24. Keputusan Adam

2.5K 131 0
                                    

Adam berjalan menuju sebuah ruang VVIP Ophelia Night Club, sebuah klub malam terkenal di kotanya. Di dalam, sudah menunggu sosok berambut pirang yang dia sangat kenal sebagai malapetaka. Bila dia muncul, malapetaka akan hadir dalam hidup Adam.

"Ah, Brother! Silakan duduk!" sambut Leo dengan suka cita. Dia lalu meminta semua wanita di sekitarnya untuk pergi karena Leo ingin berdua saja dengan Adam.

Adam tersenyum sinis mendapati dirinya dipanggil brother oleh Leo. Pria itu jelas-jelas tidak menyukainya. Mengapa masih harus berpura-pura?

"Ada urusan apa?" tanya Adam datar.

"Aku tak menyangka, kamu akan datang," jawab Leo dengan senyuman jenaka. "Kukira kau tak akan pernah mau datang."

"...."

"Aku hanya ingin memastikan bahwa kau akan memilih dengan benar kali ini," lanjut Leo dengan senyuman yang cukup manis. Lalu, senyuman manis itu perlahan menghilang dari wajahnya. "Tahukah kau, bahwa kedua istrimu sangat menderita karena kelakuanmu yang tidak tegas dan pengecut?"

"Itu bukan urusanmu!"

"Tahukah kamu bahwa Maya hampir meninggal saat tertembak oleh penjahat saat kau berbulan madu dengan Sabrina dengan dalih pekerjaan? Aku menghubungi kamu mati-matian tetapi tidak bisa. Entah mengapa. Tapi aku memastikan bahwa Sabrina mengetahui kabar tentang Maya." Leo menjelaskan panjang lebar dengan tatapan lekat ke mata Adam. Dia hanya ingin memastikan apakah Adam tahu atau tidak tentang hal ini.

Dari bahasa tubuh Adam, Leo tahu bahwa pria itu tak bersalah. Mungkin Sabrina yang menyembunyikan fakta tersebut dari suaminya.

Sedangkan Adam, dia mengenang kejadian saat itu. Dia teringat bagaimana Sabrina berbohong bahwa ponselnya terlempar dan hancur. Padahal, dari kerusakan fisik, jelas-jelas itu akibat dari ditindih dengan sengaja.

Adam menelan ludah, "Jadi, kamu menuduh Sabrina menyembunyikan kejadian itu? Bagaimana kamu yakin?"

Leo lalu menceritakan apa yang dikatakan Sabrina saat Adam sudah check out bersama Maya dari hotel. Betapa tercengangnya Adam mendapati bahwa Sabrina sampai-sampai mengharapkan kematian Maya.

Yang Adam tahu, Sabrina tidak mempunyai sisi segelap itu. Dia mungkin ekspresif, tetapi tidak akan berbuat sampai ingin menyakiti orang lain.

"Kemarin malam, saat Maya mendapati rahasiamu, dia hampir mati di jalan raya. Dia sengaja ingin membiarkan dirinya tertabrak truk. Karena itulah ...." Leo mengusap wajahnya agar tak meneteskan air mata. "Berhentilah, Adam! Kamu menyiksa mereka."

"...."

Adam baru menyadari bahwa tadi dia melihat luka-luka yang dibalut di sebagian tubuh Maya. Dia juga teringat bagaimana Sabrina mengetahui kenyataan bahwa Maya telah mengetahui hubungan gelap mereka tanpa terkejut sedikit pun. Mungkin, Sabrina sudah tahu lebih awal bahwa Maya memergoki mereka.

"Sadarkah kamu? Keadaan buruk ini membangkitkan sisi gelap dari kedua istrimu," ujar Leo datar tanpa mengalihkan pandangannya dari Adam yang membisu. "Sadarkah kamu, bahwa mereka berdualah yang berkorban untukmu? Untuk ambisimu ...."

Adam merenungkan semua perkataan Leo yang tak satu pun salah. Bila rencana kali ini dia lanjutkan, Sabrina dan Maya akan jauh lebih menderita lagi. Sementara dia, sangat jauh dari kata menderita.

Dia sendiri sangat marah bila tahu pria lain menyentuh Sabrina. Pastilah Sabrina dan Maya juga merasakan hal itu.

"Aku sangat paham, meninggalkan kondisimu yang penuh kemewahan sejak kecil sangatlah tak mudah. Namun, jadilah lelaki sejati! Bahagiakan Sabrina dengan uangmu sendiri. Aku yakin, bila Sabrina benar-benar mencintaimu, dia akan lebih menghargai hasil kerja kerasmu walaupun sedikit, daripada harus hidup menahan sakit hati dalam waktu yang tak ditentukan." Leo beranjak dari tempat duduknya. Dia menepuk pelan pundak kanan Adam dua kali, lalu meninggalkan calon ayah dari dua bayi itu merenungkan segala permasalahannya sendiri.

Leo benar. Masalah ini seharusnya tak akan berakhir parah bila dia berani keluar dari kenyamanan dan tak bergantung dengan harta warisan ayahnya. Uang ayahnya, adalah hasil kerja keras sang ayah sendiri. Beliau berhak menentukan apa yang akan dia lakukan dengan uang itu.

Lagi pula, Sabrina sudah memohon dengan sangat padanya agar mereka tetap bersama. Kekasihnya itu bersedia hidup miskin dengannya. Apalagi yang harus dia takutkan?

Dengan langkah gontai, Adam beranjak dari tempatnya, mengumpulkan kekuatan untuk segera menemui sang ayah yang pasti juga sudah menunggu keputusan darinya. Ketakutan akan ketidaknyamanan hidup miskin membayangi benak Adam. Namun, dia bertekad untuk melakukan ini semua demi kebahagiaannya dan Sabrina.

Mobil Adam berhenti di sebuah mansion luas di tepi pantai yang bangunannya didominasi oleh dinding kayu oak dan jendela kaca yang lebar. Rumah Tuan Paul, rumah masa kecil Adam memang terkesan romantis.

Adam memiliki mimpi untuk tinggal di rumah tersebut bersama Sabrina dan anak-anak mereka di masa depan. Namun, itu semua harus dia relakan karena situasinya sekarang sangat berbeda.

Hati Adam teriris saat membayangkan semua properti indah yang menyimpan kenangan masa kecilnya akan dikuasai oleh Maya. Akan tetapi, demi cinta, semua sakit hati tersebut harus dia tahan. Dia harus membulatkan tekad untuk bahagia dengan cara lain.

Adam membuka ruang kerja ayahnya dan mendapati sang ayah sedang memandangi foto mendiang istrinya. "Dulu, aku dan Freya menikah karena perjodohan. Cinta bersemi di hati kami setelah pernikahan. Kupikir, itu akan bisa kulakukan juga."

"...."

"Kau sudah mengambil keputusan yang menurutmu terbaik, 'kan?" tanya Tuan Paul. "Aku akan tetap dengan keputusanku. Sebagai gantinya, aku akan menghargai apa pun pilihanmu."

"Ayah, maafkan aku. Aku memilih untuk tetap bersama Sabrina," jawab Adam pelan.

"Okay, jadi kau akan bercerai dengan Maya dan tak akan mendapatkan sepeser pun dari uangku," ujar Tuan Paul datar sambil menatap wajah putranya.

Adam mengangguk lemah. Berat sekali baginya, tapi dia harus membulatkan tekad. Tak boleh goyah dengan alasan apa pun lagi. Sabrina dan calon bayi mereka di rahimnya telah menunggunya untuk menjadi pria pemberani. Dia akan menjadi ayah dan suami yang tangguh untuk keluarga kecilnya.

"Baiklah! Silakan angkat kaki dari kantor dan lepaskan semua fasilitas yang saat ini kuberikan padamu. Pengacara Lee akan membantumu memilah semuanya."

Adam menelan ludah. Hilang sudah semua yang telah dia impikan. Demi mempertahankan cintanya dengan Sabrina, Adam harus merelakan semua itu.

***

Sementara itu, di sisi lain, ada sosok tak berdosa yang sedang terabaikan. Sosok yang ada di dalam rahim Maya. Makhluk lemah yang tak tahu apa pun tentang permasalahan yang menimpa kedua orang tuanya.

Hanya elusan tangan lembut di tempatnya berlindung yang membuat dia yakin bahwa kehadirannya di dunia masih ada yang menginginkan. Setidaknya, ada satu orang yang akan memperhatikannya dengan penuh kasih.

"Tenanglah, Sayangku! Semua akan baik-baik saja! Ibu akan menjagamu ...."

Maya membisikkan kata-kata penuh motivasi kepada janinnya. Namun, tentu saja sebenarnya itu adalah penguat untuk dirinya sendiri. Dia sungguh tak tahu apa yang akan dia hadapi ke depan. Memenuhi hati dan kepala dengan rasa optimis adalah satu-satunya pilihan. Lagi pula, tidak ada gunanya menyesali kebodohannya di masa lalu yang terlalu mudah percaya pada orang lain.

Suara pintu yang dibuka membuyarkan lamunan Maya. Adam datang dengan wajah lusuh dan tanpa senyuman. Bagaimana mungkin dia bisa tersenyum kepada Maya? Orang yang akan mengambil alih semua hal yang dia kira adalah miliknya.

"Aku berubah pikiran. Sabrina hamil. Dia membutuhkan kehadiranku di sisinya. Kita bisa segera mempercepat proses perceraian seperti yang kamu mau."

Dengan nada dingin, Adam mengatakan hal itu kepada Maya. Tentu saja hati Maya terasa pedih. Dia juga hamil anak Adam. Namun, perlakuan yang Adam berikan sangat berbeda.

Bukan berarti dia ingin mengemis cinta Adam. Bukan!

Maya hanya merasa kasihan kepada calon anak yang dia kandung. Anak yang akan lahir bukan dari rasa cinta .... Anak yang lahir karena sandiwara dan kepalsuan.

Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang