lidah Adam terasa kelu. Dia tak menyangka akan seberat ini mengatakan pada Sabrina mengenai rencananya. Adam kembali mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk mengungkapkan isi pikirannya. "Sementara itu, kita tidak akan berhubungan dulu ag—"

"Tidak! Kamu bohong!" raung Sabrina memutus penjelasan Adam. "Kamu bilang akan memilihku di atas semuanya? Berapa tahun rencana ini akan berlangsung? Aku tidak bisa!"

"Sabrina! Dengarkan ak—"

"Aku hamil, Adam!" seru Sabrina lagi. Dia beranjak dari sofa untuk menekankan betapa dia sangat menentang rencana Adam. Tangannya mengelus perut seraya berkata, "Aku hamil anakmu!"

Tentu saja, Adam sangat terkejut mendengar kabar ini. Di hari yang sama, dia mendapatkan berita bahwa kedua istrinya hamil.

"Anakmu ada di rahimku! Apa aku harus menjalani kehamilan ini sendirian? Apa kamu akan membiarkan anak ini lahir tanpa mengenal wajah ayahnya?" Sabrina tak mau menerima keputusan Adam. Sangat berat baginya bila terpaksa harus menjadi orang tua tunggal hanya karena obsesi Adam terhadap warisan ayahnya.

Riasan Sabrina pun tampak rusak karena air mata yang semakin deras. Wajah cantiknya terlihat sangat kacau saat ini. Namun, Adam tahu pasti bahwa perasaan Sabrina kini jauh lebih kacau daripada penampilannya.

"Hanya sampai di situ sajakah cintamu padaku, Adam? Tidak bisakah kamu mengabaikan harta ayahmu dan memperjuangkan cinta kita?" Perkataan Sabrina terdengar hanya seperti gumaman tak jelas. Akan tetapi, semua itu sangat terang bagi Adam. Terbukti jelas karena saat ini batin pria itu seakan tertampar dengan pernyataan Sabrina.

Saat ini, perasaan Adam tak menentu. Berbeda sekali dengan saat dia mengetahui kehamilan Maya. Kehamilan Sabrina memberikan sensasi lain di hati Adam. Bagaimanapun juga, anaknya dan anak Sabrina adalah buah cinta mereka. Tentu rasanya tak akan sama dengan anak Maya yang memang Adam niatkan sebagai alat untuk meraih harta ayahnya.

Tangisan Sabrina benar-benar menyayat hati Adam. Dia tak mungkin tega membayangkan Sabrina dalam keadaan hamil, berjuang sendiri menghadapi beratnya kehidupan. Walaupun masalah finansial akan dengan mudah dia atasi dengan memberikan sokongan dana secara rahasia, tetapi kehamilan dan membesarkan anak membutuhkan dukungan moril dalam porsi yang sangat besar.

Sabrina tiba-tiba berlutut, memeluk kaki Adam. Wanita itu benar-benar memohon untuk tidak dilepaskan walau hanya sementara. "Adam .... Lupakanlah ambisimu! Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku rela hidup miskin bersamamu, Sayang!"

Adam yang tak tega melihat reaksi Sabrina, turut berlutut agar keduanya bisa sejajar. Pria itu hanya bisa memeluk istri pertamanya dengan tatapan kosong penuh keraguan.

Sungguh, bagi orang luar yang mendengar, permintaan Sabrina akan terdengar romantis bila Adam mau menurutinya. Namun, selama ini, Adam tak pernah menjalani hidup sebagai orang miskin. Mampukah dia bertahan? Mampukah dia bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarganya nanti?

Adam sangat pesimis akan hal itu. Lagi pula, dia sangsi akan kesanggupan Sabrina. Mungkin, di panti asuhan dulu dia pernah hidup miskin. Akan tetapi, sejak mereka bertemu, Adam selalu memberi dukungan finansial kepada Sabrina. Bahkan sebelum mereka berdua berpacaran.

Kerumitan ini membuat Adam kebingungan setengah mati. Apa yang harus dia lakukan? Sementara, waktu terus berjalan. Keputusan harus segera dia ambil.

Logika ataukah perasaan? Manakah yang harus dia utamakan?

Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang