satu

281K 11.4K 151
                                    

"Mbok Inah masa nggak tau nama anak ini siapa? Masih pake baju sekolah ini Bik."

Melati menatap kasihan pada gadis kecil yang tidur di kamar tamu rumahnya. Gadis kecil ini dibawa Mbok Inah, pembantunya ke rumah karena bertemu di jalan dan gadis kecil ini menangis.

Masih memakai pakaian SD yang Melati yakin jika orang tua anak ini lupa menjemput ke sekolah. Hari sudah malam dan Melati baru pulang dari rumah temannya, Airin.

"Tadi adek ini nangis Non. Pas Mbok ajak ke sini dia mau eh di jalan tidur jadi belum sempat tanya namanya siapa," kata Mbok Inah.

Melati mengangguk. Bibir gadis itu tersenyum saat gadis kecil itu mengerjap dan membuka matanya. Senyuman Melati disambut wajah heran dari gadis kecil yang masih terbaring itu.

"Kakak cantik?"

Gadis kecil itu mengucek pelan matanya lalu berusaha bangun dari baringannya.

"Ini Hilya nggak salah lihat kan, kalau ada Kakak cantik di sini?" tanya gadis yang ternyata Hilya itu pada dirinya sendiri.

Melati semakin menunjukkan senyumannya. Ia usap poni Hilya.

"Halo... Kenalin nama kakak Melati."

Tidak tahu harus berbuat apa, Melati memilih memperkenalkan diri.

"Kenapa Hilya ada di sini? Perasaan tadi Hilya lagi nangis di jalan karena Ayah nggak jemput-jemput."

Hilya terlihat menghela berat terlihat dari wajahnya jika gadis kecil ini sedang menahan sedih juga kesal secara bersamaan.

Melati dan Mbok Inah saling tukar pandang.

"Hem.... Biasanya Hilya yang jemput sekolah Ayah ya?"

Hilya menatap lagi pada Melati dan mengangguk.

"Iya Kakak Cantik. Tapi hari ini ayah nggak jemput terus tadi hujan dan Hilya takut jadi nangis," kata Hilya mencoba sedikit bercerita.

Bagaimana anak sekecil ini tidak menangis di tengah sepinya lokasi sekolah saat hujan dan mungkin tadi ada petir. Melati jadi tidak tega. Bagaimana tadi jika Hilya bertemu orang yang berniat jahat.

"Ya udah, Hilya telepon ayah aja ya. Teleponnya pakai hp Kak Melati," tawar Melati.

Senyum sumringah langsung terpancar dari wajah Hilya. Gadis kecil itu mengangguk ragu pada Melati yang menyodorkan ponselnya pada Hilya. Dari penampilannya Hilya sudah ketahuan anak orang berada dan mustahil jika tidak tahu caranya memainkan gadget.

"Beneran Hilya boleh telepon ayah pake hp Kakak Cantik?" tanya Hilya dengan wajah kurang yakin.

Melati mengangguk yakin dan mengusap rambut Hilya dengan lembut.

"Iya beneran boleh Kak?"

Setelah kembali mengangguk
Tangan Melati meraih pulpen dan buku berukuran kecil di atas meja samping ranjang. Ia torehkan pena di atas kertas itu dan menerimanya pada Hilya.

"Nanti kalau ayah tanya Hilya di mana, bilang alamat ini ya," ujarnya.

Hilya mengangguk dan mulai mengutak-atik ponsel milik Melati. Melati yakin anak ini sangat hafal nomor ponsel orangtuanya. Persis dirinya di waktu masih kecil, nomor papa dan mama akan selalu ia ingat.

"Mbok permisi ke belakang ya Non," pamit Mbok Inah yang diangguki oleh Melati.

****

"Melati?"

Suara pria tampan yang kini berdiri di depan pintu rumah Melati membuat gadis itu menatapnya tanpa kedip. Jantung Melati berdegup di atas normal.
Pandangan matanya terkunci oleh pria di depannya yang juga menunjukkan wajah syok karena melihat dirinya.

Keduanya terpaku pada tatapan yang datang berlawanan.

"Mas ... Alvin?" gumam Melati dengan suara yang sedikit terbata.

Alvin adalah orang yang ia cintai di masa lalu bahkan mungkin sampai sekarang rasa itu masih ada. Mereka pernah merajut tali cinta selama satahun lamanya. Alvin terpaksa menikahi gadis bernama Tiara yang kala itu mengaku hamil anak Alvin.

Rasa sakit yang dulu dirasakan oleh hati Melati saat terpaksa harus merelakan Alvin menikah dengan wanita lain kini datang lagi. Bertahun ia berusaha membalut sakit itu dengan segala kegiatan yang ia lakukan agar lupa pada sakit itu ternyata sia-sia untuk hari ini.

"Melati ini beneran kamu?"

Melati langsung menepis tangan Alvin yang berusaha menyentuh tangannya. Sebisa mungkin Melati memasang wajah tegas juga dingin.

"Mas Alvin udah jadi suami orang, Melati. Ingat itu," hati kecil Melati berbisik.

Melati sangat merasa kasihan pada dirinya sendiri, ternyata kenyataan memang sesakit ini. Mengetahui jika gadis kecil yang ada di dalam kamar tamu rumahnya ternyata adalah anak dari mantan kekasihnya, itu membuat Melati harus berusaha tegar agar tidak lagi menangis.

"Maaf Pak. Hilya ada di dalam, Bapak bisa temui dia," ujar Melati.

Pak?

Kita bukan orang asing, Melati!

Hanya di dalam hati Alvin berujar seperti itu. Ia sangat masih tahu diri. Wanita di depannya ini pernah ia buat luka hatinya dan ia yakin Melati masih menyimpan sakit hati itu.

"Melati."

"Hilya ada di kamar tamu yang pintunya terbuka. Jadi Bapak bisa langsung ke sana," kata Melati lagi.

Alvin mengangguk pelan. Ia ikut masuk ke dalam rumah Melati. Helaan nafasnya lega kala melihat beberapa figura yang terpajang di dinding ruang tamu. Tidak ada satu pun foto Melati dengan pria dan Alvin masih berharap jika Melati masih belum menikah. Hatinya tidak rela jika melihat ada pria lain yang bersanding dan berdampingan dengan Melati.

Cukup lama ia pandangi sekeliling ruang tamu di rumah ini hingga melanjutkan kakinya menuju kamar tamu.

"Ayah...."

Hilya langsung teriak histeris dan melompat dari tempat tidur untuk menghampiri sang ayah. Sedetik kemudian tubuh mungilnya sudah ada dalam pelukan Alvin.

Kecupan hangat Alvin berikan pada puncak kepala Hilya sembari mendekap putri kesayangannya.

Di balik pintu Melati menatap getir Alvin dan Hilya. Air matanya jatuh tanpa disadari, orang yang sangat ia cintai ternyata sudah bahagia bersama keluarga kecilnya. Lalu mengapa ia harus menyaksikan semua itu? Melati ingin menghapus bayang-bayang Alvin.

"Kakak cantik kenapa nangis?"

Melati terlonjak kaget saat Hilya tiba di depannya. Melati tertangkap basah tengah menangis oleh ayah dan anak ini. Ia tidak bisa mengelak lagi.






Duda Anak satuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang