Sabrina berjalan menyusuri koridor perlahan karena merasakan sakit di perutnya. Dia tak menyangka bahwa kegiatan hari ini membuatnya kelelahan. Bagaimanapun juga, berjalan kaki sejauh dua kilometer dari apartemennya ke rumah sakit bukan tugas mudah untuk wanita hamil sepertinya.
Dering ponsel yang lembut pun membuat Sabrina terkaget. Dia lalu mengangkat telepon yang berasal dari suaminya. Dalam hati, Sabrina sangat cemas. Dia takut Adam sudah sampai di rumah lebih dulu dan mendapati apartemen mereka kosong.
"Sabrina, kamu di mana?" tanya Adam dari ujung telepon dengan suara cemas.
"Aku ... aku keluar sebentar. Suplemen penambah darahku habis." Sabrina menjawab dengan sedikit tergagap karena dia tak meminta izin kepada Adam bahwa dia akan menemui Maya hari ini. Jika suaminya tahu, pastilah akan menentang aksi frontalnya kali ini. Bagaimanapun juga, Adam akan menganggap dirinya mengemis kepada Maya untuk memperbaiki kondisi perekonomian mereka.
"Di mana? Aku akan menjemputmu!" Adam tampak benar-benar khawatir istrinya pergi sendiri. Dia tak ingin sesuatu terjadi pada Sabrina dan bayi mereka. Pemeriksaan terakhir menunjukkan bahwa kandungan Sabrina cukup lemah karena sering terjadi pendarahan. Walaupun obat penguat kandungan sudah diberikan, akan tetapi Adam merasa tetap khawatir bila Sabrina pergi tanpanya. "Tunggulah sebentar!"
"Adam! Aku ... sebentar lagi akan pulang! Kau tenanglah!" jawab Sabrina berusaha meredam kepanikan Adam. Dia lalu meyakinkan suaminya agar tak menyusul, lalu menutup telepon setelah keduanya bertukar kata penutup favorit mereka.
"I love you, Sabrina!"
"I love you too!"
Namun, Sabrina tak menyangka bahwa dia tak akan bisa memenuhi janji karena di hadapannya saat ini berdiri seorang pria jangkung yang menatapnya tajam dengan mata hijaunya. "Apa yang baru saja kamu lakukan di kamar Maya?" Leo mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak menarik kerah Sabrina, mengingat wanita itu juga sedang hamil. Semua wanita hamil selalu mengingatkannya akan Maya.
Wajah Sabrina memucat mendapati tatapan bengis Leo. Dia tak menyangka bahwa playboy seperti Leo akan bersedia menemani Maya sepanjang waktu seperti seorang asisten pribadi. Mengapa Leo tak memilih untuk bersenang-senang di luar saja? Mengapa dia bertahan dengan seorang wanita hamil yang harus dirawat di rumah sakit?
Sabrina mengelus perut sambil menelan ludah. Perasaan ngerinya menjalar ke perut, seakan dia bisa melahirkan saat itu juga karena bayi dalam perutnya juga ikut merasa ketakutan.
"Aku ... aku hanya menyampaikan satu dua patah kata padanya!" jawab Sabrina dengan suara gemetar. Bibirnya memutih dan mengering. Hawa dingin yang entah dari mana asalnya merayapi punggung wanita hamil itu.
Bulu kuduk Sabrina berdiri. Dia ingin segera lari dari tempatnya berdiri saat ini. Akan tetapi, kakinya terasa seberat batu. Tak bisa beranjak sedikit pun.
"Satu dua patah macam apa?" tanya Leo lagi dengan nada yang lebih mengintimidasi. Mata tajam Leo menggantikan kedua tangan yang ingin sekali mengunci pandangan Sabrina agar tetap menatap wajahnya, memaksa wanita itu untuk mengungkapkan kejujuran.
"...."
Sabrina menjilat bibirnya yang kering. Namun, tak terjadi perubahan karena lidahnya pun kering. Tenggorokannya tercekat. Tak sepatah kata pun bisa keluar dari bibirnya.
"Ingat! Aku tak akan segan-segan menuntut balas atas semua yang Maya alami bila sampai kau membuatnya menderita lagi!" Leo pun pergi meninggalkan Sabrina yang berdiri mematung di tempatnya semula.
Sabrina hanya bisa menatap kepergian Leo sampai punggung pria itu tak terlihat lagi. Dia merasa sudah tak mengenal lagi sosok Leo yang ramah. Seolah hidup Leo saat ini penuh kesedihan. Hati Leo yang dulu bebas seperti burung, kini terbelenggu oleh rasa benci dan dendam.
Beberapa menit setelah itu, kejadian yang tak disangka terjadi setelahnya. Perut Sabrina merasakan kram yang luar biasa. Dia jatuh tersungkur di lantai rumah sakit dekat cafetaria. Darah mengaliri paha dan betisnya, membuat siapa pun akan mengerti apa yang tengah dialami wanita itu.
Orang-orang di sekitar Sabrina berbondong-bondong untuk menolong. Sebagian segera memanggil petugas medis untuk memberi pertolongan darurat kepadanya. Sabrina sudah tak bisa lagi mendengar dan menyaksikan dengan baik apa yang terjadi di sekitarnya. Hanya kekacauan suasana yang semakin membuat kepalanya terasa pening.
"Cepat hubungi kontak daruratnya!" seru salah seorang petugas medis kepada rekannya. Salah seorang wanita paruh baya yang tadi menolong menyodorkan tas milik Sabrina kepada petugas medis untuk mengambil dompet dan memeriksa kartu identitas Sabrina.
Sementara itu, Adam yang dari tadi sudah merasa cemas, segera berlari ke rumah sakit. Tak sabar dia menunggu jadwal datangnya bus berikutnya. Tak mungkin pula dia naik taksi karena uang di dompetnya tak cukup.
Dua puluh menit kemudian, Adam sampai di rumah sakit dengan napas terengah-engah. Dia mencari keberadaan Sabrina yang ternyata tengah berada di ruang operasi. Wanita paruh baya yang menolong Sabrina pun mendatangi Adam dan memukulnya memakai tas milik sang istri.
"Pria macam apa kau? Membiarkan istrimu berjalan sendirian di tengah kehamilannya? Apa yang akan kau lakukan bila kau kehilangan anak kalian?" bentak wanita itu karena emosi. Dia tak menyangka Adam akan datang begitu terlambat sampai di rumah sakit. "Kau tidak tahu bahwa dunia ini tak ramah bagi wanita. Tadi ada seorang pria besar berambut pirang yang membuat istrimu ketakutan hingga dia sengsara seperti ini!"
Adam tak menjawab apa pun. Tak sempat. Karena petugas medis memanggilnya untuk pergi ke bagian administrasi dan mengurus pembayaran biaya perawatan Sabrina.
"Kami mendapati bahwa asuransi kesehatan ini tidak dibayar selama tiga bulan. Apakah Anda memiliki asuransi kesehatan yang lain?" tanya petugas administrasi rumah sakit dengan sopan.
Namun, sayangnya, penghasilan Adam memang tak cukup untuk mengcover biaya premi asuransi kesehatan yang mahal. Dia tidak mengatakan hal ini kepada Sabrina karena tak ingin membuat istrinya khawatir. Dia sedang mengurus untuk berpindah ke asuransi nasional yang preminya lebih murah. Namun, urusannya belum selesai sehingga kartu asuransi belum bisa terbit.
Mau tak mau, Adam harus membiayai biaya perawatan sendiri. Jumlahnya terlalu besar untuk kondisi tabungan Adam yang tak seberapa saat ini. Air mata menggenang di pelupuk mata Adam. Dia tak menyangka bahwa hidup miskin ternyata akan seberat ini.
Untuk makan, dia dan Sabrina tentu bisa berhemat. Untuk tinggal, mereka masih bisa bertahan. Namun, urusan mendesak seperti ini, apa yang bisa dia lakukan?
Adam membalikkan badan dengan lesu. Dia menatap kartu asuransi di tangan dengan pandangan hampa. Adam mulai menyangsikan semua keputusan yang dia ambil selama ini. Jika dia bisa mengulang waktu, dia akan memaksa Sabrina untuk bertahan dalam kesendirian asalkan bayi dan ibunya tetap sehat dan selamat tanpa harus mengalami penderitaan seperti ini.
Adam mulai menyalahkan diri sendiri. Dia mulai menerka-nerka apa yang menyebabkan kondisi Sabrina menjadi separah ini. Istrinya pasti kelelahan saat berjalan kaki menuju rumah sakit karena dia tak punya uang untuk naik bus. Namun, untuk apa istrinya pergi ke rumah sakit?
Pertanyaan Adam segera terjawab dengan apa yang dia lihat di hadapannya. Tak jauh darinya, tampaklah Leo yang sedang mendorong Maya dengan kursi roda. Keduanya sedang memandang Adam dengan wajah yang penuh tanda tanya juga.
"Adam?" bibir Maya tanpa sadar menyebut nama mantan suaminya. Bayangan kehidupan Adam yang berat berkilat-kilat di benak Maya. Wanita itu sekarang sangat percaya pada perkataan Pengacara Lee karena dia mendengar sendiri bagaimana klaim asuransi kesehatan Adam ditolak.
Sementara itu, kepala Adam yang kacau mengingat hal lain. Dia terngiang akan perkataan wanita paruh baya tentang seorang lelaki besar berambut pirang yang mencelakai istrinya.
Dengan hati yang panas membara, Adam pun melangkah mendatangi Leo dan memukul wajah pria yang sedikit lebih tinggi darinya dengan pukulan yang keras.
"Berengsek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)
Roman d'amourBacaan untuk pembaca dewasa. Anak kecil jangan baca. Tolong patuhi. Hanya untuk 18+. *** Adam menikahi Maya karena perjodohan kedua orang tua mereka. Dia terpaksa memperlakukan Maya dengan baik agar tidak kehilangan warisan. Namun, siapa yang sangka...