Dua Puluh

43.8K 2.5K 15
                                    

"Ayah kan udah besar. Ngapain tidur sama Bunda. Harusnya Ayah tidur sendiri dan bunda juga tidur sendiri," kata Hilya.

"Ya Ayah nggak bisa tidur kalau nggak minum susu dari Bunda dul....,"

"Mas Alvin....."

Melati menatap tajam pada Alvin dan tanpa sadar ia juga mengeraskan suara, yang membuat Hilya ikut menatap padanya.

****

"Sayang, kayaknya aku harus ke rumah sakit dulu ini. Roy, karyawan aku lagi sakit yang lumayan serius dan aku sama  Bara mau jalan ke sana," kata Alvin dengan ponsel yang ia dekatkan ke telinganya.

Meskipun ia sebagai bos tapi Alvin akan selalu berusaha meluangkan waktu untuk membesuk karyawannya yang lagi sakit. Apalagi Roy termasuk karyawan yang rajin. Alvin pergi bersama Bara, sekretaris pribadinya.

"Iya Mas tapi jangan lama-lama ya soalnya Hilya sama Mama juga lagi nggak di rumah. Aku sendirian."

Alvin mengangkat tangan untuk melihat jam. Sudah sangat sore, istrinya sendirian di rumah Alvin rasa memang dia tidak akan lama berada di sini. Hanya membesuk sebentar kemudian pulang.

"Iya Sayang. Kamu tunggu aku ya. Ya udah tutup telponnya Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Alvin memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ikut turun dari mobil saat tiba di parkiran rumah sakit. Ia dan Bara segera menuju ruangan di mana Roy berada.

Dahi tampan milik Alvin bergelombang melihat seseorang yang sepertinya hendak memasuki ruangan di sebelah ruangan Roy.

"Bara," panggilannya pada Bara

"Iya Pak?"

"Kamu duluan ke ruangan Roy ya. Saya ada keperluan sebentar. Nanti saya menyusul," ujarnya.

Matanya melirik pada seseorang yang ternyata benar masuk ke ruangan yang bersebelahan dengan ruangan Roy.

"Baik Pak. Kalau begitu saya masuk duluan," kata Bara yang diangguki oleh Alvin.

Setelah memastikan Bara masuk ke dalam ruangan Roy. Alvin melangkah menuju ruangan yang ia maksud. Sedikit bergetar hatinya saat akan membuka pintu tapi rasa penasaran lebih mendominasi.

Pintu terbuka dan berhasil membuat Alvin terpaku di tempat ia berdiri. Di sana di ranjang pasien Gea tengah terbaring lemah. Ada Putri yang sepertinya setia menemani Gea. Timbul pertanyaan mengenai suami Gea di hati Alvin. Bukankah harusnya seorang suami ada di saat sang istri dalam segala kondisi termasuk sakit? Mengapa tidak ada suami Gea di sini?

"Gea?" panggilannya pelan.

Gea dan Putri menoleh ke arah pintu di mana Alvin berada. Wanita cantik bernama Gea itu sedikit kaget begitu juga dengan Putri.

Tanpa sengaja arah tatapan mata antara Gea dan Alvin saling bertemu. Alvin melangkah semakin mendekati ranjang pasien. Sedetik kemudian Gea mengusap pipinya yang tiba-tiba basah oleh air mata.

"Gea, kamu kok ada di sini? Kamu sakit?" tanya Alvin dengan raut khawatir.

Pasti ia sangat khawatir melihat wajah pucat dari Gea meski wanita itu tetap tersenyum dan seolah menunjukkan jika ia tidak sedang sakit. Putri juga menunjukkan raut sedih.

"Kamu tahu dari mana kalau aku ada di sini?" tanya Gea mencoba berkilah.

Tanpa diperintah dan ditawari Alvin meraih satu kursi kosong selain kursi yang diduduki oleh Putri. Alvin duduk dan menatap dalam pada Gea.

"Aku ke sini mau jemguk karyawan aku yang lagi dirawat inap dan tadi nggak sengaja lihat Putri masuk ke sini aku ikutin. Kamu sakit apa?" tanya Alvin di akhir kalimatnya.

Gea mengangguk lalu sedikit menunduk.

"Aku cuma kurang istirahat aja kok, terlalu diporsir untuk kerja jadi harus nginep di rumah sakit tapi nanti udah boleh pulang kok."

Giliran Alvin yang mengangguk. Tatapan pemuda itu jatuh pada Putri yang sedang menatap sedih Gea.

"Om punya sesuatu untuk Putri," ujar Alvin tiba-tiba.

Gea dan Putri saling berpandangan lalu secara bersamaan menatap Alvin. Pria itu mengeluarkan sesuatu dan berhasil membuat Putri memekik senang.

"Untuk aku Om?" tanya Putri dengan wajah yang berubah ceria.

"Iya. Ini untuk kamu. Jangan sedih lagi ya mama juga udah mau pulang kan nanti."

Alvin mencoba menghibur Putri dengan memberikan sebuah mainan mini yang sebenarnya ia belikan untuk Hilya tadi. Nanti ia akan belikan lain sebagai gantinya untuk Hilya.

"Makasih ya Om. Bener ya kata Hilya kalau papanya itu baik banget," kata Putri."

Alvin mengangguk dan mengelus rambut Putri.

"Sama-sama. Ya udah Om balik dulu ya. Gea... Aku keluar dulu ya mau ke ruangan Roy," pamit Alvin.

Gea mengangguk dengan senyum yang terbit di bibirnya.

"Iya makasih Vin."

****

"Ini Mas Alvin ke mana sih? Udah malam juga. Katanya sebentar tapi nggak pulang-pulang," gumam Melati sedikit kesal.

Sudah jam setengah sembilan dan Alvin belum menunjukkan batang hidungnya di rumah. Mama Wulan dan Hilya sudah masuk ke kamar masing-masing karena memang di luar hujan deras jadi mungkin mereka langsung tidur.

Sedangkan Melati tidak akan bisa tidur karena sedikit khawatir pada Alvin yang belum jelas keberadaannya. Sudah berkali-kali Melati mencoba menghubungi tapi tidak diangkat dan yang membuat Melati semakin khawatir di luar hujan. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada suaminya? Isteri mana sih yang tidak.khawatir jika waktu sudah larut malam tapi suami masih di luar.

"Mas angkat kenapa sih? Nggak tahu istri khawatir apa?"

Melati duduk di atas sofa, baru saja duduk deru suara mobil membuatnya kembali terlonjak dan tanpa aba-aba Melati mendekat pada pintu. Itu pasti Suaminya sudah pulang.

Begitu pintu dibuka, Melati melihat Alvin berjalan dengan sempoyongan ke arah teras rumah dengan baju sedikit basah. Dengan gerakan cepat ia mendekat pada Alvin.

"Mas...."

Alih-alih bertanya mengapa, Melati lebih memilih memapah tubuh Alvin untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Belum waktunya untuk menyuguhkan pertanyaan pada Alvin, yang Melati tahu sekarang rasa khawatirnya berbuah kenyataan yang pedih saat suami pulang dengan wajah penuh luka.

Tanpa sadar air matanya mengalir melihat lebam di salah satu bagian wajah Alvin dengan sudut bibir yang berdarah.

"Awww."

Alvin meringis saat jemari Melati menyentuh ujung bibirnya. Alvin baru sadar jika saat ini sang istri tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Alvin menegakkan tubuh dan meraih tangan Melati untuk digenggam kemudian ia elus dengan ibu jari.

Sebelah tangannya ia gunakan untuk memgusap pipi Melati. Hatinya tenang begitu saja melihat wajah manis sang istri. Entah kemana perginya emosi yang tadi bersarang di hati Alvin. Cerminan istri yang baik itu salah satunya jadi penyejuk mata bagi suami, dan ciri itu ada pada Melati.

"Aku nggak apa-apa Sayang, jangan nangis ya," bisik Alvin.

Tanpa kata Melati menjatuhkan tubuhnya pada dada bidang Alvin dan memeluk sang suami dengan isakan yang tercipta begitu saja.

"Mas Alvin jahat."

Selamat Hari Raya Idul Fitri.

Taqabbalallahu minna wa minkum.
Mohon maaf lahir batin ya semuanya.

(Ummi Mentari & Keluarga)










Duda Anak satuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang