Malam ini, Sakura hanya duduk santai di balkon kamarnya. Menghiraukan Tsundae yang mengancam dirinya jika tidak keluar. Tatapannya kosong. Ia menolak mengaku tengah memikirkan ucapan ibunya tadi.
"Anda baik-baik saja?" Terlihat Naruto yang bertengger di atas pohon. Entah sejak kapan dia ada di sana menatap Sakura.
Sakura kaget, ia mengusap wajahnya kasar. Dia sampai tidak menyadari keberadaan Naruto. "Bagaimana tugas di bagian selatan?" Tanya Sakura. Ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka. Naruto dengan cepat sudah di samping Sakura. "Kali ini siapa?" Sakura menggeleng.
"Bagaimana tugasmu?" Tanya Sakura lagi. Naruto mendengus. "Anda tidak boleh mengabaikan pertanyaan saya." Ucap Naruto dengan nada tidak senang.
"Kalau begitu kau juga tidak boleh mengabaikan pertanyaanku." Sakura memutar balikkan keadaan. Naruto menyerah. "Semua aman, tidak ada pergerakan dari anak buah Itachi." Itu kabar bagus. Sakura mengusap kepala Naruto dengan lembut. Sebuah ucapan terimakasih.
"Setelah ini anda akan menjadi seorang Duchess." Sakura tidak menyangkal itu. Ia sudah tahu karena Sasuke sendiri yang mengatakannya.
"Apa rencana anda selanjutnya?"
"Tidak tahu." Naruto mendekat. Ia lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Sakura dan berbisik. "Saya berjanji akan bertambah kuat dan melindungi anda." Setelah itu Naruto melesat dan hilang di gelapnya malam. Angin berhembus menyapu wajah cantik Sakura. Rambut panjangnya menari di terpa angin.
"SAKURA AKU AKAN HANCURKAN PINTUNYA!"
Tch, merusak suasana saja. Wanita tua itu belum menyerah rupanya. Sakura tidak peduli dan kembali duduk santai di balkon. Ia tidak menyangka Tsunade serius dengan ucapannya.
B R A K !!!
Pintu yang terbuat dari kayu kokoh itu seketika hancur berkeping-keping. Ada beberapa keping tembok yang ikut terkikis. Tsunade menghancurkannya dengan tangan kosong. Menatap galak Sakura yang tengah berdiri terpaku. Ini kali pertamanya ia melihat Tsunade secara langsung memperlihatkan kekuatannya.
"Hebat."
"Kupingmu itu sudah tidak berfungsi dengan baik. Biar aku potong saja!" Sakura tidak menghiraukan ancaman Tsunade.
"Ajari aku teknik itu." Ucap Sakura tegas.
"Hah!?" Tsunade bingung, kenapa tiba - tiba Sakura meminta di ajari teknik ini.
"Itu adalah teknik yang legendaris itu bukan? Aku juga pasti bisa menguasai teknik itu." Baru kali ini Tsunade bisa melihat mata Sakura penuh dengan tekad.
"Baiklah, tapi ada syaratnya." Sakura terlihat tidak sabar. Ia pasti mampu memenuhi syarat apapun itu.
"Katakan."
"Bicaralah sebentar dengan ibumu." Mata yang tadinya penuh dengan cahaya dengan cepat berubah menjadi sangat gelap.
"Apakah kau keberatan?" Sakura tidak menjawab. Tsunade tahu, Sakura pasti sedang menata hatinya. Mungkin saja dengan begini ia berharap cucunya akan kembali ke jalan yang benar.
"Kau bisa turun kapan saja. Aku tidak memberikan batasan waktu untuk itu." Sakura menatap Tsunade.
Sakura beruntung, hatinya terlampau kuat. Tidak ada trauma sedikit pun yang tersisa di hatinya. Hanya ada kebencian sangat besar yang memenuhi setiap sudut ruang hatinya. Ia terus mencari alasan kenapa orangtuanya membencinya. Semakin ia mencarinya, semakin ia tenggelam dalam kegelapan.
"Tsunade-sama, saya mencari and-" Shizune terbelalak. Melihat pintu kamar Sakura yang sudah tidak ada rupanya.
"Ah, Shizune. Bisakah kau mengganti pintunya? Sepertinya aku mengetuk pintunya terlalu keras." Sakura tidak tertarik melanjutkan percakapan ini. Ia secara terang-terangan mengusir mereka berdua.
"Hah, siapkan kamar lainnya Shizune. Aku tidak bisa tidur dengan tenang jika kamarnya tidak memiliki pintu." Sakura masuk ke kamar mandi untuk berendam, sembari menunggu Shizune menyiapkan kamar untuknya.
"Apakah Mebuki baik-baik saja?" Tanya Tsunade.
"Tidak Tsunade-sama. Nyonya seperti tengah menunggu Grand Duke kembali pulang." Tsunade menghela napas.
Sakura tidak sengaja mendengarnya. Ia semakin bimbang.
***
"
Apa aku turun saja?" Sakura turun dan saat sampai di tangga pertama ia kembali naik.
"Tidak. Untuk apa aku mendengar alasannya?"
"Tapi kemarin ucapannya itu belum selesai." Sakura kembali turun.
"Memangnya alasan apa yang pantas?" Sakura menaiki tangga lagi.
Sudah hampir lima belas menit Sakura naik-turun menaiki tangga. Sampai akhirnya Mebuki menegur putrinya. "Jadi mau turun atau tidak?" Sakura tersentak kaget. Ia tidak sadar ibunya ada di sana.
Akhirnya mereka berdua duduk berdua di taman. Mata Sakura tidak lepas dari satu pohon di depannya. Pohon itu di tanam tepat setelah dia bisa berjalan. Grand Duke ingin anaknya tumbuh dengan baik seperti pohon itu. Yang suatu hari akan mekar dan menjadi indah. Pohon sakura.
"Waspadalah, Itachi bukanlah akhir."
"Apa maksud Ibu?" Mebuki mengatakan sebuah omong kosong. Bagi Sakura saat ini Itachi adalah musuh utama yang harus ia singkirkan saat ini.
"Orang yang datang malam itu bukan Itachi. Dia juga tidak tinggal di istana. Ibu tidak pernah minum alkohol. Kau bisa minta dokter untuk memeriksanya jika tidak percaya. Ibu berakting mabuk agar orang itu percaya Klan Haruno ada di genggamannya. Ibu juga harus berpura-pura tidak peduli saat ayahmu tengah menyiksamu. Ibu bahkan tidak boleh menangis karena orang itu selalu mengawasi kita. Jika ibu melakukan satu kesalahan saja, maka ibu akan kehilangan dirimu untuk selamanya. Maafkan ibu Sakura. Maafkan ibu yang gagal menjagamu, maafkan ibu yang gagal menjadi ibumu." Mebuki tidak bisa menahan air matanya.
'Aneh, apa yang salah ya?' Mata Sakura mulai panas.
Mereka berdua kembali hening. Tapi sekarang air mata juga menghiasi keheningan itu. "Jika pada akhirnya aku harus memilih, kehilangan putri kecilku atau di benci olehmu. Maka aku memilih untuk di benci oleh putriku sendiri saja. Asalkan aku masih bisa melihatmu, Sakura." Mebuki tersenyum matanya membentuk bulan sabit. Ia mengelus pipi Sakura. Sebenarnya masih banyak yang ia ingin sampaikan pada Sakura. Tetapi ia tahu putrinya tidak suka melihat dirinya lebih dari lima belas menit.
Selama ini dia selalu menghitung menit ke berapa Sakura sudi berada dekat dengan dirinya.
"Ibu memang selalu egois ya?"
"Ibu tahu seberapa menderitanya aku selama ini? Tahukah Ibu bagaimana rasanya di benci kedua orangtua sendiri? Tahukah Ibu seberapa besar harapanku berharap cinta dari kalian saat itu? Ini sama saja seperti kalian membunuhku secara perlahan. Lebih baik langsung mati saja daripada harus begini!" Sakura berlari keluar.
"SAKURA!" Mebuki berseru.
"Sial, sial, sial. Dasar wanita sialan!" Ia terus berlari tanpa arah.
To be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duchess Haruno [ END ]
Ficțiune istorică[SASUSAKU IN THE PASADO] ⚠️ Disclaimer : "This story is pure fiction with a historical background." Tumbuh tanpa mengenal apa itu cinta, dia bahkan tidak mendapatkannya dari kedua orangtuanya. Hidup mewah dalam sangkar emas tanpa tahu apa itu dunia...