Maya berjalan menyusuri jalanan asing yang dia sendiri tak tahu jalan ini akan membawanya ke mana. Namun, karena suasananya semakin sepi dan mencurigakan, Maya memutuskan untuk kembali ke jalan semula.
Memandangi sekeliling, wanita berbadan langsing itu menelan ludah. Hanya sunyi dan senyap yang mewarnai suasana di sekitarnya. Pertokoan yang tutup dan banyak coretan grafis memakai cat semprot hasil karya seniman jalanan liar membuat Maya sangat yakin bahwa tempat ini seharusnya tak dia lalui.
Matahari sudah hampir tenggelam. Sebentar lagi, hari mulai gelap. Bila dia tidak segera menemukan jalan pulang, tentu liburan ini akan berubah menjadi bencana.
"Ya, Tuhan! Mana mungkin aku masih bisa menyebut diri sebagai sekretaris lagi?" ratap Maya mengutuk kebodohannya sendiri.
Ini semua hanya karena hal sepele. Dia tidak ingat nama hotel tempatnya menginap. Karena bukan dia yang mengatur ini semua, Maya lupa mengingat semua detailnya.
Masalah bertambah tatkala dia memakai terlalu banyak uang tunai dan lupa membawa kartu kredit. Membeli banyak susu dan biskuit di minimarket benar-benar di luar rencana. Apalagi, sebelumnya dia telah memakai uang cukup banyak untuk membeli sepasang kalung perak yang cukup menguras uang di dompetnya. Seandainya saja dia memiliki cukup banyak uang tunai, dia bisa berkeliling memakai taksi agar kakinya tak pegal melangkah untuk mencari jalan pulang.
Maya terus berjalan kembali ke tempat semula dia berada dengan hati bergemuruh. Mengapa kemampuan membaca arahnya sangat buruk? Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Dia berdoa dalam hati agar Tuhan tetap menjaganya dalam keadaan seburuk apa pun. Semoga saja keadaannya tak lebih buruk dari saat ini.
Tanpa disadari, dua orang pria mengamati Maya dari belakang. Sejak tadi, mereka memang mengincar turis berambut gelap yang membeli banyak makanan untuk dibagikan kepada anak jalanan yang mereka peralat untuk mengemis dalam jumlah yang sangat banyak. Wanita yang sangat kaya! Hanya itu yang ada di pikiran kedua preman tersebut. Mereka pun bermaksud melakukan hal buruk kepada Maya sebagaimana sering mereka melakukannya kepada banyak turis yang berhasil jatuh ke dalam perangkap.
Sebenarnya, Maya tersesat bukan hanya karena keteledoran semata. Kedua pria tersebut mengubah petunjuk arah nama jalan yang Maya ingat. Arah yang tadinya ke kanan, justru dibalik ke kiri. Papan peringatan daerah berbahaya yang sengaja ditulis dalam Bahasa Inggris pun mereka ambil sehingga Maya tak membacanya.
Kedua pria tersebut saling memandang dan memberi kode satu sama lain bahwa inilah saat yang tepat untuk mengeksekusi rencana mereka. Keduanya mengangguk bersama. Lalu salah satu dari mereka yang botak berseru, "Nona, apakah Anda butuh bantuan?"
"Tersesat, ya? Kami antar, yuk?" timpal yang si tambun.
Hati Maya mencelos. Dia menoleh ke belakang untuk mengetahui siapa yang sedang berbicara dengannya. Ternyata, dua pria berpenampilan lusuh dengan banyak tato di badan serta bekas luka di wajah dan bagian kulit yang terbuka, memberikan informasi singkat tentang identitas mereka. Yang botak tampak tersenyum kurang ajar. Yang tambun tampak mengerikan.
Maya menelan ludah. Dia tahu, saat ini adalah saat yang tepat untuk kabur. Kedua pria yang menyapanya sudah bisa dipastikan bukan orang baik. Karena itulah, dia tidak menjawab pertanyaan keduanya dan langsung lari sekuat tenaga tanpa menoleh lagi ke belakang.
Sayangnya, kecepatan lari Maya tidak didukung dengan sepatu flat berkulit lunak yang dia kenakan. Kakinya sudah terasa sakit hanya setelah berlari beberapa detik saja. Keberuntungan tampaknya belum menghampiri wanita itu. Kini sepatunya bahkan sobek terantuk batu, membuat jemarinya mencuat dan mengeluarkan darah.
