Maya memutuskan untuk mempertahankan kandungan. Dokter hanya bisa berbuat yang terbaik untuk menjaga kondisi Maya. Sudah sebulan lebih Maya tinggal di rumah sakit. Kondisi Maya naik dan turun tanpa bisa diprediksi.
Leo mengunjungi Maya setiap hari setelah dia membantu menangani urusan Wilson Group karena Maya menanyakan laporan setiap hari. Pria yang terlihat atraktif itu kini terlihat lebih layu. Bukan karena kelelahan, tetapi karena setiap hari dia mengkhawatirkan kondisi Maya.
"Leo, aku tiba-tiba ingin makan jeruk," bisik Maya lemah. Tidak biasanya dia ingin merepotkan Leo, tetapi kali ini dia benar-benar ingin makan jeruk.
"Aku keluar sebentar. Kamu tunggu, ya?" Leo tersenyum lemah. Dia mengusap rambut Maya dengan penuh rasa sayang sekaligus iba. Hati Leo terasa sakit setiap mengingat penderitaan Maya yang berusaha mempertahankan bayinya walau kondisinya memburuk.
Beberapa menit setelah Leo keluar, seseorang memasuki kamar Maya. Wanita lemah itu sampai terheran mengapa Leo secepat itu kembali. "Apa kau meninggalkan dompe—"
Perkataan Maya terhenti saat dia melihat siapa yang datang. Ternyata bukan Leo–melainkan Sabrina. Tentu saja hal ini membuat hati Maya bergemuruh. Apakah sesuatu yang buruk terjadi kepada Adam?
Sabrina memasuki kamar Maya dengan ketidakramahan tingkat akut. Maya hanya bisa menatap kehadiran Sabrina dengan datar, menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
"Hai!" sapa Maya untuk kesopanan.
"Gold digger!" balas Sabrina dengan nada tak bersahabat. "Aku tak tahu apa yang kamu lakukan terhadap ayah Adam sampai-sampai dia memberikan semua hartanya kepadamu. Aneh sekali, bukan? Padahal kamu bukan anak atau saudara! Hanya orang asing yang dijadikan menantu."
Maya hanya mendengarkan ocehan Sabrina tanpa berniat menimpali. Lagi pula, bila dia menanggapi omelan Sabrina, Maya takut dia akan kelepasan mengatakan status Adam yang sebenarnya. Maya kemudian memalingkan muka dan mendesah panjang. Dia bersiap-siap dengan gerutuan Sabrina selanjutnya.
"Kau pasti merasa dirimu yang paling menderita selama ini, bukan? Kau merasa disakiti?" cibir Sabrina dengan memiringkan bibir. "Tahukah kamu bagaimana perasaanku? Akulah yang berhak merasa sakit saat semua orang mengakuimu sebagai istri Adam, sedangkan aku harus bersembunyi di balik identitas sekretaris. Aku yang pantas menangis saat semua orang mengucapkan selamat atas kehamilanmu, sementara tak ada yang mengakui kehamilanku."
Bibir Maya terbuka hendak mengatakan sesuatu. Namun, Sabrina menghalangi dengan mengatakan uneg-unegnya yang lain.
"Kau pun pasti tak tahu penderitaan Adam, bukan? Seorang anak yang merasa dibuang oleh ayahnya sendiri karena sang ayah lebih memilih kamu sebagai pewaris." Sabrina bersedekap dan memasang wajah yang menunjukkan bahwa Maya adalah manusia paling tidak tahu diri di dunia. "Kamu pasti tidak tahu, 'kan, apa pekerjaan Adam sekarang?"
"...."
"Sudah kuduga. Kamu pasti tak akan peduli," cibir Sabrina seraya menggigit bibir bawah serta menyipitkan mata. "Apa yang bisa diharapkan dari orang sepertimu? Kau pasti tak peduli juga tentang bayi di kandunganku, bukan? Padahal dia juga anak dari Adam. Cucu dari Tuan Paul Wilson. Namun, dia bernasib sangat berbeda dengan anak dalam kandunganmu yang bergelimang harta bahkan sebelum mereka lahir."
Maya hanya membuang muka tanpa menimpali olokan Sabrina. Bukannya tak bisa membalas, dia hanya merasa penjelasannya kepada Sabrina akan sia-sia saja.
"Asalkan kau tahu saja. Karena perjodohan kamu dengan Adam, aku sudah banyak menderita selama ini. Sekarang, ketika harus memilih, Adam yang menderita karena harus hidup miskin. Kuharap, kamu cukup tahu diri dan mengerti bagaimana harus bersikap." Sabrina berhenti sejenak. Ragu mengatakan apa yang akan dia ingin katakan selanjutnya. "Tahukah kamu, mengapa Adam terpaksa menikahimu? Karena ayahnya selalu mengancam akan memberikan warisan padamu, Maya!"
Maya tersentak mendengar seruan Sabrina. Bagaimanapun juga, tak seorang pun mengatakan hal ini dengan lugas padanya seperti yang Sabrina lakukan.
"Jadi, kalau kau ingin membenci, bencilah Tuan Paul! Bukan Adam! Adam adalah korban, Maya! Korban seorang Ayah yang diktator!"
Setelah berujar demikian, Sabrina meninggalkan kamar Maya dengan berlinang air mata. Dia tak sampai hati menceritakan apa pekerjaan Adam sekarang ini karena takut akan merendahkan harga diri Adam.
Tadinya, dia ingin menyadarkan Maya agar mau mengembalikan warisan Adam–atau setidaknya berbagi dengan Adam. Namun, ketika melihat wajah Maya, kebencian merayapi hatinya. Betapa dia bertahun-tahun harus bertahan dengan status kekasih gelap karena Adam telah bertunangan dengan Maya.
Sementara itu, Maya yang berada di kamar hanya berbisik. "Sabrina, kamu pasti tak pernah tahu juga bagaimana rasanya mengandung bayi yang tidak dicintai oleh ayah kandungnya .... Sakit, ini sakit sekali .... Kamu tak pernah tahu, bahwa mendapatkan cinta dari pria yang kau cintai adalah hal yang paling berharga di dunia ini."
Bila diizinkan, Maya lebih memilih mendapatkan seorang suami yang mencintainya dengan tulus daripada harta yang melimpah. Namun, dia tahu, tidak ada yang sempurna dalam kehidupan ini.
Dua wanita yang menangis dengan alasan berbeda, sama-sama merasakan sakit karena situasi yang tak sempurna. Takdir yang mereka jalani begitu memberatkan pundak keduanya.
Sedikit sekali orang yang bertahan dengan kemiskinan setelah sebelumnya hidup bergelimang harta. Sedikit pula orang yang mampu bertahan karena hidup tanpa cinta.
Berusaha berpikir lebih logis, Maya pun mencari tahu bagaimana kehidupan Adam sehari-hari. Dia menelepon Pengacara Lee untuk menanyakan perihal Adam. Tentu saja, jawaban dari Pengacara Lee sungguh mengiris hati Maya.
"Tuan Adam tinggal di apartemen kumuh yang cukup sempit dan kurang higienis. Beliau bekerja di restoran fast food kecil di pinggir kota sebagai seorang pelayan. Setiap hari dia harus berjalan kaki empat kilometer karena ingin menghemat biaya perjalanan. Hanya itu kabar terakhir yang saya tahu, Nona!" jawab Pengacara Lee dengan suara datar, menyembunyikan perasaan ibanya kepada nasib Adam saat ini.
"Aku kira, selama ini dia bekerja di perusahaan lain dengan gaji yang layak untuk memenuhi kehidupan keluarganya." Maya bergumam pelan, menitikkan air mata mendengar kondisi kehidupan Adam yang berat.
"Nona, saya harap Anda tidak akan mengkhianati Tuan Paul ...," ujar Pangacara Lee mengingatkan.
"Tentu tidak, Tuan Lee. Tenanglah!"
Setelah mengucapkan salam, Maya menutup telepon dengan perasaan kacau-balau. Pantas saja Sabrina sampai datang kepadanya dan mengatakan hal seperti itu. Maya memang membenci Adam atas kelakuannya yang berusaha menipu dan memanfaatkannya. Namun, dia memang bukan orang yang bisa membiarkan orang lain hidup kesulitan.
Bukan hanya Adam, orang tak dikenal pun pasti akan dia bantu. Namun, di sisi lain, dia terbebani dengan alasan Tuan Paul untuk tidak mewariskan hartanya kepada Adam.
Kepala kecil Maya saat ini teralihkan oleh sesuatu yang lain selain kondisi kesehatannya. Kebimbangan untuk membantu Adam bercampur dengan rasa tanggung jawab.
Dalam hati, Maya bergumam, 'Apa yang sebaiknya aku lakukan?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Suamiku (TAMAT)
RomanceBacaan untuk pembaca dewasa. Anak kecil jangan baca. Tolong patuhi. Hanya untuk 18+. *** Adam menikahi Maya karena perjodohan kedua orang tua mereka. Dia terpaksa memperlakukan Maya dengan baik agar tidak kehilangan warisan. Namun, siapa yang sangka...