22. Adam vs Maya

2.7K 106 0
                                    

Adam tak ingin membuang waktu lagi. Ayahnya sangat ketat soal deadline. Namun, Adam bingung. Siapakah yang akan dia temui terlebih dahulu untuk diajak bernegosiasi. Maya ataukah Sabrina?

Bila ingin menentukan pilihan, Adam harus menentukan prioritas terlebih dahulu. Memilih Maya, berarti mendapatkan hartanya dan meninggalkan Sabrina. Ini sangatlah tidak Adam inginkan.

Sedangkan memilih Sabrina, dia pasti akan bahagia karena cintanya dan Sabrina tak akan ada lagi yang menghalangi. Sabrina pasti akan menyukai hal ini juga. Namun, bagaimana dengan kehidupan mereka selanjutnya? Akan bekerja seperti apa dia nanti bila sang ayah tak memberi bantuan sedikit pun? Bahkan dia tak mungkin bisa melamar CEO di perusahaan lain, bukan?

Hati Adam dipenuhi kebimbangan. Tak adakah cara untuk mendapatkan keduanya? Tak adakah yang bisa dia lakukan untuk mengatasi krisis ini? Hatinya tak sanggup melepaskan harta maupun Sabrina. Dia tak ingin hidup miskin dengan Sabrina. Dia begitu cantik di mata Adam. Jangan sampai Sabrina mengenakan pakaian orang miskin seperti saat awal mereka bertemu dulu.

Sisi gelap Adam pun berbisik. Dia bisa berpisah dengan salah satu untuk sementara waktu, bukan? Bagaimana kalau dia menceraikan dan menjauhi Sabrina dalam waktu beberapa tahun ke depan? Tentu saja hal ini harus bisa dia rundingkan baik-baik dengan Sabrina agar dia tidak salah paham dan pergi meninggalkannya untuk mencari pria lain.

Adam kemudian menelepon Sabrina. Namun, wanita itu tidak menjawab panggilan. Kemudian, Adam beralih ke Elena, "Tolong panggilkan Sabrina ke ruangan saya!"

"Eh, tapi Sabrina keluar kantor, Pak. Katanya ada urusan mendadak. Nanti kalau kembali, saya akan minta dia langsung menemui Bapak."

Hah, ke mana wanita itu pergi di saat genting seperti ini? Mereka memang bertengkar semalam. Namun, bukan berarti mereka berdua berpisah, bukan?

Karena itulah, akhirnya Adam pulang untuk menemui Maya terlebih dahulu. Tak ada waktu lagi. Dia tak bisa menunggu atau mencari keberadaan Sabrina saat ini. Pembicaraan dengan Sabrina masih bisa diundur. Namun, tidak demikian dengan Maya dan ayahnya.

Saat Adam sampai di rumah, Maya tengah memandangi segepok kertas. Saat Adam mengetahui apa yang ada di genggaman istrinya, dia menelan ludah. Ternyata, Maya memang serius berniat untuk meminta cerai.

"Maya, tolong pertimbangkan sekali lagi," ujar Adam bingung karena tak tahu pasti apa yang ada di benak Maya saat ini. Wanita baik dan penurut yang biasanya tersenyum manis di hadapannya, kini tidak menampakkan tanda-tanda kejinakan sedikit pun. "Kamu sedang ham—"

"Apa lagi yang harus dipertimbangkan, Adam? Aku melihat sendiri, dirimu melakukannya dengan pelacúr itu di sofa kantor ...." Air mata kembali menggenang di mata Maya. Bayangan buruk semalam membayang kembali di matanya.

Mendengar sumpah serapah yang ditujukan untuk Sabrina, hati Adam memanas. Tangannya terangkat hampir memukul Maya. Andai saja dia tak ingat apa tujuannya datang menemui istrinya, pastilah tamparan keras telah mendarat di muka sang istri.

"Jaga mulutmu, Maya!" Tangan Adam kini mengepal menahan amarah agar tak melampiaskan kemarahannya ke Maya.

"Mengapa kamu ragu? Pukul saja aku, Adam! Pukul yang keras!" Maya menyodorkan wajahnya yang kini penuh air mata ke muka Adam. Matanya menatap Adam dengan tajam. "Sungguh! Itu tak akan menyakitiku. Bagiku, mulut manis dan kebohonganmu jauh lebih menyakitkan daripada apa pun di dunia ini!"

Tangis Maya semakin pecah menyayat. Hidung dan wajahnya memerah sembap. Kilatan adegan yang dia saksikan semalam memenuhi benaknya lagi. Ucapan cinta Adam dan wanita itu menggema keras di telinga Maya.

Maya menggeleng sambil memejamkan mata. Mencoba menghapus pemandangan traumatis yang sangat sulit dia hapuskan. Hatinya serasa tersayat, pedih, dan berdarah-darah.

"Maya, maafkan aku .... Aku ...."

"Aku tahu kau mencintainya! Dia satu-satunya bagimu, 'kan?"

Adam mencoba memeluk Maya untuk menenangkannya. Namun, tubuh langsing Maya yang rapuh berusaha menolak. Adam pun tak memaksa Maya untuk menerima pelukannya. Dia mengerti, pasti sangat menyakitkan bagi Maya melihat dirinya melakukan itu dengan Sabrina.

"Maya, dia cinta pertamaku. Kami sudah menjalin hubungan sejak masih di sekolah menengah. Kondisi begitu sulit karena kita berdua telah dijodohkan sejak kecil. Ayah tak mau menerima orang lain sebagai menantu ...." Adam menatap Maya dengan pandangan pasrah. Dia tahu Maya wanita yang lembut dan pengasih. Adam berharap, Maya memaklumi perbuatannya.

"Lalu mengapa kamu memilih menikahiku Adam? Mengapa? Itu hanya akan menyakitiku." Maya berhenti, dia tak mau mengakui sebuah bayangan yang ada di benaknya. Akan tetapi, dia yakin bahwa yang dia pikirkan adalah benar. "Dan aku yakin, dia juga tersakiti ...."

Adam tertegun mendengar penuturan Maya. Dia tak menyangka, Maya masih mempertimbangkan perasaan Sabrina sementara hatinya sangatlah hancur. Hal ini membuat rasa bersalah Adam tumbuh tanpa diminta.

"Maya, aku tak bermaksud menyakiti kamu. Aku memang berniat menikahi kamu selama ayah masih ada. Nantinya, saat kita bercerai, aku akan memberimu alimoni yang pantas untuk kamu. Kau bisa meng—"

"Serendah itukah pikiran kamu ke aku, Adam? Apa kau pikir aku hanya mau uangmu? Keluargaku memang bukan keluarga kaya seperti kamu. Tapi kami punya harga diri!" Perasaan Maya semakin terluka dengan kejujuran Adam yang lain. Air matanya semakin deras. Kakinya tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya. Maya pun jatuh berlutut ke lantai berkarpet bulu putih bersih.

"Ceraikan aku Adam. Sekarang! Jangan buat perasaanku lebih sakit lagi." Maya terus terisak, kedua telapak tangannya menutupi wajah yang kini sangat sembap.

Adam pun berpikir keras. Dia tak boleh kehilangan Maya saat ini juga. Walaupun mereka tak bisa menjalani ini dengan cinta palsu seperti dulu lagi, setidaknya harus ada kerja sama saling menguntungkan yang bisa mereka jalin. Sayangnya, uang bukanlah yang Maya inginkan.

Sambil memijat pelipisnya, Adam memikirkan cara lain untuk membujuk Maya. Mungkin, bila perlu, dia akan menggunakan ancaman. "Maya, kau tahu, 'kan, kalau kondisi kesehatan ayahku buruk. Jadi ... kumohon bertahanlah bersamaku. Jangan membuat beliau sedih dan menurun kesehatannya. Aku berjanji! Aku akan memutuskan hubungan dengan Sabrina."

Maya bergidik mendengar nama Sabrina disebut. Dia menatap Adam tak percaya. "Jangan harap aku akan percaya kau bisa meninggalkan wanita itu!" Maya tertawa sinis mengejek Adam. Dia bukan anak kemarin sore. Bila mereka saling mencintai, tak mungkin akan semudah itu berpisah.

"Tak kusangka kau ingin menggunakan Paman Paul untuk kepentinmu. Jangan khawatir! Aku akan membantumu menjelaskan semua ini kepada ayahmu. Kita tak perlu menunda perceraian ini!" Maya membulatkan tekad untuk menceraikan Adam.

Dia sudah tak mau lagi berlama-lama terjebak dalam pernikahan palsu ini. Walaupun Maya sangat menyayangi dan menghormati Tuan Paul dan tak ingin membuatnya sedih, dia yakin akan bisa menjelaskan duduk perkara ini kepada mertuanya dengan baik.

Adam semakin cemas. Mengapa sulit sekali meyakinkan Maya? Namun, dia tak akan dengan bodohnya membuka kartu kelemahannya kepada Maya. Tak akan dia katakan bahwa bila mereka sampai bercerai, harta warisannya akan jatuh ke tangan Maya dan bayi yang dia kandung. Adam takut, Maya akan memanfaatkan keadaan itu dan mempercepat perceraian mereka.

Tiba-tiba, suatu ide melintas di benak Adam. Ide yang mungkin cukup jahat. Namun, Adam tak punya cara lain. Maya sangat sulit dibujuk.

Dengan tatapan datar, Adam berkata, "Kalau kau memaksa kita bercerai, akan kupastikan bahwa hak asuh anak kita akan jatuh kepadaku!"

Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang