33. Darah Lebih Kental daripada Air

4.5K 145 0
                                    

Dapur kecil sebuah di sebuah apartemen mungil milik lelaki menawan berbadan atletis, kini dipenuhi dengan aroma butter yang menggoda. Tak hanya aroma makanan yang membuat air liur menetes, tapi ada pemandangan lain yang tak kalah menggiurkan. Celana training pria yang sedang beraksi di dapur tersebut menggantung terlalu rendah di bagian pinggang, membuat wanita mana pun yang memandang tak akan bisa melewati harinya tanpa merasa kepanasan karena terbayang pemandangan indah itu sepanjang hari.

Andai saja ada seorang wanita di sana, pasti kelima indranya akan dimanjakan dengan kenikmatan duniawi karena suara pria yang sedang memegang wajan dan tongs itu pun akan membuat hati semua kaum hawa berdesir bila sedang berbicara. Jangan tanya bagaimana sensasi yang dirasa bila suara merdu itu berbisik di telinga, sudah bisa dipastikan para bidadari dunia akan melayang walaupun tak ada sayap yang menempel di punggungnya.

Namun, di saat yang sama, siapa pun yang melihat wajah muram pria itu saat ini, pasti akan iba dan bertanya-tanya, apa sebab Adonis yang mempesona mata itu bersedih? Jawabannya tentu hanya satu. Dia mencemaskan kondisi sahabatnya yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit. Delapan hari tak bisa bersua membuatnya begitu cemas.

Pria bercambang tipis itu membalik French toast untuk sarapan paginya dengan cepat karena takut hangus. Tak lama, piringnya telah terisi oleh empat tumpuk toast harum dan lembap yang berpadu dengan lembut dan manisnya madu.

Tak lama, bibir beludru pria tampan itu segera beradu dengan potongan toast lembut. Walaupun terburu-buru, cara makannya yang anggun tetap menyejukkan mata yang memandang. Mungkin karena perpaduan sempurna antara hidung mancung, kumis dan cambang tipis, serta rahang tegasnya sudah terlampau indah untuk dipadukan dengan bibir beludrunya yang terbelah.

Ponsel pun berdering oleh panggilan masuk dari rumah sakit. Pria itu pun menjawab panggilan dengan sigap. "Halo .... Leonardo Warren di sini."

"Tuan Warren, Nona Maya beberapa kali mengigau dan memanggil nama Anda ...." Penjelasan perawat rumah sakit yang bicara di ujung telepon tak didengar lagi oleh Leo.

Dia pun segera berpakaian dan melajukan mobilnya ke rumah sakit. Tak akan menunda lagi walau sedetik pun. Perasaannya tentang kondisi Maya tak enak.

Benar saja, itulah yang dia hadapi sesampai di tempat tujuan. Dokter mengatakan bahwa kondisi Maya memburuk. Kesadarannya sering hilang karena komplikasi.

"Temuilah dia sekarang! Mungkin ada pesan darinya yang tak ingin kau lewatkan," ujar Dokter William dengan wajah yang sama sekali tidak santai.

Leo mendengar penjelasan dokter di hadapannya dalam artian lain–seolah hidup Maya tak akan lama lagi. Namun, memang itulah yang dimaksud Dokter William, menimbang keadaan Maya saat ini. Walaupun beliau tentu akan melakukan yang terbaik, tetapi adanya kemungkinan terburuk tetap saja tak bisa dipungkiri.

"Maya ...." Leo memasuki kamar rawat Maya dengan perasaan hancur. Dia sudah tak mengenali lagi sosok Maya yang kini di hadapannya. Begitu pucat dan rapuh. Bukan Maya yang lembut nan periang.

Bengkak di wajah dan kaki Maya terlihat sangat nyata. Membuat Leo tak tega memandang sosok wanita di hadapannya. "Maya, aku merindukanmu. Maafkan aku sudah membuatmu marah ...."

Maya menggeleng. "Aku hanya tak ingin kamu melihat wajah dan tubuhku yang hancur saat ini. Aku malu sekali."

Air mata yang sedari tadi menggenang di wajah Leo pun lolos satu per satu. Pria itu menggeleng sambil sesekali membasahi bibirnya. "Maya, tahukah kau bahwa aku akan lebih tenang bila bisa menemanimu setiap saat?"

"...."

"Maya, dengarkanlah kata dokter. Kau harus rela melepas kedua bayimu saat ini," bisik Leo dengan bibir gemetar.

"Tapi berat anak perempuanku tak lebih dari lima ratus gram," protes Maya kepada Leo.