Namun, Maya tak mempedulikan sakit di kaki. Wanita itu terus berlari demi keselamatan diri. Biarlah badannya sedikit terluka. Asalkan dia selamat dan bisa kembali ke hotel tanpa harus kehilangan hal yang paling berharga. Kehormatan!
"Ya, Tuhan! Tolong aku!" seru Maya dalam doa.
Wajah wanita malang itu seperti melihat hantu, kulitnya memerah serta berkeringat, tetapi bibirnya sangat kering sehingga dia berkali-kali menjilatinya agar basah. Sayang, lidahnya pun kering.
Napas Maya terengah-engah. Rasanya dia sudah tak sanggup lagi berlari. Kakinya juga sangat sakit karena luka di jemari makin terbuka lebar. Meski demikian, Maya tetap memaksakan kaki yang sudah tak sanggup menahan derita untuk berlari lebih cepat.
Maya menoleh ke belakang untuk mengecek keberadaan pengejarnya. Sayang, dia justru tersandung batu dan terjatuh karena pandangan mata yang sempat teralihkan. Berakhir sudah perjuangan Maya. Lutut dan siku yang kini terluka dan mengucurkan darah segar sudah tak mungkin berkompromi.
Kedua penjahat yang mengejar Maya pun tertawa puas. "Sudah berakhir perjuangan kamu, Manis?" olok si botak.
"Aku kira kita akan lebih lama lagi bermain kejar-kejaran," ejek si tambun. "Syukurlah, napasku sudah hampir habis."
Si tambun kemudian mendekati wanita di hadapannya yang kini sudah berwajah seputih kertas. Dia memperhatikan wanita yang tubuhnya kini penuh luka. Jumpsuit putihnya sudah tidak lagi putih. Tanah dan darah telah mewarnainya dengan dramatis.
"Dompet!" tangan si tambun terulur.
Maya tak punya pilihan selain menurut. Kemudian dia menyerahkan semua uang di dompet yang jumlahnya hanya bisa dipakai untuk membeli dua porsi makanan murah.
Terang saja, si tambun tidak terima. "Masa hanya segini!" Dia melempar uang tersebut ke badan Maya dan merenggut dagu Maya sambil memperhatikan. "Perhiasan kamu bukan perhiasan emas! Sia—"
"Tenang, Bro! Lihatlah baik-baik!" ujar si botak sambil menunjukkan jari manis kanannya. Kedua alis si botak terangkat. Matanya memutar, menunjuk ke arah tangan Maya.
Si tambun mengernyitkan dahi. Namun, tak lama, dia mengerti apa yang dimaksud oleh rekannya. Seringai jahat yang tersemat di wajahnya, menampakkan gigi-gigi kuning dan hitam yang berlubang. "Cincin berlian! Hahahaha."
Si tambun mengangkat tangan Maya dan mengambil paksa cincinnya. Namun, Maya menolak dan melawan. "Jangan! Itu cincin pernikahan saya! Jangan ambil!"
Si tambun yang tak sabar, memukul Maya tepat di wajahnya. "Kau mau nyawamu atau cincin ini?" bentaknya.
Si tambun lagi-lagi menarik paksa tangan Maya. Namun, Maya lagi-lagi meronta dan menggigit si tambun. Si tambun berontak dan memukul Maya lagi. Maya bertahan walaupun sangat menyakitkan. Dia tidak membiarkan si tambun melepas cincin pernikahannya. Dia menendang sisi vital si tambun sekeras mungkin agar terlepas dari cengkeramannya.
Si botak kemudian membantu rekannya untuk menangani Maya. Maya berteriak minta tolong. Namun, si botak membungkamnya hingga teriakan Maya hanya terdengar seperti gumaman yang tidak jelas.
"Karena kau tak menurut, tak hanya cincin ini saja yang akan kami ambil!" bentak si tambun dengan mata mendelik tajam. Dia tampak masih kesakitan akibat serangan Maya sebelumnya. "Rasakan pembalasanku!"
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maya. Tak mungkin lagi ada orang yang akan menolongnya di saat seperti ini. Sebentar lagi dia akan kehilangan miliknya yang sangat berharga. Saat Maya merasa harapan sudah musnah, tiba-tiba ada suara seorang pria berseru.
"Hentikan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)
RomanceBacaan untuk pembaca dewasa. Anak kecil jangan baca. Tolong patuhi. Hanya untuk 18+. *** Adam menikahi Maya karena perjodohan kedua orang tua mereka. Dia terpaksa memperlakukan Maya dengan baik agar tidak kehilangan warisan. Namun, siapa yang sangka...