Leo menggeleng. "Jangan keras kepala! Jadilah manusia yang optimis! Bukankah dokter bilang akan melakukan yang terbaik untukmu dan untuk mereka?"

Air mata pun menetes membasahi sarung bantal polos berwarna pink yang Maya tiduri. Dia tak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadap anak-anaknya. Namun, di sisi lain, dia juga ingin tetap hidup dan menimang mereka.

Leo kemudian teringat sesuatu tentang saat terakhir yang disebutkan oleh dokter. Dia kemudian memutuskan untuk melakukan sesuatu yang telah lama ingin dia lakukan. Diambilnya salah satu kalung perak pemberian Maya yang melingkari lehernya. Lalu, dengan tangan gemetar, dikalungkannya salah satu kalung itu ke Maya.

Aksi Leo tentu saja sangat mengagetkan Maya. Dia tak ingin menyalahpahami apa yang Leo lakukan. Namun, dia pun tak mengerti harus berbuat apa. Menolak, ataukah menerima?

"Kalau kau merasa hidupmu tak berharga, berikanlah padaku. Kau tak akan pernah tahu betapa hidupmu sangat berharga bagiku."

"Leo ...."

"Kalau kau tak mau hidup untuk dirimu sendiri, hiduplah untukku, Maya!" Leo menyatukan kedua telapak tangan Maya dan menggenggamnya lembut tetapi erat. "Hiduplah untukku ...."

"Leo .... Ak—"

Maya tak mampu melanjutkan perkataannya. Dia kesulitan bernapas. Leo yang panik segera berteriak memanggil dokter.

Pertolongan pertama segera dilakukan untuk membantu pernapasan Maya. Selanjutnya, dia dilarikan ke kamar operasi. Tim dokter akan segera melakukan C-section darurat.

Leo menunggu di luar dengan penuh harap. Hanya keajaiban yang mampu menyelamatkan Maya dan si kembar. Saat ini, Leo yang hampir putus asa bahkan berharap menjadi orang suci yang tak pernah mencicipi dosa agar doanya doanya dikabulkan Tuhan. Namun, dosa yang banyak pun tak bisa menghentikannya dari berdoa agar keajaiban tetap turun dari langit.

***

Sementara itu, Adam dengan sabar melayani Sabrina yang sudah kembali ke apartemen. Beberapa hari ini dia tak bekerja karena merawat Sabrina yang tengah membutuhkan dukungan dan perhatian. Dia hanya mengandalkan sisa uang asuransi yang tinggal setengah setelah dibayarkan untuk biaya perawatan Sabrina dan bayi mereka yang sempat bertahan tiga hari di ruang NICU.

"Kau tak bekerja?" tanya Sabrina kepada Adam tanpa ekspresi.

"Kau pulihlah dulu, Sayang! Baru aku akan kembali bekerja." Adam menjawab dengan senyuman yang dipaksakan.

"Aku mungkin tak akan pernah pulih, Adam!" seru Sabrina sambil menatap tajam sang suami. "Tak seperti dirimu yang pasti tetap tenang karena kau masih mempunyai bayi dari Maya, bukan?"

Tuduhan Sabrina beralasan dan wajar. Namun, Adam merasa sangat tersinggung karena selama ini bahkan perhatiannya ditujukan sepenuhnya hanya untuk Sabrina dan bayinya. Tak sedikit pun perhatian dan pikiran dia layangkan kepada Maya yang juga mengandung darah dagingnya.

Namun, Adam sadar. Sabrina melakukan hal ini hanya karena emosi. Dia sangat sedih karena kehilangan bayinya. Sabar adalah keharusan bagi Adam agar rumah tangga mereka tetap bertahan hingga maut memisahkan.

"Adam, apakah kau akan mengakui anak Maya sebagai anakmu?" Tiba-tiba saja Sabrina terusik dengan pikiran lain yang tak bisa dia biarkan berlalu. Dia ingin tahu seberapa besar cinta Adam padanya. Apakah akan berkurang dengan kepergian sang anak?

"Jawab aku, Adam! Apakah kau akan membiarkan anak Maya memanggilmu dengan sebutan ayah?" desak Sabrina sambil mengguncang lengan kanan Adam. Matanya menatap penuh harap bahwa Adam akan tetap memilihnya di atas darah daging Adam sendiri.

Namun, seharusnya Sabrina sadar bahwa darah lebih kental daripada air. Adam pun hanya bisa menjawab desakan Sabrina dengan kebisuan karena tak ingin lagi menjanjikan sesuatu yang dia tak yakin akan bisa menepati di masa depan.

Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang